- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Politik Etis Bisa Merusak BUMN

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Liberalisasi politik melalui sistem Pemilu secara langsung serta sistem multi partai membuat tatanan menjadi lebih semrawut yang akan mempersulit pemerintah dalam mewujudkan cita-citanya untuk membentuk good & cleans governance (pemerintahan yang baik dan bersih). Dalam sistem multi partai yang kita anut, tahun 2019 ada 16 partai yang lolos dengan 9 yang lolos parlementiari threshold sebesar 4 persen, maka tidak ada partai yang memperoleh suara yang signifikan. Mayoritas partai hanya memperoleh suara di bawah 20%.

Sehingga untuk memenuhi ketentuan presidential threshold sesuai dengan ketentuan Pasal 222 Undang Undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, setiap partai yang hendak mengusung jagoannya menjadi Capres dan Cawapres niscaya harus mengandeng partai-partai lain untuk menjalin persekutuan (koalisi). Idealnya sesuai dengan teori Huang Hwa koalisi itu dibangun berdasarkan kesamaan platform dan ideology partai, tetapi di Indonesia justru berlaku sebaliknya yakni berdasarkan kesamaan kepentingan untuk merebut pusat kekuasaan.

Maka loby-loby politik yang dilakukan oleh partai yang mempunyai jago yang memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi sangat ditentukan oleh konsesi-konsesi politik yang ditawarkan dengan menggunakan kalkulasi bargain power berdasarkan jumlah suara partai yang ikut koalisi. Maka munculah terminology trading horse (yang lebih sering diterjemahkan sebagai politik dagang sapi). Apabila loby-loby itu gagal, tak mengherankan bila ada partai yang secara tiba-tiba berubah haluan koalisinya.

Sebaliknya, bila tercapai kesepakatan, maka partai anggota koalisi itu akan bahu- membahu bila perlu patungan untuk membiayai kampanye sekaligus pelaksanaan Pemilu yang notabene sangat mahal. Sebagai catatan dalam Pilpres 2019 lalu, biaya untuk membayar para saksi saja diestimasi bisa mencapai Rp 3 triliun dan itu ditanggung oleh masing-masing kubu. Itu belum terhitung biaya untuk kempanye para Capres dan Cawapres yang bisa dipastikan jauh lebih besar dari itu. Dan Indonesia belum pernah ada gerakan one man one dolar, sebagai gerakan partisipasi pendukung terhadap para jagoannya.

Ketika seorang Capres dan Cawapres secara definitif telah ditentukan sebagai pemenang, kewajiban seorang pemimpin itu niscaya harus memenuhi komitmennya untuk berbagai (sharing) kekuasaan dengan para anggota koalisinya. Meski Presiden telah memiliki bekal hak prerogatif yang diatur dalam Pasal 10 UUD 1945, namun sejatinya presiden hanya melaksanakan komitmen yang telah disepakati bersama. Tak mengherankan bila penentuan kabinet biasanya sudah bisa ditebak sesuai dengan jatah tradisional partai yang bersangkutan biasanya menempati pos-pos kementerian mana saja.

Selain memenuhi komitmen tidak tertulis, setiap Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus menjalankan politik etis (politik balas budi) terhadap partai-partai anggota koalisi yang telah berjuang keras untuk memenangkanya dalam Pilpres sebelumnya. Untuk mengejawantahkan politik etis ini biasanya dilakukan dengan berbagai bentuk dan yang lazim terjadi adalah menjalankan politik akomodatif terhadap kader-kader partai. Selain di pos-pos kementerian biasanya juga dalam proses penempatan orang-orang penting di BUMN seperti jajaran direksi maupun komisaris.

Untuk mengakomodir kepentingan para loyalisnya inilah pendekatan profesional cenderung diabaikan. Maka menjadi sebuah fenomena tersendiri, ketika orang -orang yang sebelumnya kritis maupun loyal pada pusat kekuasaan, tiba-tiba dikemudian hari nangkring sebagai direksi atau komisaris BUMN tertentu. Persoalannya, kepentingan BUMN sebagai lembaga yang memiliki tugas profit oriented menjadi terbaikan. Bahkan BUMN cenderung menjadi ATM kelompok- kelompok tertentu. Analagi seperti itulah yang menjelesakan kenapa banyak BUMN memiliki managemen yang buruk dan berunjung kepada kebangkrutan.

Situasi yang terbentuk karena sistem itulah yang membuat banyak kaum cendekiawan maupun kalangan profesional ramai-ramai masuk ke partai. Ironisnya, mereka tidak banyak yang tetap bersikap profesional dan idealis ketika menempati pos tertentu, tetapi justru berubah menjadi pragmatis dan lebih suka mengabdi demi kepentingan partai ketimbang kepentingan bangsa dan negara. Sehingga munculnya wacana yang menginginkan kemabali ke UUD 1945 pra amandemen menjadi momentum yang pas bagi kita untuk merumuskan kembali tatanan ketata negaraan yang baru yang lebih kredibel, tanpa memasung kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai syarat utama sistem demokrasi.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan