- Advertisement -
Pro Legal News ID
Tipikor

Muara Karta : Revisi UU KPK Sebagai Upaya Pelemehan Pemberantasan Korupsi

Muara Karta, S.H.

Jakarta, Pro Legal News – Secara diam-diam, pada Kamis (6/9) lalu, DPR menggelar rapat paripurna yang salah satu agendanya adalah mengesahkan revisi terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). RUU KPK ini menjadi inisiatif DPR. Uniknya, seluruh anggota DPR yang hadir  saat itu secara  kompak menyatakan setuju. Tak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi. Tak ada juga perdebatan antara Parpol pendukung pemerintah dan Parpol oposisi.

Proses revisi UU KPK  yang terkesan tanpa sosialisasi dengan hasil yang cukup mengejutkan itu dikritik banyak pihak dari kalangan masyarakat sipil, akademisi, hingga lembaga swadaya masyarakat. Bahkan revisi ini sempat disebut pelemahan KPK secara terstruktur, sistematis dan masif.

Praktisi hukum senior Muara Karta berpendapat bahwa revisi UU KPK merupakan cara ampuh mengebiri ruang gerak komisi anti rasuah. Hal itu lantaran terdapat sejumlah poin krusial yang membuat KPK seolah kehilangan taring bilamana Presiden Joko Widodo menyetujui pembahasan revisi UU KPK. “Salah satu poin adalah soal KPK yang diberikan kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan suatu kasus. Masalah itu diatur dalam Pasal 40 yang secara garis besar bahwa KPK bisa menghentikan penyidikan bilamana ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan suatu penyidikan,”  ujar Muara  Karta kepada Pro Legal.

Dalam revisi UU KPK itu juga disebutkan penghentian penyidikan dalam bentuk Surat Penghentian Penyidikan atau yang biasa disebut SP3 juga harus dipublikasi dan dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.

Menurut Muara Karta, SP3 bisa membuka kemungkinan tawar menawar politik dalam penyelesaian suatu perkara korupsi. Bukan tidak mungkin perkara besar yang melibatkan aktor-aktor besar dapat dihentikan dengan intervensi dan lobi-lobi politik.

Masalah selanjutnya adalah penyadapan. Pada pasal 12 B draf revisi UU KPK tertulis bahwa penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis Dewan Pengawas. Selanjutnya, Dewan Pengawas dapat memberikan ataupun tidak izin penyadapan.

Hasil penyadapan harus dilaporkan dipertanggungjawabkan kepada pimpinan KPK dan Dewan Pengawas paling lambat 14 hari kerja setelah penyadapan selesai.

Hal ini, menurut Karta, berpotensi menimbulkan kebocoran informasi terkait penyadapan dan penindakan yang dilakukan KPK. Menurut dia penyadapan yang dilakukan KPK itu sudah diawasi, diaudit, dan diatur dengan standar prosedur operasional yang khusus. “Revisi UU KPK merupakan cara balas dendam DPR,” tegas Karta.

Sebab, sebagian besar pelaku korupsi yang terjaring operasi tangkap tangan alias OTT berasal dari kalangan legislatif yang umumnya melakukan secara berjamaah.”Memang tidak ada niatan dari lembaga legislatif untuk membenahi eksekutif dan yudikatif. Justru sebaliknya, mereka bersama swasta, eksekutif dan yudikatif malah berkolaborasi menggerogoti uang rakyat,” tutup Karta. Gus

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan