- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Orkestra Tanpa Symphoni

 

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Mendengar symphoni Brandenbug Concertos, Toccata dan Fugue yang diaransemen oleh komposer kenamaan, Johann Sebastian Bach sulit untuk tidak mengatakan ini adalah sebuah karya yang glorius. Bach berhasil menciptakan harmoni antara semua pemain orkestra yang jumlahnya mencapai puluhan hingga tercipta sebuah symphoni yang indah. Maka tidak berlebihan jika Bach dinilai sebagai komposer legendaris bersama dengan Mozart, Beethoven, Franz Liszt, Frederic Chopin atau dengan komposer-komposer seangkatannya seperti Henry Purcel, Jean Baptista Lully asal Prancis.

Sebagai komposer sekaligus konduktor, Bach mampu  mengintrodusir semua pemain dari pemain biola, flute, klarinet serta bassis untuk bermain secara maksimal berdasarkan kord dan partitur yang telah dia ciptakan. Tak jarang Bach memberikan kesempatan kepada para pemain untuk bermanuver melalui solo part untuk unjuk kebolehan tetapi tetap dalam harmoni yang dia ciptakan. Sehingga para pemainya bisa mendapat apresiasi dari penonton.

Dia juga ingin pemain biolanya mendapat apresiasi seperti violinis terkenal, Il Prete Rosso (Pendeta Merah), Antonio Vivaldi yang sangat dia hormati. Pendeknya setiap penonton pasti bisa menikmati keindahan atau kemewahan aransemen Bach atau justru termehek-mehek dan mengharu biru seperti halnya ketika menikmati aransemen Adrea Reu  dalam symphoni Romeo and Juliet.

Seorang presiden tak ubahnya seperti seorang komposer dan konduktor orkestra kebangsaan yang akan menghasilkan irama seperti yang dia inginkan sesuai dengan visi misi yang pernah dia paparkan. Bila dulu ketika era Orde Baru, partitur yang menjadi instrumen kewenangan itu adalah Pancasila, UUD 1945 serta Garis-Garis Haluan Negara (GBHN), serta UU dan peraturan turunannya maka kini partiturnya sedikit berubah, Pancasila, UUD 1945,  serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) serta peraturan turunan. Keindahan orksetra kebangsaan itu sangat tergantung kepatuhan sebuah rezim atas partitur-partitur itu.

Proses reformasi yang terjadi mulai tahun 1998 telah merubah partitur-partitur kebangsaan itu secara drastis. Sebagai antitesis dari pemerintahan yang sentralistik, reformasi telah merubah partitur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang utuh menjadi NKRI yang bercita rasa federalisme melalui instrumen yang bernama Otonomi Daerah pasca terbitnya UU No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.

Partitur dan instrumen itulah yang tanpa sadar telah mengamputasi kewenangan presiden sebagai aransemen dan konduktor secara utuh. Karena dengan partitur dan instrumen itulah para kepala daerah memiliki diskresi dan kewenangan untuk bermanuver atau solo part yang memiliki potensi menciptakan disharmoni sesuai dengan aransemen yang telah diciptakan oleh presiden atau pemerintah pusat. Bahkan tak jarang menciptakan kebingungan tersendiri di masyarakat.

Kebingungan bangsa ini  juga terlihat ketika menyusun protokol penanganan krisis yang sebenarnya menjadi cerminan kebingungan hukum ketata negaraan yang kita anut. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 negara ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetapi cita rasanya adalah negara federal setelah terbitnya UU No 23 tahun 2014 yang merupakan perubahan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah atau yang lebih dikenal dengan Otonomi Daerah. Berbekal instrument itulah setiap kepala daerah, Gubernur/Bupati memiliki kewenangan (otoritas) untuk membuat kebijakan sendiri sesuai dengan kebutuhan dengan catatan tidak melanggar ketentuan yang berlaku.

Desentralisasi kebijakan ini di satu sisi meringankan beban pemerintah pusat, karena daerah tidak terlalu tergantung dari pusat. Tetapi disisi lain menimbulkan kesan kepala daerah tidak bisa dikendalikan dan jalan sendiri-sendiri. Faktor inilah yang menimbulkan tudingan jika Gubernur DKI Anies Baswedan, nylonong sendiri serta curi panggung dalam penanganan wabah Corona. Sebaliknya, karena garis hirarki kebijakan yang terputus, Jokowi dituding lamban dan hanya plonga-plongo. Padahal kedua pemimpin itu telah berusaha sekuat mungkin untuk menanggulangi bencana, tetapi justru hujatan oleh orang-orang yang tidak paham birokrasi.

Maka momentum terjadinya dua bencana besar, banjir dan Corona itu harus dijadikan bahan evaluasi tentang hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam kondisi-kondisi darurat. Agar hambatan birokrasi justru tidak menjadi penghalang bagi upaya-upaya kemanusiaan. Kerja, kerja, dan kerja tanpa komunikasi dan koordinasi serta sosialisai hanya akan menimbulkan kekacauan serta salahnya pemahaman masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.

Tanggalkan kepentingan sektoral, dan kepentingan kelompok sebelum duduk bersama dengan orang-orang yang mungkin berbeda afiliasi politik untuk mencari solusi bersama demi kepentingan bangsa dan negara. Bangsa ini memerlukan pertolongan dengan cara semua elemen bangsa mau bergandengan tangan untuk menghadapi setiap persoalan bukan justru saling menyalahkan. Sehingga orkestra kebangsaan ini tetap memiliki symphoni yang  indah dan glorius sebagai bangsa yang besar dan disegani di dunia.

Berbekal pemahaman seperti itu, maka  hentikan sikap saling menghujat. Atau tindakan untuk saling mempermalukan kelompok lain. Kekisruhan ini murni karena perubahan partitur  dan perubahan sistem yang belum sempurna. Persoalan inilah yang saat ini menjadi pekerjaan rumah terbesar bangsa ini  untuk menyusun konsep ketata negaraan  yang komperhensip.

Selama pekerjaan rumah itu belum terselesaikan, para pemimpin juga harus punya keberanian untuk menegur para loyalis dan pendukungnya untuk tidak melakukan kekerasan verbal dengan menghujat kelompok/pemimpin lain. Sehingga tidak tercipta ketegangan baru, karena pemimpin yang negarawan itu bukan hanya mengayomi kelompoknya semata, tetapi juga merangkul kelompok-kelompok yang berbeda afiliasi politiknya.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan