- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

The Last Battle

 

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Masih terlalu dini untuk membahas Calon Presiden (Capres) yang akan muncul dalam Pilpres 2024 nanti. Apalagi politik di Indonesia sangat dinamis, sehingga masih banyak kemungkinan yang akan terjadi. Hingga saat ini hasil survey yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survey masih fluktuatif, tergantung dinamika dan isu yang terjadi di masyarakat. Banyak nama kalangan milenial yang digadang-gadang akan muncul ke permukaan, sebutlah nama Puan Maharani, Anies Bawesdan, Sandiaga Uno, Pangeran Cikeas, Agus Harymurti Yudhoyono (AHY), Erick Tohir hingga Ganjar Pranowo.

Tidak ada satupun nama yang terlihat menonjol, dan berharap kemungkinan munculnya ‘satrio piningit’ yang bisa datang secara tiba-tiba dan memenangkan pertarungan, veni, vidi, vici  juga sangat kecil. Dalam jagad politik nasional, tak ada satu sosokpun yang fenomenal, seperti halnya Joko Widodo yang bisa menjadi media darling, ketika menjadi Wali Kota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta. Melihat konstelasi politik seperti itu, maka siapapun yang akan maju dalam Pilpres 2024 nanti harus bekerja ekstra keras untuk melakukan personal branding di masyarakat sekaligus bisa memenangkan pertarungan.

Selain nama-nama milenial itu, yang tak kalah menarik adalah membahas gerakan-gerakan yang akan dilakukan oleh para old crack (para jagoan tua), seperti Prabowo Soebianto yang tahun 2024 berusia 73 tahun serta Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto yang tahun 2024 nanti akan berumur 62, atau SBY yang akan berumur 75 tahun dengan catatan Partai Demokrat tidak memilih calon lain  serta beberapa nama seperti Ketua Umum PPP, Soeharso Monoarfa. Karena pembatasan masa jabatan, Jokowi sudah tidak mungkin mencalonkan diri lagi. Maka bagi para ‘jago tua’ itu Pilpres 2024 adalah  the last battle (pertempuran terakhir) sebagai kesempatan untuk mewujudkan cita-cita paling paripurna setiap politisi.

Peluang para jago tua itu memenangkan pertarungan memang masih terbuka lebar. Bila ‘komitmen’ dan kekompakan antara PDIP dan Gerindra tetap terjaga, maka tahun 2024 itu hanyalah tahun penantian untuk pelantikan buat Prabowo, yang sudah beberapa kali tersingkir dalam pertarungan.

Meski kini popularitas Prabowo lagi melambung tinggi sebagai salah satu menteri yang memiliki kinerja paling moncer di Kabinet Kerja, tetapi munculnya kasus gratifikasi yang melibatkan kader Gerindra, Edi Prabowo  serta kasus korupsi Bansos, yang menyeret Juliari Batubara, dapat dipastikan akan menggerus suara kedua partai sekaligus merubah konstelasi politik seperti halnya prahara yang pernah menimpa PKS pasca kasus daging sapi.

Bila PDI-P mendorong Ganjar  dan berpasangan wakilnya dari Gerindra, apakah mungkin Gerindra akan mau menerima.  Dan satu hal yang masih perlu diuji, apakah Ganjar bisa memiliki tingkat elektabilitas yang  sama  dengan Jokowi mengingat Ganjar memiliki tipikal yang mirip Jokowi. Sementara masyarakat di Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang gampang waleh (bosen) dengan gaya kepemimpinan, karena naiknya Jokowi sebagai RI 1 tidak terlepas dari gayanya yang merkayat merupakan  antitesis dengan gaya SBY yang cenderung protokoler.

Jago tua lainnya yang masih memiliki peluang untuk memenangkan pertarungan Pilpres 2024 nanti adalah Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto. Sebagai partai tengah dalam pengertian ideologi serta perolehan suara, maka  demi kehormatan  partai, Golkar pasti akan berancang-ancang untuk mencalonkan ketua umumnya sebagai Capres 2024 nanti.   Personal image, Airlangga sebagai politisi yang santun sangat melekat kuat. Mantan Menteri Perindustrian ini nyaris tidak pernah terlibat perseteruan dengan politisi lain.

Airlangga dikenal memiliki pola pendekatan yang elegan terhadap lawan-lawan politiknya. Pola pendekatan seperti itu diperlihatkan Airlangga ketika terpilih menjadi Ketum Golkar, Airlangga menghindari permis the winner take all dengan mengakomodir kubu lawan politiknya. Karakter ini akan mempersempit potensi terjadinya kegaduhan politik  serta  polemik yang menguras energi apabila Airlangga mencalonkan diri sebagai  Capres 2024.

Karena publik pasti akan memaklumi kesalahan Partai Golkar di masa lalu, seperti halnya partai lain yang dinilai pernah membuat kesalahan, seperti Partai Demokrat yang kerap dikaitkan dengan kasus Hambalang,  PKS dengan kasus daging sapi, kini Gerindra kasus  benur udang serta PDIP dalam kasus Bansos. Terpilihnya partai tengah itupun bisa menjadi titik kompromi antara partai-partai Islam serta partai-partai nasionalis. Sehingga pemerintahan baru yang terpilih akan bisa fokus dan kosentrasi dalam menjalankan program pembangunan.

Airlangga juga bisa berperan sebagai dinamisator  pembangunan. Untuk menciptakan kesinambungan pembangunan (sustainable), maka pasca pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK maupun Jokowi-Ma’ruf, program pembangunan periode selanjutnya adalah program pembangunan yang produktif. Karena fase selanjutnya, kita akan memasuki fase pay back period   (pengembalian modal) dari belanja modal besar-besaran yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam membangun infrastruktur.

Dengan konsideran seperti itu maka program industrialisasi merupakan sebuah jawaban sekaligus keniscayaan. Apalagi program industrialisasi bisa mengakomodir angkatan kerja yang jumlahnya terus meningkat. Dalam konteks itulah Airlangga merupakan satu-satunya figur Capres yang memiliki wawasan  kognitif yang memadai tentang proses industrialisasi.

Airlangga merupakan konseptor handal yang bisa membuat blue print tentang revolusi industri sekaligus mengeluarkan bangsa ini dari kejumudan sebagai negara agraria yang terbukti tidak bisa melakukan ekstensifikasi pertanian. Selain dinamisator pembangunan, Airlangga juga merupakan seorang eksekutor kebijakan yang tangguh serta memiliki kemampuan managerial yang mumpuni ketika menjadi Menperin.

Program pembuatan berbagai kawasan industri terbukti efektif sebagai proses desentralisasi industri sekaligus menekan laju urbanisasi. Airlangga merupakan salah satu dari sedikit Menteri Kabinet Kerja yang cerdas menterjemahkan visi Presiden Jokowi terutama dalam menciptakan kemandirian ekonomi.  Berbekal pengalaman seperti itulah, perolehan suara dalam Pilpres 2019 lalu sebesar 12,31% serta 85 kursi pasti akan meningkat secara signifikan.

Pertanyaannya, karakter  pemimpin seperti apa yang diinginkan oleh mayoritas masyarakat pemilih dalam Pilpres 2024 nanti. Bila berdasarkan kualifikasi normatif, seperti elektabiltas, kapabilitas, integritas pasti semua calon  bisa memenuhi kriteria seperti itu. Dikotomi sipil dan militer dapat dipastikan akan mengalami penurunan yang signifikan, seiring dengan pemerintahan Jokowi yang relatif stabil. Maka isu yang pasti akan ramai dan dijadikan senjata politik oleh partai-parati itu adalah isu-isu tentang managemen kebangsaan. Karena isu tentang ekonomi pasti akan dimentahkan adanya pandemi serta krisis global.

Pembubaran HTI dan FPI pasti akan menjadi isu yang paling efektif sebagai senjata politik untuk menyerang lawan. Terutama oleh partai-partai yang berbasis agama. Dan senjata itu pasti tidak hanya akan dipergunakan oleh partai, tetapi jiga oleh Ormas-Ormas maupun tokoh-tokoh yang merasa dirugikan oleh keputusan pemerintah itu.Konstelasi itu pasti sangat menguntungkan partai tengah dan moderat. Karena bisa diterima kiri maupun kanan.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan