- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Langit Sudah Mau Runtuh, Kapan Hukum Ditegakkan ?

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Seorang negarawan Romawi yang juga mertua dari Julius Caesar, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) pernah melontarkan semboyan yang sangat terkenal, fiat justitia ruat caelum (hendaklah keadilan ditegakkan, walau langit akan runtuh) yang kemudian dilanjutkan dengan semboyan, fiat justitia et pereat mundus (hendaklah keadilan ditegakkan agar langit tidak runtuh). Semboyan itu hingga saat ini menjadi mantra dan doktrin bagi para hamba wet (aparat penegak hukum) untuk menjaga ‘stamina’ mereka dalam menegakkan supremasi hukum (law enforcement).

Semua elemen catur wangsa penegak hukum yang terdiri dari, polisi, jaksa, hakim serta advokat memiliki spirit yang sama berbekal doktrin dari Lucius. Bahkan advokat memiliki fungsi dan peran untuk mengawal proses hukum dari seorang klien, sehingga proses hukum yang dijalani itu sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku yakni, KUHP, KUHAP serta KUHper.

Sehingga berdasarkan tugas pokoknya yang mulia itu, advokat yang ada sejak jaman Belanda berdasarkan Reglement of de Rechtterlijke organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia (S. 1847 No. 23 yo S. 1848 No. 57) itu dijuluki dengan officium nobile (jabatan yang mulia), dengan asumsi keadilan akan diperoleh salah satunya oleh kemampuan advocate dalam membela perkaranya.

Tetapi meski unsur penegakkan supremasi hukum kita sudah lengkap berupa, UU, intitusi hukum, serta aparat penegak hukum tetapi harapan terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat sesuai dengan asas persamaan (equality before the law), masih jauh panggang dari api. Semua terbentur oleh kadar moralitas aparat penegak hukum kita yang sangat rendah. Padahal moral adalah roh dari penegakkan hukum itu sendiri (quid leges sine moribus).

Aparat penegak hukum dengan kesadaran penuh justru menistakan institusi masing-masing sebagai sub ordinat kekuasaan. Sikap kecewa masyarakat kita sering ditumpahkan dengan peribahasa hukum di Indonesia ‘tumpul keatas dan tajam kebawah’. Padahal sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan negara kekuasaan (machstaat). Proses penegakkan hukum masih sangat tergantung kepada pusat kekuasaan (who’s man behind the gun).

Padahal sesuai dengan judul di atas, dunia ini semakin tua, dan bukan tidak mungkin, tidak lama lagi langit akan runtuh karena kiamat telah tiba. Sesuai dengan  hadist Nabi Muahmmad SAW  diantara  tanda-tanda datangnya kiamat itu adalah banyaknya peristiwa pembunuhan dan korban bencana, dan fenomena ini terlihat jelas saat ini. Meski datangnya kiamat kubro (besar) tetapi menjadi rahasia Tuhan. “Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” Surah Al-A’rāf: 187.

Bukti bahwa penegakkan supremasi hukum masih misterius sudah sangat banyak. Terutama untuk kasus-kasus korupsi yang masuk kategori mega skandal, atau kasus yang melibatkan banyak nama-nama top. Misalnya kasus korupsi E-KTP yang berhenti sampai Setnov, padahal ditengarai melibatkan banyak nama di Senayan, terutama tokoh-tokoh yang dekat dengan kekuasaan, Kasus dugaan korupsi di Pelindo hingga saat ini juga tidak jelas juntrungannya. Peristiwa penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Bawesdan hingga saat ini juga terkesan jalan di tempat.

Tidak adanya penjelasan dari pemerintah terhadap progress penanganan kasus-kasus itu hanyak akan melahirkan tuduhan-tuduhan miring jika pemerintah setengah hati dalam menegakan supremasi hukum, meski langit sebentar lagi akan runtuh.

Tuduhan yang paling ringan adalah pemerintah telah melakukan standar ganda atau mempraktekkan tebang pilih penegakan supremasi hukum. Sangat responsif terhadap kasus-kasus yang melibatkan tokoh-tokoh yang memiliki afiliasi politik yang berbeda dengan pendukung pemerintah. Sebaliknya bersikap ambigu dan ambivalen terhadap figur-figur yang pro dengan pemerintah. Kondisi ini jelas sangat menciderai asas-asas persamaan di depan hukum (equality before the law).

Maka menjelang pengumuman hasil rekapitulasi KPU yang menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang Pemilu sekaligus berhak menjadi presiden, wacana tentang siapa yang pantas menduduki jabatan puncak catur wangsa penegakkan hukum, (Kapolri, Jaksa Agung, Ketua MA) harus mulai diapungkan. Mereka haruslah orang-orang yang independen dan professional. Orang-orang yang bias melepaskan diri dari afiliasi politik, sehingga benar-benar independen dalam menegakan supremasi hukum sekalipun terhadap orang-orang yang ada di sekitar  pusat kekuasaan. ***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan