- Advertisement -
Pro Legal News ID
Hukum

Hendardi: RPerpres TNI Atasi Teroris Rusak Integritas Hukum dan Ancaman Kebebasan Sipil

Jakarta, Pro Legal News – Rancangan peraturan Presiden (RPerpres) tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme dinilai Ketua Setara Institute, Hendardi berpotensi merusak integritas hukum dan mengancam kebebasan sipil. “Pada 4 Mei kemarin, Rancangan itu telah dikirim Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly ke DPR RI untuk memperoleh persetujuan DPR,” kata Hendardi, Senin (11/5).

Menurutnya, pada Pasal 43I ayat 1,2, dan 3, intinya menyebutkan, tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Untuk detailnya kemudian didelegasikan untuk diatur dalam Perpres.

Sebagai sebuah regulasi turunan dari Pasal 43I, kata Hendardi, penyusunan RPrespres tidak boleh melampaui ketentuan yang secara tegas diatur dalam Pasal 43I yang merupakan dasar hukum RPerpres tersebut.

Dijelaskan Hendardi, mengacu pada Pasal 43I, maka yang seharusnya disusun oleh pemerintah dalam menerjemahkan mandat delegasi dari norma tersebut. Selain itu, menyusun kriteria dan skala ancaman, jenis-jenis terorisme, teritori tindak pidana terorisme, prosedur-prosedur pelibatan, termasuk mekanisme perbantuan terhadap Polri dan akuntabilitas pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme.

Sebab, tidak ada mekanisme tanggung gugat atas anggota TNI, ketika melakukan tindak yang melanggar hukum. Di luar lingkup di atas, RPerpres yang disusun adalah baseless alias tidak memiliki dasar hukum.

Dari draft yang beredar, RPrespres yang disusun pemerintah kata Hendardi lagi, justru keluar jalur dan melampaui substansi norma pada Pasal 43I tersebut. Apa yang disajikan dalam RPerpres tersebut merupakan gambaran nafsu TNI untuk merengkuh kewenangan baru yang melanggar Konstitusi (Pasal 30 ayat (4) UUD Negara RI 1945).

TNI adalah alat pertahanan yang melakukan operasi militer perang dan operasi militer selain perang yang hanya bisa dijalankan atas dasar kehendak politik negara (Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI). “Pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang harus berdasar pada Keputusan Presiden yang dikonsultasikan dengan DPR,” ujarnya.

Dikatakan Hendardi,  RPerpres yang disusun pemerintah justru mengukuhkan peran TNI secara permanen dengan memberi tugas TNI memberantas terorisme secara berkelanjutan, dari hulu ke hilir, di luar kerangka criminal justice system. Pendekatan operasi teritorial, dan memberikan justifikasi pada penggunaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang merupakan dana penyelenggaraan otonomi daerah.

Draft Perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang. Ini merupakan cara penyelundupan hukum yang diadopsi dalam RPerpres sekaligus mengancam supremasi Konstitusi, mengikis integritas hukum nasional dan mengancam kebebasan sipil warga.

RPerpres juga berpotensi men-sabotase tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang merupakan leading sector dalam pencegahan dan pemulihan atau deradikalisasi dan merusak pemberantasan terorisme dalam kerangka sistem peradilan pidana, yang selama ini dijalankan oleh Polri.

Dijelaskan, sebagai gambaran bahwa salah satu tugas TNI yang digambarkan dalam RPerpres tersebut adalah pelaksanaan operasi teritorial dalam rangka penangkalan, sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (2) berupa pembinaan ketahanan wilayah, bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial fisik/non fisik, serta komunikasi sosial. Selain tidak dikenal istilah penangkalan, rumusan operasi teritorial ini menjadi ancaman baru bagi kebebasan sipil warga.

Rumusan model ini hanya menggambarkan kehendak memupuk anggaran dan mengokohkan kembali supremasi militer dalam kehidupan sipil.

Atas dasar itu, Setara Institute mendesak DPR dan Presiden Jokowi menolak RPerpres ini, apalagi dibahas di tengah Pandemi Covid-19, yang nyaris mempersempit ruang komunikasi publik dan komunikasi politik yang sehat. Memaksa mengesahkan RPerpres dengan rumusan sebagaimana draft yang beredar, DPR dan Presiden Jokowi dapat dikualifikasi melanggar UU dan melanggar Konstitusi.Tommi

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan