- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Antara Partai Kritis Dan Partai Nyinyir

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Demokrasi yang lahir di Yunani pada abad ke 3 SM, adalah sebuah sistem yang memberi ruang pada masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Pada era demokrasi primitif (tribalisme),  masyarakat bisa terlibat langsung dalam proses musyawarah untuk mencari permufakatan. Demokrasi secara langsung itu bisa dijalankan  karena saat itu jumlah penduduk masih sangat kecil, sehingga negara-negara Yunani kuno didominasi oleh negara-negara kota.

Ketika populasi manusia terus meningkat, tribalisme itu menjadi tidak relevan, karena  sistem menjadi lebih rumit dan kompleks,  sehingga Thomas Hobbes memperkenalkan  sistem demokrasi perwakilan. Dengan sistem ini kedaulatan rakyat diagergasikan dalam sistem parlementer. Partai menjadi alat penyambung lidah rakyat untuk menyampaikan aspirasinya. Terutama untuk negara-negara yang menganut sistem trias politica, tentang sistem pembagian kekuasaan, antara eksekutif, legislative dan yudikatif ala Montesquieu.

Selain sebagai penyambung lidah rakyat, partai yang menjadi pemasok utama kekuasaan legislative juga memiliki Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) sebagai pembuat undang-undang sekaligus  sebagai pengawas jalannya pemerintahan (wacth dog). Berdasarkan Tupoksi inilah, Karl Raymond Propper membuat tesis jika kritik  adalah bagian dari upaya  untuk menyempurnakan penyelesaian sementara (tentative solution) yang telah dilakukan oleh pemerintah/penguasa.

Sehingga berdasarkan teori Propperian ini, kritik yang dilontarkan oleh partai harus sebangun sekaligus menyempurnakan kebijakan pemerintah yang ada. Artinya, meskipun kebebasan untuk berbicara (freddom of speech and expresion) merupakan prasyarat utama demokrasi (qonditio sin qua non),  sekaligus sebagai syarat utama adanya keadilan seperti tesis John Rawl dalam bukunya, The Theory of Justice, tetapi kebebasan itu harus tetap menggunakan fatsoen (tata karma).

Dalam sistem demokrasi setiap rezim pasti memiliki niatan baik untuk membawa masyarakatnnya menjadi lebih baik. Karena parlemen selalu menjalankan fungsi pengawasan untuk mengawal proses pengambilan kebijakan. Polemik yang terjadi mungkin lebih pada perbedaan padangan tentang metoda untuk mengambil sekaligus menjalan kebijakan itu. Disinilah pengejawantahan dari fungsi chek and balance itu dilaksankan.

Maka bila partai melakukan kritik terhadap penguasa tetap harus ada solusi pembanding dengan kebijakan pemerintah yang ada. Tetapi bila partai tidak setuju dengan kebijakan pemerintah,  partai harus bisa  menawarkan program alternative untuk menyelesaikan persoalan yang sama. Sehingga tidak terjadi  kekosongan kebijakan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang kompleks itu. Bila partai bisa mengambil peran seperti itu, posisi menjadi mitra pemerintah atau menjadi kekuatan oposisi tetap akan memberikan benefit terhadap kemaslahatan masyarakat. Tipologi inilah yang bisa dikategorikan sebagai partai yang kritis.

Sebaliknya, bila sikap keras partai  itu lebih dilandasi karena perbedaan ideologi, hanya akan melahirkan apatisme politik. Partai tidak pernah memberikan apresiasi terhadap  berbagai upaya pemerintah, baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Bahkan setiap upaya pemerintah dinilai sebagai cara yang idiot, tanpa pernah memberikan  solusi pembanding ataupun program alternatif, sesungguhnya gaya politik seperti inilah yang dikategorikan sebagai partai nyinyir atau waton bedo (asal berbeda).

Ironisnya, gaya politik keras ala preman ini sering hanya digunakan untuk menggertak lawan politiknya sekaligus menaikan posisi tawar pribadi maupun kelompoknya ketimbang untuk mencari solusi bersama guna untuk kemaslahatan masyarakat. Bahkan dalam setiap isu hanya digunakan untuk menyudutkan sekaligus menjatuhkan pamor sekaligus sebagai bagian dari upaya politik untuk menghadang lawan politiknya dalam kontestasi politik yang akan datang  tanpa bisa memberikan solusi.

Fenomena yang terjadi saat ini adalah berpolitik berdasarkan sikap apatis. Sehingga terjadi sikap saling hujat dan menyalahkan tanpa pernah mau memberikan apresisai terhadap lawan politiknya. Bila gaya berpolitik seperti itu tidak dirubah, para politisi hanya akan memproduksi dendam terus menerus. Setiap event politik maupun forum-forum diskusi  hanya dijadikan sarana untuk mencari pihak yang paling layak untuk disalahkan, tetapi bukan sarana musyawarah untuk mencari solusi bersama. Bukti yang paling aktuil adalah perbedaan pandangan dalam menyikapi banjir di Jabodetabek.

Sikap politik seperti inilah yang akan cepat merobohkan bangunan kebangsaan, karena  masing-masing pihak tidak mengembangkan sikap saling percaya. Karena bangsa ini dibangun dan dirikan oleh kehendak bersatu, yang dikutip oleh Bung Karno dari Karl Renan maupun Otto Baeur.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan