- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Ribetnya Sistem Multi Partai

Oleh : Gugus Elmo Rais

Dalam  serangan  brutal selama 11 hari yang dilakukan militer Israel terhadap Jalur Gaza selama Ramdahan lalu menelan setidaknya  244  warga Palestina tewas. Termasuk di dalamnya adalah 65 korban  jiwa yang masih anak-anak. Serangan melalui pesawat-pesawat tempur canggih milik Israel itu mampu meluluh lantakkan Gaza. Sebagai balasan, Hamas meluncurkan setidaknya sekitar 3000 roket ke wilayah Israel, meski dibentengi dengan system pertahanan Iron Dome (kubah besi)  berupa rudal-rudal anti roket, tetapi beberapa roket masih mampu memporak porandakan sejumlah tempat di Israel.

Saya tidak akan masuk dan membahas tentang klaim sejarah siapa yang paling berhak untuk menduduki Gaza sebagai bagian dari rencana Israel untuk menjadikan   Yerusalem Timur sebagai new capitol. Tetapi ingin membedah salah satu faktor kenapa konflik yang kerap menimbulkan krisis kemanusiaan itu terjadi secara berkepanjangan.  Tanpa ada keinginan dari salah satu pihak untuk duduk bersama dan menyelesaikan konflik itu secara damai dan civilize.

Meski tidak mudah dalam pelaksanaannya, seandainya kedua entitas yang saling bermusuhan itu mau menerima konsep two state solution  seperti tahun 1967 yang telah didukung oleh PBB, mungkin konflik itu akan dapat segera diakhiri. Dan kedua negara itu bisa hidup berdampingan secara damai. Tetapi rumitnya, adanya konflik  berdarah itu justru terkesan dipiara oleh kedua entitas demi kepentingan politik domestik masing-masing.

Perdana Menteri Israel saat itu Benyamin Netanyahu (Bibi) sangat bernafsu untuk menggempur Gaza sekaligus menghabisi Hamas sebagai kekuatan politik yang dominan di Gaza sebagai bagian dari upaya untuk mendongkrak popularitas dirinya serta Partai Likud dalam menghadapi Pemilu. Apalagi popularitas Bibi saat itu sedang ambrol pasca tersangkut kasus dugaan korupsi. Serangan itu mendapat legitimasi, dengan cap Hamas sebagai organisasi teroris.

Maka Bibi sebagai penganut politik ultra nasionalis berharap dengan serangan itu, semua partai akan merapatkan barisan, sekaligus membentuk koalisi  dan mendukungnya untuk memepertahankan kursi kekuasaan sebagai Perdana Menteri Israel.  Meski gagasan Bibi itu juga mendapat banyak tentangan dari partai-partai lain.  Dan terbukti akhirnya Bibi justru terpental dan diganti oleh, Naftalli Bennet dari Partai Yamina.

Seperti  diketahui,  mengutip dari Jerusalem Post  populasi Israel kini mencapai sekitar 9,246 juta jiwa. Populasi Yahudi diperkirakan mencapai 6.841 juta warga atau sekitar 74 persen di Israel. Sedangkan populasi Arab Israel adalah 1.946 juta warga atau 21 persen dan 459 ribu jiwa lainnya atau sekitar 5 persen diklasifikasikan terdiri dari berbagai kelompok. Ironisnya, dengan jumlah populasi yang relative kecil itu Israel menganut sistem politik multi partai.

Tercatat ada sekitar 11 partai yang memperoleh suara di Knesset, seperti Kadima, Likud, Yisrael Beitiniu, Avoda, Shas, United Torah Judaisme, United Arab List/Ta’al, Moledet, Haktiva serta puluhan partai kecil yang tidak memperoleh kursi di parlemen seperti Ahrayut, Al Yarok, Am  Salem. Maka tak mengherankan bila pemerintah Israel selalu kesulitan untuk menentukan langkah terkait konflik dengan Israel. Bahkan beberapa komunitas Yahudi juga secara terang-terangan menentang kebijakan perang itu.

Setali tiga uang, kondisi politik di Palestina juga tak kalah rumit. Dengan jumlah populasi mencapai 4,586 juta jiwa, Palestina juga menganut sistem multi partai. Setidaknya ada 14 partai yang memperoleh kursi di parlemen seperti, Partai Front Demokratik (Al  Jabhah Al Dimuqrotiyah), Partai Fatah/PLO (Harakat Al Tharir Af Filastin), Partai Hamas (Harakat Al Muqawamah Al Islamiyah) Partai Persatuan Demokratik Palestina serta beberapa partai lain yang memiliki aliran dan ideology yang berbeda-beda.

Fragmentasi politik kedua entitas itulah yang menyulitkan kedua belah pihak bisa memperoleh kata sepakat dalam menyikapi konflik yang ada di wilayah itu. Sehingga setiap proposal perdamaian yang disodorkan oleh pihak ketiga selalu mendapat tentangan dalam negeri masing-masing. Seakan setiap kelompok tidak mempedulikan adanya korban rakyat sipil yang tak berdosa berjatuhan demi kepentingan politik kelompok masing-masing.

Krisis Israel dan Palestina menjadi sebuah pembelajaran yang berharga jika sistem multi partai cenderung lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Hal itu terkait dalam proses pengambilan keputusan yang memerlukan kesepakatan dalam waktu yang cepat. Meski sesuai dengan konvenan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), kebebasan berbicara dan berserikat itu telah memperoleh jaminan.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan