- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Who’s The Real Terorist ?

Ilustrasi (rep)

Oleh : Gugus Elmo Rais

Hingga saat ini tidak ada yang bisa memastikan kapan perang  berbeda matra antara Israel dengan Hamas akan segera berakhir. Kubu Israel dengan  matra kekuatan ekonomi dan teknologi semula sangat yakin akan mampu menumpas Hamas. Namun faktanya  hanya berbekal matra kekuatan keyakinan, hubbul wathan minnal iman (cinta tanah air sebagian dari iman)  kubu Hamas yang merupakan sebuah  Ornop  yang keluar  dari pakem Thomas Meyers maupun Susan Keller, sebagai organisasi partai pencetak kader maupun saluran aspirasi, karena Hamas benar-benar mau membela konstituennya dari segala bentuk penindasan, tak juga bubar. Kini justru namanya semakin berkibar sebagai kelompok ‘perlawanan suci’. Meski dengan resiko dilabeli sebagai organisasi teroris.

Sampai bulan ke delapan, serangan Israel yang diklaim sebagai respon dari serangan Hamas 7 Oktober 2023 (Serangan Badai Al Aqsa)  yang menewaskan lebih dari 1.200 orang serta menyandera lebih dari 250 orang, tak satupun yang membuahkan hasil. Israel yang sering disebut memiliki tentara dan jaringan intelijen terbaik di ‘negeri dongeng’ tak juga bisa menumpas Hamas. Bahkan Hamas melalui Brigade Al Qassam hingga saat ini masih bisa melakukan konsolidasi kekuatan sekaligus bisa melakukan koordinasi dengan faksi-faksi lain  untuk melakukan serangan bersama seperti dengan Jihad Islam Palestina/Brigade Al-Quds, Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina atau Brigade Abu Ali Mustafa, Brigade Al-Nasir Salah al-Deen, Brigade Syahid Al-Aqsa maupun Brigade Mujahidin. Padahal wilayah yang menjadi entitas berbagai faksi itu kini kondisinya luluh lantak.

Bukti kegagalan yang sangat mencolok adalah, sampai detik ini pasukan IDF (Israel Defence Force) yang sering disebut memiliki persenjataan yang paling canggih di dunia, faktanya belum bisa membebaskan satupun sandra yang kini berada di tangan Hamas. Beberapa Sandra yang bebaspun semata-mata karena dibebaskan sendiri oleh Hamas. Tidak tercapainya tujuan serangan Israel itu semakin melengkapi terungkapnya  ‘buih buih’ kedigdayaan Israel, seperti saat sistem pertahanan kebanggaan Israel, Iron Dome  dibuat seperti jaring laba-laba yang dengan mudah dibobol oleh serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.  Sementara  tumbal kemurkaan Israel, sampai saat ini telah mencapai sekitar 36. 000 jiwa serta 80.000 korban luka-luka, para korban itu mayoritas adalah perempuan dan anak-anak yang tak berdosa, suatu kondisi yang jelas-jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap konvensi Jenewa  tentang perlindungan masyarakat sipil maupun hukum internasional.

Berbeda dengan pola serangan Hamas maupun Hizbullah yang banyak menyerang situs-situs militer milik Israel, walau ada juga yang menyasar pemukiman sipil seperti di  wilayah Kiryat Shmona, serangan Zionis itu sangat membabi buta dan menyerang apa saja yang mereka anggap sebagai tempat persembunyian Hamas tidak peduli apakah itu tempat ibadah  maupun rumah sakit semua dihujani dengan bom. Hingga saat ini tercatat sekitar 25 rumah sakit, 60 gedung sekolah, 604 masjid dan 3 gereja yang hancur. Salah satunya adalah gereja Santo Porphyrius yang merupakan salah satu gereja tertua di dunia yang merupakan simbol toleransi umat beragama, karena gereja ini sempat dijadikan tempat umat muslim melaksanakan sholat Jum’at, karena masjidnya sudah hancur karena serangan bom Israel. Dan tentu  umat muslim yang menumpang sholat Jum’at atas seizin pengurus gereja, bahkan konon itu berasal dari tawaran pengurus gereja.

Maka sikap pemerintah Spanyol, Irlandia, Norwegia serta Slovenia yang  notabene adalah negara dengan penduduk mayoritas Kristen yang mengakui Palestina sebagai negara merdeka adalah sikap bijak yang pantas kita apresiasi. Karena mereka mau mengeluarkan isu konflik Israel dan Palestina dari perspektif konflik agama, tetapi ketiga negara itu  menyusul kemudian Slovenia mau menggunakan persepektif kemanusiaan dalam mengambil sikap diplomatik dan mereka tidak mau mendukung Israel secara membabi buta. Agama hanya digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap sebuah rezim yang lalim dan merampas hak bangsa Palestina atas tanahnya sendiri.

Keyakinan agama itu digunakan sebagai orkestrasi perlawanan karena memang Islam sebagai agama mayoritas di Palestina. Tetapi hubungan antara umat beragama terutama Islam dan Kristen selama ini terbina cukup baik dan harmonis. Harmoni toleransi beragama terutama antara Islam dan Kristen  di Palestina itu sudah terbina sejak tahun 636 masehi tepatnya pada jaman ke-Khalifahan Umar Bin Khatab ketika Panglima Romawi dan Patriarch (Uskup Agung)  Sophronius  saat penyerahan Kota Yerusalem ke ummat Islam meminta jaminan kepada Umar Bin Khatab, khalifah kedua itu  langsung memastikan  untuk memberikan jaminan keamanan terhadap umat Kristen.

Fakta dari konflik Israel-Palestina  yang saat ini masih membara itu  menurut saya akan menjawab hipotesa  gegabah yang pernah dilontarkan oleh Samuel Hutington dalam bukunya, The Clash of Sivilization and The Remarking of World Order (1996). Dalam buku itu Hutington mendeskripsikan jika pasca berakhirnya perang dingin terjadi benturan peradaban yang berlandaskan pada nilai-nilai agama, suku maupun ras (SARA).  Hutington  sering menggambarkan Islam sebagai sebuah aggression and hostility (agresi dan ancaman),  terutama bagi peradaban Barat, padahal faktanya kini Islam justru sangat diterima di negara-negara Eropa dan Amerika Latin. Realitasnya, kini muncul fenomena mengharukan beberapa negera Kristen justru menjadi lokomotif pengakuan terhadap eksistensi negara Palestina. Malah tidak sedikit komunitas Yahudi yang ikut mengecam kebijakan pemerintah Zionis terhadap pendudukan Israel di Palestina. Bahkan muncul pembelaan yang heroik dan mengharukan dari anggota parlemen Irlandia,  Thomas Gould yang mengecam Zionis dan mendoakan Bibi (Netanyahu) akan terbakar di neraka seperti halnya tentara IDF yang membakar pengungsi Gaza hidup-hidup.

Pertanyaan krusialnya, kapan konflik itu akan berakhir ?. Meski dunia internasional telah mengecam sekaligus mengeluarkan komunike bersama dalam bentuk pengakuan  146  dari 193 negara anggota PBB terhadap Palestina sebagai negara merdeka. Ketika Israel menolak konsep penyelesaian two state solution, sebenarnya sudah terlihat kemana keinginan Israel, yakni ingin memonopoli kepemilikan tanah Palestina, sekaligus menjadi wilayah Al Quds itu sebagai koloninya, serta ingin mengusir Bangsa Palestina dari tanah  kelahirannya yang menjadi hak mereka. Dari sikap serakah Zionis itu sudah tidak bisa diharap jika Israel dan Palestina akan bisa  hidup berdampingan. Apalagi Isarel terus berlindung dibalik chameleon diplomatic (diplomasi bunglon) yang terus dilakukan oleh Amerika Serikat dan Inggris yang notabene ‘paraji/bidan’ dari kelahiran bayi Zionis. Padahal dengan konsep penyelesaian two state solution itupun Palestina sudah mengalah, karena sebagian wilayahnya harus direlakan menjadi milik Israel.

Jawaban kapan konflik Palestina-Israel  itu  akan berakhir akan sangat tergantung dari dukungan Amerika dan Inggris, sebagai negara yang menjadi sponsor utama eksistensi Negara Israel yang berdiri pada 14 Mei 1948. Berdirinya Negara Israel yang dideklarasikan oleh Ben  Gurion  berdasarkan konsep Tanah Israel (Eretz Yisrael), sebuah konsep sentral agama Yudaisme sejak zaman kuno.

Untuk kepentingan geo politik Amerika di Timur Tengah harapan itu terbilang sangat mustahil. Jika Israel sering menganggap Iran  menggunakan beberapa kekuatan militer di kawasan itu seperti Hizbullah, Houthi Yaman, perlawan Islam Iraq, Suriah  hingga Hamas sebagai proxy Iran untuk menghadapi hegemoni Israel, maka dari sudut kepentingan Washington justru sebaliknya, Israel digunakan oleh Amerika sebagai proxy untuk membendung kekuatan Iran, termasuk menggunakan kekuatan beberapa Negara Arab seperti Arab Saudi dan Yordania untuk  melawan pengaruh Iran. Menghadapi Iran dengan perang terbuka  secara langsung dalam hitungan Washington sangat riskan dan beresiko, karena akan memancing keterlibatan Rusia dan Korea Utara yang dikenal memiliki hubungan diplomatik yang mesra dengan Teheran sehingga dituduh Amerika sebagai devil’s axis (poros setan).

Argumentasi  itulah yang menjelaskan kenapa Biden  begitu getol melakukan ‘diplomasi bunglon’ dan ‘diplomasi sirkus’ dalam menyikapi krisis Israel-Palestina. Terlepas dari cengkeraman loby Yahudi yang memang begitu kuat. Indikasinya sederhana, Biden  secara formal mengecam dan melarang serangan IDF ke Rafah yang dikenal sebagai benteng terakhir Hamas. Namun disisi lain Pentagon juga masih rajin memberikan bantuan dana dan senjata ke IDF yang digunakan untuk menggempur Rafah. Padahal dalam politik domestik tekanan atau desakan dari kelas menengah Amerika untuk menghentikan serangan brutal Israel ke Gaza seperti yang disuarakan oleh Senator Bernie Sander maupun pakar politik Dr. John Mearsheimer begitu kencang, termasuk demo para mahasiswa. Sikap Amerika itu sangat berbeda dengan sikap jerman dan Prancis yang mulai realistis dan ingin mengevaluasi dukungan mereka terhadap Israel.

Analisa serupa pernah dilontarkan oleh Noam Chomsky, seorang Laureate Professor of Linguistics di University of Arizona dan Professor Emeritus di MIT, melalui  tulisannya, The Fateful Alliance: The United States, Israel and Palestinians; Gaza in Crisis: Reflections on Israel’s War Against the Palestinians,  yang menyatakan bahwa Israel dengan segala cara akan melakukan penggusuran dan pengusiran terhadap Bangsa Palestina untuk diganti dengan pemukiman Yahudi. Dan menurut Chomsky, semua serangan itu tidak terlepas dari dampak dukungan Amerika terhadap rencana pemindahan Ibu Kota Israel dari Tel Aviv menuju ke Yerusalem Timur beberapa waktu lalu.

Untuk mengelola konflik di Timur Tengah, Amerika cukup cerdik untuk ‘mengadu domba’ antara Iran dengan Arab Saudi dengan menggunakan isu-isu sektarian, karena Arab Saudi yang dikenal sebagai penganut Islam Suni sementara Iran 90% lebih warganya adalah penganut Islam Syiah. Hubungan diplomatik antara Iran dan Arab Saudi  selama ini tak ubahnya seperti minyak dan air. Maka tak mengherankan jika dalam menyikapi konflik Israel–Palestina banyak pemimpin negara-negara Arab yang bersikap seperti ‘tauke minyak yang bahlul’. Sikap Washington menempatkan Iran sebagai salah satu musuh utama itu tidak terlepas dari jatuhnya rezim Reza Pahlevi tahun 1979. Iran merubah pendulum politiknya 180 derajat dari yang semula menjadi sekutu utama Amerika  di Timur Tengah kini  dengan revolusi Islam justru berubah sebaliknya menjadi musuh utama. Revolusi itulah yang menimbulkan dendam kesumat Washington  terhadap Teheran.

Untuk urusan proxy, Amerika terbilang tiada tandingannya. Ketika hubungan Indonesia dengan Rusia dan China sangat mesra, Amerikapun merasa ‘cemburu’ sekaligus ingin ‘menceraikan’ hubungan itu. Maklum saat itu poros Jakarta-Peking sangat intens menjalin kerja sama, sementara Seokarno dan Nikita Kruschev sangat intim, bahkan Rusia dengan suka rela membantu Alutsista buat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat. Maka  diduga kuat Amerika secara ‘jahil’ mengeluarkan hoaks menggunakan isu dokumen Gillcrist (dari kedutaan Inggris) yang menyatakan adanya Dewan Jenderal  yang  akan melakukan coupe (kudeta) terhadap Presiden Sukarno. Isu itulah yang menginsiprasi Partai Komunis Indonesia (PKI), untuk menculik 6 Jenderal dan 1 perwira.  Dampaknya  adalah terjadi tragedi kemanusiaan yang mengerikan berupa aksi saling persekusi antara anggota PKI dan kaum nasionalis serta agamawan yang mengakibatkan setidaknya sekitar 1 juta jiwa melayang.

Jejak petualangan Paman Sam  yang sering mengklaim sebagai Global Cop dan jagoan HAM itu terbilang sangat panjang. Selain tragedi di Indonesia, untuk meruntuhkan hegemoni Iraq di kawasan Timur Tengah, Amerika kembali menebar hoaks jika Presiden Saddam Hussein saat itu memilki senjata kimia dan pemusnah massal. Dengan hoaks itulah proxy Amerika yang tergabung dalam gank multinasional mengeroyok Iraq sekaligus menghukum mati Presiden Saddam Hussein,  dan ternyata  hoaks tentang senjata pemusnah massal  itu kemudian  hari tidak terbukti. Padahal  sebelumnya Amerika ‘menggunakan’  Saddam  untuk membendung  pengaruh  Teheran di kawasan itu melalui perang Iraq-Iran.  Dampak dari serangan  gank multinasional itu serta sebelumnya berupa sanksi ekonomi itu sangat mengerikan. Berdasarkan penuturan mantan Dubes Iraq untuk Indonesia saat itu Prof Sadoon Al Zubaydi kepadaku, sudah ratusan  ribu jiwa terutama perempuan dan anak-anak yang telah melayang.

Daftar petualangan Paman Sam diduga  cukup panjang selain konflik di Indonesia, Vietnam, Iraq, Libya, Mesir, Suriah, Afghanistan, termasuk pengeboman di Jepang, Hirhosima dan Nagasaki juga melibatkan Amerika. Bom yang dijatuhkan pada tanggal 6 Agustus 1945 itu jumlah  korban jiwanya  cukup fantastis yakni  90.000-146.000 orang tewas di Hirhosima  dan 39.000-80.000 di Nagasaki itupun korban di hari pertama. Maka  bisa jadi bila menggunakan asumsi jumlah korban, tumbal atau korban yang terjadi di Gaza itu di mata Amerika belum ada apa apanya bila dibandingkan dengan jumlah korban yang terjadi di Indonesia, Vietnam maupun Iraq. Sehingga mata dan hati para pemimpin Amerika tidak segera tergerak untuk mengakhiri konflik Israel dan Palestina. Bahkan gedung putih mencoba melakukan ‘diplomasi bunglon’ dan ‘sirkus’ untuk menyelamatkan Israel.

Sementara jejak Inggris juga tak kalah seram, hingga saat ini tercatat sekitar 94 negara di dunia pernah dijajah oleh kerajaan Inggris. Salah satunya adalah Irlandia yang memang sangat traumatis, bahkan bentuk perlawanan Irlandia tidak hanya kebebasan secara fisik tetapi juga kebebasan dalam menentukan sistem hukumnya. Jika mayoritas negara yang pernah dijajah Inggris dan masuk dalam kelompok persemakmuran menganut sistem hukum common law, Irlandia justru memilih sistem hukum civil law seperti beberapa negara Eropa lainnya. Trauma karena penjajahan Inggris itulah yang mungkin menjadi inspirasi bagi  Irlandia untuk segera mengakui Palestina sebagai negara merdeka.  Cuma yang menyenangkan  Inggris memiliki sistem kompetisi sepak bola melalui Premier Leauge yang baik sehingga masih banyak pendukung Inggris.

Maka saya menchalange rekan-rekan dari komunitas lawyer dari organisasi profesi apapun serta para aktivis HAM, untuk berani mengeluarkan resolusi yang menentang terjadinya genosida maupun etnic cleansing bahkan skolastisida yang terjadi di Gaza, Palestina. Parameter genosida maupun etnic cleansing saya kira sudah sangat jelas terlihat dari serangan Israel yang membabi buta, tanpa pandang bulu dan ingin mengusir warga Palestina  dari tanah kelahirannya, termasuk penolakan terhadap konsep penyelesaian two state solution. Sedangkan indikator terjadinya skolastisida jelas dengan penghancuran semua infrastruktur pendidikan termasuk tewasnya ribuan tenaga guru dan akademis di Gaza. Kondisi itu menurut saya jelas  merupakan bentuk pelanggaran terhadap konvensi Jenewa  tentang perlindungan masyarakat sipil saat kondisi perang termasuk  pelanggaran  terhadap 30 poin Konvensi HAM menurut Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

Sebagai komparasi ketika kasus genosida  dan etnic cleansing yang terjadi di Bosnia Herzegovina yang dilakukan oleh pemimpin Serbia Radovan Karadic serta Ratko Mladic yang mengakibatkan 42.432 hingga 55.803 tewas dan hilang. Sehingga Mahkamah Pidana Internasional telah menjatuhkan hukuman seumur hidup terhadap Radovan Karadic  maupun Ratko Mladic pada  tahun 2016. Maka hukuman apa yang pantas diberikan terhadap Netanyahu serta para petinggi Israel yang telah menginstruksikan untuk menyerang Palestina secara membabi buta.

Saya juga ingin menchalange Komisi HAM Asia (AHRC)  terutama kepada Komisioner (AHRC) Mr. Basile Fernando yang pernah satu forum dengan saya untuk membahas HAM. Bahkan dua kali artikel  saya tentang HAM terkait pelanggaran  HAM junta militer di Myanmar dimuat di jurnal milik AHRC yang berbasis di Hongkong. Bagaimana sikap komisi HAM Asia terhadap konflik Israel- Palestina ?.

Terkait label teroris yang ditujukan terhadap Hamas saya kira menjadi isu yang sangat satire. Perlawanan Hamas terhadap Israel  pada 7 Oktober 2023 lalu itu merupakan respon dari akumulasi serangan atau tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintahan Zionis yang telah merampas tanah mereka sejak tahun 1948. Hingga saat ini saya belum mendapat referensi berapa kali serangan Israel serta berapa jumlah korban di pihak Palestina. Tetapi ketika Hamas yang melakukan pembelaan terhadap konstituennya langsung dicap sebagai  organisasi teroris.

Labelisasi teroris terhadap kelompok tertentu, saya kira harus menggunakan parameter yang jelas. Sebagai komparasi dulu para pahlawan nasional kita seperti Pangeran Diponegoro, Bung Tomo, Jenderal Sudirman, I Gusti Ngurah Rai, Daan Mogot juga dilabeli teroris, ekstremis dan inlander oleh kaum penjajah seperti Belanda dan Sekutu termasuk Inggris di dalamnya. Padahal mereka adalah para pejuang suci yang ingin membebaskan bangsanya dari penjajahan dan penindasan. Artinya labelisasi teroris itu adalah proses monopoli tafsir dan monopoli opini  dari kekuatan hegemonik yang merasa terganggu misinya untuk menjajah suatu wilayah. Maka siapa yang sesungguhnya  layak dianggap sebagai teroris itu ?. (***)

  • Penulis adalah Direktur Eksekutif Kajian Poleksosbudkum, Cakra Emas Syndicate

 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan