- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Jangan Serahkan Penindakan Pelanggaran Pemilu Melalui Proses Politik

Ilustrasi (rep: rs)

Oleh : Gugus Elmo Rais

Saya adalah salah satu orang yang meyakini jika proses Pemilu 2024 lalu telah terjadi banyak pelanggaran, baik yang  masuk kategori biasa hingga yang bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana Pemilu. Pelanggaran itu dalam keyakinan saya bisa dilakukan oleh semua Paslon yang ikut berkompetisi. Namun apakah tingkat pelanggaran itu sudah bisa dikategorikan sebagai tindakan yang  terstruktur, sistematis dan massif (TSM)  dan diorkrestasi  oleh poros kekuatan tertentu sebutlah kelompok petahana  itu butuh proses pembuktian yang panjang. Dan proses pembuktian itu harus melibatkan semua elemen yang terkait dalam proses penanganan sengketa Pemilu.

Landasan yuridis pelaksanaan Pemilu adalah  Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 : “bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali,”. Proses pelaksaaan Pemilu itu merupakan salah satu ciri demokrasi, negara yang masyarakatnya mendambakan suatu pemerintahan yang mencerminkan kehendak rakyatnya, atau rakyat berkuasa (government or rule by the people).

Meski belum ada literasi yang menyebut jika Pemilu menjadi unsur utama negara demokrasi, namun dalam Konferensi Bangkok 1965 tentang International Commision of Jurist  yang memperluas konsep rule of law menyebutkan jika terselenggaranya pemerintah yang demokratis  dibawah rule of law itu melalui proses Pemilu  dengan cara-cara :

  1. Perlindungan konstitusionil, konstitusi menjamin hak-hak individu, harus mementukan cara-cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
  2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals);
  3. Pemilihan umum yang bebas;
  4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
  5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
  6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Maka melihat cakupan pelaksanaan Pemilu 2024 yang begitu luas yang terdiri dari atas pemilih laki-laki 101.467.243, pemilih perempuan 101.589.505 yang tersebar  di 514 kabupaten/kota, 7.277 kecamatan, 83.731 desa/kelurahan,  serta 820.161 TPS (tempat pemungutan suara).  Sangatlah mustahil jika selama proses Pemilu itu tidak terjadi kecurangan baik yang dilakukan selama masa kampanye hingga proses penghitungan suara.

Menyikapi  banyaknya pelanggaran  selama proses Pemilu 2024 lalu, maka perlu kita pikirkan special treatment (perlakuan khusus) yang efektif tentu dalam kerangka kita sebagai negara hukum (rechstaats) dengan upaya penegakkan supremasi hukum (law enforcement) dan bukan sebagai negara kekuasaan (machstaats), meski ada hak konstitusional  yang melekat dalam diri setiap fraksi yang ada di DPR yakni hak untuk menggelar hak angket. Hak Angket  sendiri adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah.

Bila kita meminjam hipotesa dari  Wirjono Prodjodikoro  tentang pengertian pelanggaran adalah: ‘overtredingen’ atau pelanggaran berarti suatu perbuatan yang melanggar sesuatu dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain dari pada perbuatan melawan hukum. (Wirjono Prodjodikoro, 2003. Asas-asas Hukum Pidana. Bandung: Refika Aditama, hlm.33)

Masih menurut Wirjono Projodikoro, dalam sistem perundang-undangan hukum pidana, tindak pidana dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu :

  1. Kejahatan dan
  2. Pelanggaran

Tidak ada perbedaan tegas. Karena sama-sama delik atau perbuatan yang boleh dihukum. Menurut Wirjono  delik hukum (rechtsdelicten) adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan asas-asas hukum yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas daripada hal apakah asas-asas tersebut dicantumkan atau tidak dalam undang- undang pidana.

Sementara delik Undang-Undang (wetsdelichten) adalah perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara tegas dicantumkan dalam undang-undang pidana, terlepas dari apakah perbuatan tersebut bertentangan atau tidak dengan kesadaran hukum dari rakyat.

Segala bentuk Kejahatan dimuat dalam : buku II KUHP sementara pelanggaran dimuat dalam :  buku III KUHP Kejahatan :

  1. Kejahatan sanksi hukumannya lebih berat dari pelanggaran, yaitu berupa hukuman badan (penjara) yang waktunya lebih lama.
  2. Percobaan melakukan kejahatan dihukum, sedangkan pada pelanggaran percobaan melakukan pelanggaran tidak dihukum.

Tenggang waktu daluarsa bagi kejahatan lebih lama dari pada pelanggaran

Pelanggaran :

  1. Adanya perbuatan yang bertentangan dengan perundang-undangan
  2. Menimbulkan akibat hukum

Dengan meminjam hipotesa  Wirjono itu maka saya cenderung sepakat  bila kita  menggunakan pendekatan hukum  dalam proses penindakan terhadap pelanggaran Pemilu melalui proses hukum memakai perangkat hukum yang ada ketimbang menggunakan proses politik memakai hak angket yang melekat dalam diri Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meski penggunaan hak itu ‘tidak haram’. Tetapi penggunaan hak angket itu secara esensi kembali membiarkan hukum kita tidak independen dan dikendalikan oleh  kekuatan politik. Meski pranata hukum melalui beberapa perangkat undang-undang yang ada di Indonesia adalah produk politik di parlemen.

Namun membiarkan penanganan tindak pidana Pemilu melalui proses politik sama halnya kita memberi ruang terhadap proses politik yang transaksional. Bukan tidak mungkin isu hak angket itu bisa dijadikan alat manuver oleh kelompok tertentu untuk memperoleh konsesi politik tertentu dari kelompok yang ditekan,  sehingga memperoleh kompensasi politik. Meski harus diakui jika untuk memproses  pelanggaran hukum Pemilu itu memerlukan endorse yang sangat besar, dan biasanya itu efektif jika menggunakan teknanan secara politik.

Sebelum mengambil langkah hukum, kita perlu menginventarisir daftar isian masalah sekaligus melakukan kualifikasi pelanggaran yang dilakukan oleh para pihak.

Jenis Pelanggaran Pemilu sendiri ada 4 kategori yakni ;

  1. Pelanggaran administratif, Pasal 460 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjelaskan pelanggaran administratif meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.
  2. Pelanggaran kode etik, Penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dilakukan oleh DKPP. Praktiknya DKPP menerbitkan peraturan DKPP yang model penyelesaiannya menyesuaikan dengan UU No.7 Tahun 2017 dimana DKPP hanya memeriksa dan memutus pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara Pemilu yang bersifat permanen.
  3. Tindak pidana Pemilu, UU No.7 Tahun 2017 mengatur sedikitnya 77 bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pidana Pemilu. Banyaknya ketentuan pidana itu menunjukkan UU No.7 Tahun 2017 mengedepankan politik hukum pemidanaan (over criminalization).
  4. Pelanggaran hukum lain terkait penyelenggaran Pemilu/pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam praktiknya pelanggaran yang kerap terjadi adalah ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN).

Sementara konstruksi penegakkan hukum Pemilu adalah :

Penanganan pelanggaran oleh : Bawaslu, DKPP, KPU dan MA

Penyelesaian sengketa proses oleh : Bawaslu dan PTUN

Perselisihan hasil Pemilu  oleh        : Mahkamah Konstitusi

Penyelesaian sengketa Pemilu itu yang paling elegan adalah mengoptimalkan setiap organ-organ tersebut. Tentu  dengan melakukan proses pengawasan yang ketat. Sehingga proses hukum sebagai bagian dari proses pembelajaran (detterent effeck) sekaligus  proses penegakan hukum (law enforcement) dapat terpenuhi. Ketimbang proses politik yang menimbulkan kegaduhan(trial by opinion)  sekaligus hanya sekedar pemenuhan dari rasa kecewa pihak yang telah kalah. Tetapi kritik yang utama dari usulan hak angket itu adalah ketidak percayaan masyarakat terhadap akuntabilitas dan kredibilitas setiap organ atau elemen itu dalam menjalankan tugasnya sebagai sebuah lembaga yang seharus netral dan independen. Maka usulan hak angket itu harus dijadikan  momentum bagi sejumlah lembaga atau organ itu untuk bertindak secara independen dan profesional.(***)

  • Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Poleksosbudkum, Cakra Emas Syndicate

 

 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan