- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Mungkinkah Jokowi Akan Korupsi ?

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Ternyata ada banyak berkah yang tersamar (blessing in disguise) dibalik munculnya wabah Covid 19. Diantaranya adalah kita harus membedah hukum ketata-negaraan kita yang semrawut pasca proses amandemen UUD 1945, serta lahirnya beberapa UU turunan yang membuat tata-negara kita menjadi semakin ribet. Misalnya, lahirnya UU No 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah yang membuat pola relasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi canggung. Yang pada akhirnya membuat langkah pemerintah  terkesan menjadi lelet dan lamban dalam menyikapi keadaan, terutama disaat-saat terjadinya kejadian yang luar biasa seperti saat ini.

Lahirnya Undang-Undang  No 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah itulah yang memberi ruang pada setiap daerah untuk menentukan kebijakan tersendiri dalam merespon sebuah fenomena  dan kejadian luar biasa seperti wabah dan bencana. Contoh konkritnya adalah, kewenangan untuk mengajukan PSBB itu ada di tangan Pemda meski keputusan akhirnya berada di Kementerian Kesehatan. Hak itulah yang mengamputasi kewenangan pemerintah pusat untuk mengambil kebijakan yang seragam sekaligus melakukan instruksi ke semua daerah. Ironisnya, bila kebijakan daerah terbukti lebih efektif, itu secara otomatis merusak marwah pemerintah pusat yang pada gilirannya akan memunculkan disobediens (pembangkangan) di masyarakat. Sekaligus akan merusak budaya hukum yang ada, karena  terkesan ada inkonsistensi dan semua pihak memiliki penafsiran hukum sendiri-sendiri.

Persoalan lain hukum ketata-negaraan yang pantas untuk dicermati adalah tentang hak budgeting DPR yang kini menjadi tidak jelas. Seperti diketahui bahwa, untuk menangani wabah Covid 19 yang semakin meluas, Presiden Jokowi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti  Undang-Undang (Perppu) No 1 tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Sistem Stabilitas Keuangan Negara dalam menghadapi Wabah Covid 19. Dengan berbekal premis salus populi supreme lex esto (keselematan rakyat adalah hukum tertinggi), Pemerintahan Jokowi seakan ingin all out mengerahkan segala daya termasuk anggaran untuk memerangi Covid 19.

Diantaranya adalah melakukan realokasi dan refocusing  serta mandatory spending (penyesuaian belanja negara) anggaran di APBN 2020. Setelah melakukan penyisiran itu terkumpul anggaran sekitar Rp 405,1 triliun yang dialokasikan kebeberapa sektor seperti Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp 75 triliun  untuk bidang kesehatan  serta Rp 70,1 triliun insentif perpajakan.

Tindakan Jokowi menerbitkan Perppu inilah yang kini menuai polemik dan dituduh sebagai bentuk abuse of power, karena dinilai telah merampas  hak budgeting DPR. Sejumlah tokoh kini telah menyiapkan gugatan terhadap Perppu Corona itu ke Mahkamah Konstitusi karena berpotensi terjadinya korupsi besar-besaran. Bahkan suara keras itu  juga muncul dari  dalam ‘kandang banteng’ sendiri, seperti misalnya Arteria Dahlan yang mendesak  KPK untuk mengawasi Presiden Jokowi. Karena Arteria menilai jika penerbitan Perppu itu telah menabrak fatsoen konstitusi serta melanggar kedaulatan rakyat dalam bidang politik anggaran.

Seperti diketahui, selama ini publik memahami jika fungsi DPR itu setidaknya ada tiga yakni, fungsi legislasi (pembuatan undang-undang), fungsi budgeting (menyusun anggaran dalam APBN) serta fungsi pengawasan. Dan sikap keras kalangan DPR itu  merupakan bagian dari fungsi pengawasan yang memiliki hak immunitas (kekebalan) sesuai dengan   UU no 17 tahun 2014 tentang MPR/DPR dan DPD terutama Pasal 79 ayat (4) huruf (a) mengenai  kebijakan pemerintah tentang kejadian luar biasa.

Maka munculnya Perppu bisa menjadi sebuah diskursus tentang hak budgeting . Karena  setelah proses amandemen UUD 1945 terutama Pasal 23, huruf  (a) sampai (g), bahwa fungsi budgeting  yang sebelumnya ada di tangan DPR itu kini tidak secara jelas diatur.  Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . Yang menarik adalah disertasi Ronny SH, mahasiswa pasca sarjana UI yang mendapati bahwa prinsip utama hak budget berubah dengan tidak diakuinya lagi hak budget dalam UUD 45. Hal ini, karena melalui perubahan Keempat UUD 45, pada Aturan Tambahan Pasal II, tidak dikenal lagi adanya Penjelasan UUD 45. Selama ini, hak budget ada karena diatur dalam Penjelasan UUD 45.

Ronny berkesimpulan bahwa anggota Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR yang melakukan amandemen terhadap UUD 45, tidak menyadari dampak dari dihapuskannya Penjelasan UUD 45. Kesimpulan itu diambil setelah ia melihat risalah sidang PAH BP MPR yang ternyata tidak menyinggung sedikitpun soal kemungkinan hilangnya hak budget itu dari DPR. Ronny berpandangan bahwa belum sesuainya penggunaan hak budget karena beberapa faktor yaitu adanya penafsiran terhadap Pasal 23 ayat (1) UUD 45 dan konstitusi tidak mengatur secara tegas tentang apa yang dimaksud anggaran negara. Hal itu menimbulkan penafsiran masing-masing anggota DPR dalam menggunakan hak budget.

Maka, menurut saya penerbitan Perppu belum bisa dijadikan dasar untuk menilai Jokowi  terindikasi korupsi atau tidak. Tetapi bisa dijadikan sebagai pintu masuk untuk menelusuri adakah tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pembantunya dalam mengimplementasikan kebijakan yang ada dalam Perppu itu. Termasuk  kemungkinan adanya pihak yang diuntungkan dengan terbitnya Perppu itu. Apalagi ini menyangkut anggaran yang sangat besar.*** 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan