- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Ketika Jokowi Terjebak Framing

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Pasca munculnya kasus penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Pemerintahan Jokowi mendapat framing dan stigma yang hebat, sebagai pemerintahan yang anti Islam. Stigma itu bermula sikap Jokowi yang dinilai kurang tegas dalam menangani persoalan penistaan agama itu. Framing dan stigma itu semakin menguat setelah munculnya beleid (kebijakan) pemerintahan Jokowi yang membubarkan Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena teridikasi ingin menegakan  khilafiah. Apalagi setelah muncul kasus Habib Rizieq Syihab (HRS) yang dituduh melakukan pornoaksi, sehingga memunculakn tuduhan adanya kriminalisasi  ulama.

Padahal semua stigma itu masih bisa dibantah dengan argumentasi hukum yang benar, sehingga framing itu tidak bisa melebar. Secara personal maupun institusional hubungan Jokowi dengan berbagai Ormas Islam terbukti masih cukup baik. Presiden RI ke 7 itu secara rajin dan rutin menyambangi berbagai kegiatan yang dilakukan oleh  Ormas-ormas Islam. Bahkan sikap politik pemerintahan Jokowi dalam krisis  Palestina-Israel juga cukup jelas dan selaras dengan sikap politik semua Ormas Islam yang ada di Indonesia. Artinya framing yang disematkan ke Pemerintahan Jokowi terbilang samar dan bias.

Namun, tidak ada upaya yang signifikan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghapus semua stigma dan framing itu. Kondisi itu memunculkan fenomena politik identitas yang menguat hingga beberapa waktu menjelang penetapan dan pendaftaran Capres-Cawapres di KPU tanggal 10 Agustus 2018. Saat itu muncul wacana harus melibatkan ulama dalam proses suksesi kepemimpinan nasional.

Fenomena itu semakin mengerucut ketika muncul ijtima  ulama yang dilakukan oleh Partai PKS yang berujung dengan rekomendasi Ustad Abdul Somad (UAS) dan Ustad Salim Segaf Al Jufri sebagai Calon  Wakil Presiden (Cawapres) dari kubu Gerindra. Disaat yang sama, ulama-ulama dari kalangan NU yang terafilisai dengan Partai PKB juga mengeluarkan hal yang serupa. Bahkan Partai PDIP juga melakukan hal yang serupa. Hal inilah yang kemungkinan mengakibatkan Jokowi menjadi panik dan kebingungan dalam memilih calon pendampingnya.

Padahal sebelumnya dalam bursa Cawapres yang mengapung hanya beberapa nama  yang memiliki kans kuat seperti,  Sri Mulyani, Mahfud MD serta Airlangga Hartarto. Dalam situasi yang pelik inilah akhirnya  Jokowi menentukan pilahnnya terhadap Ketua MUI, Prof KH Ma’rum Amin. Dalam kacamata kredibilitas dan integritas semua orang pasti ma’fum dengan sosok Alumni Pondok Pesantern Tebu  Ireng, Jombang ini.

Tetapi dari faktor elektabilitas, mungkin masih perlu dikaji lebih jauh. Tim Jokowi terkesan tidak memiliki kalkulasi politik yang matang. Mereka terkesan tidak bisa memahami kultur Nadhliyin  yang sesungguhnya, yang memiliki  kultur taklid (kepatuhan)  sosial tetapi tidak memiliki taklid politik.

Secara emprik itu sudah terbukti dengan hasil Pilpres 2004. Saat itu pasangan Megawati-Hasyim Muzadi yang merepresentasikan  keterwakilan NU hanya memperoleh suara 39.38% atau 44.990 juta suara dari total  suara.  Padahal sesuai  tulisan buku M Sobary dan klaim Gus Dur saat itu jumlah Nadhliyin berkisar antara 60-120 juta, hal itu sesuai bila dikomparasikan dengan data BPS tahun 2010 yang menyatakan jika jumlah umat Islam di Indonesia berkisar 223.18 juta jiwa.

Begitu juga dengan pasangan Capres Amien Rais dengan Siswono da;lam Pilpres yang sama. Saat itu Amien Rais yang merepresantasikan keterwakilan Ormas Muhammadiyah juga hanya memperoleh suara sekitar 14.66% atau sekitar 17.392 juta suara. Padahal Ormas Muhammadiyah juga memiliki anggota yang cukup besar sekitar 40-50 juta anggota. Maka pemilihan figur pemimpin agama sebagai calon pemimpin negara tidak secara otomatis akan diikuti oleh anggota Ormasi itu

Maka bila pertimbangan Jokowi dalam memilih Ma’ruf Amin  untuk menangkis framing yang sudah disematkan oleh lawan-lawan politiknya sekaligus untuk merangkul pemilih Islam, itu eketifitasnya masih perlu  dipertanyakan. Dan yang jelas pemilihan Ma’ruf Amin justru menimbulkan resistensi di kalangan internal pendukung Jokowi, terutama bagi para pendukung Ahok (Ahoker). Bukan tidak meungkin meraka justru berpaling ke kubu lain atau minimal lebih memilih abstain. Kondisi tak ubahnya seperti peribahasa ‘harapkan burung terbang tinggi tapi punai di tangan dilepaskan”.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan