- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Sistem Politik Yang Memecah Belah

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Ada fenomena yang menyedihkan, ketika bangsa ini mengalami musibah niscaya ada bencana susulan berupa banjir saling hujat. Seakan setiap fenomena alam itu dimaknai sebagai kontes audisi cacian yang paling nyaring, baik yang menggunakan bahasa-bahasa yang akademis hingga bahasa yang sangat sarkas. Sepertinya fatsoen atau tata krama itu menjadi nilai-nilai  yang telah ‘diharamkan’ dan ditinggalkan. Indentitas bangsa  ini yang  sopan dan santun hanya menjadi kisah masa lalu atau hanya sebuah fiksi yang  menjadi komoditas  untuk merayu orang asing datang ke Indonesia.

Ketika musibah banjir melanda Jabodetabek  awal tahun ini, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan   mungkin menjadi orang yang paling dinistakan dengan berbagai hujatan  dan bully-an dengan perkataan yang sangat menjijikan. Begitu juga ketika wabah Virus Corona mulai memasuki wilayah Indonesia, giliran Presiden Jokowi menjadi sasaran tembak hujatan sebagai pemimpin yang lamban dan hanya bisa plonga-plongo.  Semua forum diskusi hanya dijadikan sebagai ajang untuk mencari pihak yang pantas untuk disalahkan ketimbang untuk cari solusi bersama.

Padahal keduanya adalah pemimpin berbeda level yang semestinya menjadi symbol dari marwah kehormatan bangsa dan daerah yang dipimpinnya, dan seharusnya  itu dijaga bersama. Karena keduanya telah dipilih oleh mayoritas pemilih di level masing-masing. Dan penulis haqqul yaqin, jika kedua pemimpin itu telah  berdoa dan berusaha sekuat tenaga  agar rakyat yang dipimpinnya tidak terkena bencana. Tapi alih-alih diapresiasi  justru hujatan yang didapat. Ironisnya, hujatan itu banyak berasal dari politisi maupun pengamat yang belum tentu bisa berbuat apapun kecuali hanya mencaci.

Memang itu resiko jabatan sebagai pemimpin bangsa dan daerah yang menganut sistem demokrasi. Tetapi dalam demokrasi semestinya semua pihak menghargai fatsoen yang ada. Harus ada mekanisme untuk menampung semua usulan maupun bahkan kritikan itu sebelum ditampung dalam forum resmi yakni parlemen. Pers sebagai pilar demokrasi ke empat seperti halnya tesis Thomas Jefferson, seharusnya menjadi pengawal dalam proses itu, bukan justru ngipas-ngipasi suasana.

Lebih ironisnya setiap kritik yang dilontarkan itu hanyalah bungkus dari serangan politik terhadap lawan politiknya masing-masing yang bertujuan untuk melemahkan legitimasi lawannya di mata masyarakat,  terutama dalam kontestasi politik berikutnya. Maka yang terjadi, hingar  bingar politik yang tidak pernah melahirkan out put pemikiran maupun kebijakan yang konstruktif untuk mengatasi persoalan bangsa, semua menjadi ajang narsis bahwa dirinya yang paling kritis untuk menghadapi pemerintah, padahal isinya hanya pepesan kosong. Yang lebih tragis, ada beberapa kader partai yang hanya bersikap nyinyir terhadap pemerintah tanpa melihat fakta yang lebih obyektif sehingga terkesan asal njeplak (asal bunyi).

Fenomena saling hujat ini tidak terlepas buah dari proses amandemen terhadap UUD 1945 yang telah merubah banyak tatanan kenegaraan, baik dari Sistem Pemilu, Sistem Pemerintahan hingga Sistem Kepartaian. Sistem Pemilu dan menggunakan presidential threshold sebesar 20% hanya akan membuat masyarakat pemilih terfragmentasi menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan. Maka mulailah terjadi sikap saling menghujat, black campaign, hoaxs dan seterusnya  semenjak kedua pasangan ditetapkan sebagai pasangan Capres dan Cawapres.

Yang lebih tragis, liberalisme politik melalui sistem Pilpres langsung itu ditunjang oleh sistem multipartai, yang pernah dikritik oleh Scott Mainwaring kurang cocok dengan Indonesia. Dengan UU No 2 tahun 2011 yang merupakan perubahan  UU No 2 tahun 2008 tentang Parpol, siapapun bisa mendirikan partai asal memenuhi persyaratan administrasi dan ideologi. Perubahan sistem inilah yang memberi ruang tumbuh suburnya partai. Sekaligus memberikan ruang terhadap Ormas-ormas yang memiliki ideologi yang kurang sejalan dengan ideologi Pancasila, meski saat deklarasi mereka menyatakan jika Pancasila adalah ideologi yang final.

Maka sesungguhnya sistem multai partai inilah yang memberi ruang terhadap partai-partai untuk mengusung isu sektarian sekaligus sebagai upaya untuk membidik segmen konstituen yang khusus. Sehingga tak mengherankan bila jagad politik nasional akan selalu dijejali isu-isu sektarian yang akan direspon menggunakan isu sektarian juga oleh lawan politiknya yang pada akhirnya menjurus SARA dan disintegrasi bangsa.

Selama sistem politik tetap seperti saat ini, kegaduhan poltik akan terus terjadi yang bila tidak diantisipasi akan melunturkan lem perekat kebangsaan. Sehingga sudah saatnya, siapapun pemimpinnya memikirkan wacana untuk melakukan dekrit presiden untuk mengembalikan ke sistem tatanan yang lama, dengan catatan adanya perbaikan dari sejumlah Tupoksi kelambagaan, terutama Tupoksi DPR/MPR***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan