- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Makan Siang Gratis Yang Traumatis

No Free Lunch business concept as a financial entitlement benefit symbol for not getting something for nothing as a bag with text with 3D illustration elements on a white background.

Oleh : Gugus Elmo Rais

Hingga saat ini kita belum bisa dibreak down tingkat efektifitas program makan siang gratis yang diusulkan Gibran Rakabuming Raka (Cawapres pasangan 02). Apakah  program  itu memberikan kontribusi signifikan terhadap perolehan suara pasangan Prabowo-Gibran yang sementara ini mampu meraup suara 58,82 %, dalam posisi suara hasil real count yang masuk mencapai 78,82 %. Belum ada indikator yang bisa digunakan untuk mengukur jika program pro sosial yang didukung anggaran sekitar Rp 400 T adalah iming-iming yang menggiurkan buat masyarakat pemilih dalam Pilpres 2024, pada 14 Februari lalu.

Maka sangat menarik jika program makan siang gratis itu dikritisi dan dievaluasi sebelum menjadi program yang mubazir dan menguras keuangan negara yang seharusnya bisa direalokasi untuk program-program yang lebih produktif dan konstruktif untuk membangun sistem ketahanan ekonomi nasional. Program itu hanya akan mempertebal benchmark  bangsa kita sebagai bangsa pemurah dan paling dermawan di kolong langit. Namun program filantropi tidak akan pernah mendidik justru menjerumuskan bangsa kita menjadi bangsa penghamba.

Untuk membedah program makan siang gratis itu setidaknya kita bisa menggunakan pisau analisa dari dua aspek yakni aspek filosofis/psikologis terserta aspek teknis dan historis.

Dari aspek filosofis ada upaya dekonstruksi nilai yang cukup radikal dari sistem sosialisme Pancasila menjadi sosialisme filantropis.   Definisi filantropi berasal dari bahasa Yunani kata philanthropy, yaitu philen yang bermakna mencintai (to love) dan anthropos yang berarti manusia (humand kind).

Bila kita meminjam hipotesa John M, Echols, maupun  Hassan Shadly (1995) filantropi (philanthropy) secara etimologis memiliki makna kedermawanan, kemurahatian atau sumbangan sosial, sesuatu yang menunjukkan cinta kepada manusia.  Sementara dalam konsep Zaenal Abidin (2012:200) filantropi adalah praktik giving, services, dan association secara sukarela untuk membantu pihak lain. Bahkan filantropi juga bisa dimaknai sebagai voluntary action for the public good atau tindakan sukarela untuk kepentingan publik.

Seiring perkembangan zaman filantropi bermaka suatu kegiatan yang memiliki tujuan memberi material dan non material sehingga memberi perubahan pada masyarakat. Dalam pernyataan Arif Maftuhin (2017) mengenai filantropi merupakan kegiatan yang dilakukan secara umum dan mendunia, setiap manusia melakukan kegiatan ini dengan memberikan sebagian harta, waktu,uang dengan tujuan menolong orang lain.

Dalam upaya pengentasan kemiskinan filantropi merupakan salah satu pendekatan untuk mempromosikan kesejahteraan, yaitu pendekatan social service (social administration), social work dan philanthropy, pendekatannya pun bisa berbeda disetiap negara seperti definisi Midgley (1995). Pada masyarakat pedesaan filantropi dianggap sebagai salah satu modal sosial yang telah menyatu dan mengakar lama di dalam kultur komunal (tradisi).

Persoalannya sebegitukah urgensinya program pro sosial melalui program makan siang gratis itu. Berdasarkan data  hingga  Maret 2023  tercatat sebesar 9,36 persen, menurun 0,21 persen poin terhadap September 2022 dan menurun 0,18 persen masyarakat kita berada pada garis kemiskinan. Sementara pemerintah sendiri mengklaim jika hingga September  2022 angka kemiskinan ekstrem kita mencapai 1,12 %  dengan menggunakan indicator memilki purchase parity power, USD 1,9 atau sekitar Rp 45.000/hari. Apakah kelas ini yang akan disasar oleh program tersebut.

Munculnya program itu justru akan menghancurkan nilai-nilai kesetiakawanan dan kedermawanan masyarakat, karena fungsi itu akan diambil alih oleh negara, hal itulah yang melatar belakangi  tindakan Gus Dur  yang sempat membubarkan Departemen Sosial. Karena noktah-noktah nilai sosialisme filantropi itu sudah dijalankan berdasarkan nilai-nilai agama melalui program zakat dan shodaqoh.

Program makan siang gratis itu justru akan semakin menelanjangi kegagalan pemerintah dalam menjalan sistem sosialisme Pancasila sebagaimana mestinya. Sistem ekonomi Pancasila (sosialisme Pancasila)  ini lahir karena kegagalan dari sistem ekonomi kapitalis yang  menyebabkan kerusakan ekonomi dan kekejaman moral yang sering digambarkan oleh Max Weber sebagai between the devil and the deep sea (antara setan dan lautan yang dalam). Termasuk Soekarno yang telah melakukan perlawan frontal  terhadap kapitalisme dengan melakukan sinkretisme ideologi antara Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (NIM).

Ciri-ciri sistem ekonomi sosialis :

  1. Kepemilikan harta dikuasai negara
  2. Setiap individu memilki kesamaan kesempatan dalam melakukan aktivitas  ekonomi
  3. Disiplin politik yang tegas dan keras
  4. Tiap warga negara dipenuhi kebutuhan pokoknya
  5. Proyek pembangunan dilaksanakan negara
  6. Posisi tawar menawar individu terbatas.

Maka cara efektif untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial seperti yang menjadi kehendak bersama (volunte generale) adalah menjalankan dan mengamalkan sosialisme  sesuai dengan dasar filosofis Pancasila dan UUD 1945 terutama Pasal 33 (1,2,3)  secara konsisten dan konsekuen. Agar kita tidak terjebak dengan sosilaisme filantropis yang tidak mendidik  sekaligus kita harus  membangun karakter bangsa yang mandiri atau berdikari.

Dari aspek teknis, juga sangat sulit dibayangkan bagaimana mekanisme pemberian makan siang gratis. Apakah Kementerian Sosial (Kemensos) harus membuat dapur umum untuk melayani masyarakat kelas tertentu.  Sementara beban Kemensos sudah teramat berat karena harus selalu siap  untuk melayani masyarakat korban bencana apalagi Indonesia dikenal sebagai daerah yang rawan bencana sesuai dengan karakteristik geografinya sebagai ring of fire (daerah cincin gunung berapi). Atau fungsi itu akan dilakukan oleh pihak ketiga (vendor), mekanisme inilah yang rawan terjadinya korupsi seperti yang terjadi dalam proses pemberian Bansos.

Yang paling mengerikan justru dari aspek historis, program makan gratis itu pernah dilakukan oleh Menteri Sosial Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) ketika era Soeharto. Selama dua bulan menjadi Menteri  Sosial, Mbak Tutut pernah membuat program makan gratis dengan menunjuk berbagai warung makan termasuk Warteg untuk melayani masyarakat dengan sistem kupon. Faktanya, hingga saat ini pemerintah masih meninggalkan hutang ke banyak Warteg, karena uang makan itu tidak bisa diklaim ke pemerintah karena Soeharto terlanjur lengser. Maka sudah seharusnya jika program makan siang gratis itu dievaluasi bila perlu dibatalkan. Sehingga anggaran sebesar Rp 400 T itu bisa direalokasi  untuk program-program stimulus untuk penguatan sistem ketahanan ekonomi nasional.(***)

  • Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Poleksosbudkum, Cakra Emas Syndicate
prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan