- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Menggugat Kebijaksanaan dan Keteladanan Mahkamah Agung

Oleh : Guntur  M Pangaribuan, S.H.

Sejak diproklamirkannya kemerdekaan bangsa kita hingga sekarang potret bangsa kita masih buram. Perilaku kita sebagai bangsa yang beradab masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Politik hukum kita contoh yang paling nyata yang tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Faktanya Pemilu 2019 membuat polarisasi yang sangat tajam di masyarakat kita, sehingga politik indentitas yang mewarnai Pemilu kita tahun lalu itu nyaris merobek persatuan kita.

Indonesia sebagai negara hukum yang demokrasi, pasca reformasi belum berhasil menyatukan semangat para elitenya untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini, Kepemimpinan Presiden Jokowi terus diwarnai gelombang protes lagi-lagi mesinnya politik identitas yang menjadi wahananya. Sebagai pemimpin eksekutif, hingga kepemimpinan dua periodenya, walaupun terseok-seok, Jokowi, berhasil membangun sinergi dengan kekuasaan legislatif, sehingga program-program pemerintah satu persatu dapat bergulir sesuai rencana.

Namun sepertinya, eksekutif butuh energi dari kekuasaan yudikatif, khususnya Mahkamah Agung, agar dapat membantu mendorong cita-cita bangsa ini mewujudkan kedaulatan, keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Namun sayangnya, Mahkamah Agung belum bisa melakukan sinergi secara optimal untuk mengkolaborasi kekuasaan, yudikatif, eksekutif dan legislatif.

Terobosan-terobosan Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga yudikatif, belum memberikan kontribusi yang nyata untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum (rechstaats) yang menghadirkan persatuan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran bagi rakyat. Kontribusi Mahkamah Agung hanya terfokus kepada tugas formalnya yakni sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perilaku korup, kolusi dan nepotisme masih menyandera bangsa ini, mulai dari tingkat elite hingga kalangan biasa. Kesadaran hukum bangsa kita hanya menyentuh batas pemahaman dan pikiran manusianya, sementara tindakan dan prilakunya berbeda dengan pemahaman dan pikiran. Padahal Mahkamah Agung telah memiliki segudang pengalaman yang luar biasa banyaknya dari hasil menangani perkara-perkara hukum selama ini, baik yang diajukan langsung masyarakat maupun dari aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Lalu bagaimana kita bisa mewujudkan negara demokrasi yang berdaulat, adil dan makmur, jika sinergi yudikatif kurang memberikan kontribusi kebijaksanaan dan keteladanan kepada eksekutif dan legislative. Maka dari itu sudahlah tepat jargon Hukum Adalah Panglima. Tak perlu lagi Komisi Yudisial memperkuat tim di lembaga yudikatif, jika MA bergerak serentak mewujudkan hukum sebagai panglima. Masih ada waktu segera bergegas agar kedaulatan, keadilan dan kemakmuran benar-benar hadir dikehidupan rakyat Indonesia.

Kunci kedaulatan, keadilan dan kemakmuran ada ditangan yudikatif, banyak orang pintar nan cerdas di legislatif dan eksekutif, namun mereka butuh contoh kebijaksanaan dan keteladanan. Agar kecerdasan itu berbuah kebijaksanaan dan keteladanan, dibutuhkan kepemimpinan kuat di Mahkamah Agung untuk bisa melakukan perubahan besar mendorong hakim-hakim untuk bertindak bijaksana dan memberikan teladan kepada rakyat.

Kebijaksanaan dan keteladanan satu-satunya kekuatan yang bisa memastikan hadirnya hukum sebagai panglima sehingga cita-cita persatuan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia benar-benar terwujud sesuai amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia. Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamah Agung memiliki tanggungjawab besar untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sejak diproklamirkannnya negara ini sebagai negara yang merdeka oleh Bung Karno dan Hatta, 17 Agustus 1945.

Mahkamah Agung yang mulia, gunakanlah kekuasaanmu sebagai lembaga yudikatif, agar bangsa ini benar-benar bisa mencapai cita-citanya, jangan biarkan eksekutif dan legislatif berjalan tanpa kehadiran kekuasaanmu, sebab kekuasaan eksekutif dan legislatif tidaklah optimal membangun Indonesia sebagai negara hukum yang demokrasi ini. Tidak ada yang meragukan kecerdasan putra/putri Indonesia yang dipercaya menduduki kursi-kursi di Mahkamah Agung, rakyat Indonesia menanti buah dari kecerdasan itu, karena cita-cita itu adalah kepentingan bersama kita sebagai bangsa Indonesia, tidak ada alasan untuk tidak mewujudkannya.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan