- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Tumbal Kebebasan

rep (GN/CG)

Oleh : Gugus Elmo Rais

Ketika sistem pemerintahan fasis  yang bercita rasa komunis di  Uni Soviet nyaris bangkrut, Presiden Mikhail Sergeyevich Gorbachev menyodorkan gagasan segar. Sekretaris Jenderal Communist Party of the Soviet Union (CPSU) yang menggantikan Konstantin Chernenko itu menawarkan gagasan glasnost (kebebasan) dan perestroika (restrukturisasi). Presiden berlatar belakang seorang pengacara ini menyadari jika sistem pemerintahan yang tertutup ditambah dengan birokrasi yang lamban dan korup membuat perekonomian Uni Soviet  yang saat itu menjadi negara terbesar di dunia mendekati lumpuh dan colaps.

Apalagi elit negara  serta partai saat itu didominasi  oleh tokoh-tokoh komunis tua, menjadikan mereka lamban dalam mengambil kebijakan. Sementara pamor Leninisme  dan Stalinisme di mata generasi muda  negeri beruang merah saat itu semakin redup. Karena kehidupan elit partai saat itu sangat glamor dan hedon, sementara  kehidupan rakyatnya sangat memprihatinkan. Maka gagasan  glasnost dan perestorika serta uskoreniye (percepatan pembangunan dalam bidang ekonomi) dianggap sebagai angin segar yang akan menjadi jawaban dari tuntutan jaman saat itu.

Beban Gorbachev untuk melepaskan  Uni Soviet dari belitan persoalan kian berat setelah Soviet terkena musibah bocornya reactor Chernobhyl, disaat yang bersamaan kekalahan Uni Soviet dalam perang melawan Afghanistan meninggalkan luka politik dan ekonomi yang sangat dalam. Di sisi lain Uni Soviet juga tak mau hegemoninya sebagai pemimpin Blok Timur dalam menghadapi perang dingin dengan Blok Barat yang dikomandoi oleh Amerika akan luntur. Sehingga gagasan itu di mata pengganti Leonid Brezhnev ini adalah sebuah keniscayaan.            .

Maka pada tahun 1987  Mikhail Gorbachev memaklumatkan kebijakan glasnost dan perestorika  dengan segala pertimbangan.  Kebijakan Gorbachev itulah yang membuka gerbang liberalisasi politik di Uni Soviet pada tahun 1990. Jika semula Soviet menganut sistem politik satu partai yakni partai  komunis (CPSU) kini Soviet yang berubah nama menjadi Rusia  menganut sistem politik multi partai. Saat ini setidaknya  ada 14 partai yang memperebutkan kursi di Duma (DPR). Partai yang berkuasa saat ini (milik Vladimir Putin) Partai Rusia Bersatu yang dalam Pemilu lalu memperoleh suara sekitar 72%. Sementara   Partai Komunis  kini justru menjadi partai gurem.

Reformasi di Uni Soviet/Rusia melalui glasnost, perestorika serta uskoreniye itu justru melahirkan sebait ironi. Karena konsolidasi ekonomi ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Karena tidak semua elemen masyarakat dan elit politik mendukung gagasan itu.  Sementara ruang kebebasan itu justru  menciptakan atsmofir yang panas, karena memancing perseteruan antar etnis. Seperti diketahui  Uni Soviet adalah negara yang multi ras, setidaknya ada 190 suku di Rusia meski secara mayoritas adalah keturunan Siberia, serta beberapa suku yang berasal dari keturunan Asia ras Mongoloid seperti suku Kalmuk, Evenk, Yukagir, Buryat, Tuva, Khakass, Chukchi, Koryak, Eskimo, dan Aleut.

Ironisnya, karena kebebasan itulah terjadi sikap saling serang antar etnis, sementara  negara seperti kehilangan kontrol dan tidak berdaya. Dampaknya telah terjadi disintegrasi yang hebat di Rusia. Bahkan Uni Soviet akhirnya ambyar berkeping-keping. Karena beberapa anggota federasi yang merasa tidak kerasan karena adanya tirani berusaha hengkang dan memisahkan diri.

Setelah Gorbachev memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 1990, Soviet justru  bubar pada tahun 1991.  Setidaknya 15 negara  anggota Federasi Uni Soviet ambyar  menjadi beberapa negara  seperti Rusia, Lithuania, Latvia, Estonia, Ukraina, Moldova, Belarusia, Georgia, Armenia, Azerbaijan, Kazakhstan, Tajikistan, Turkmenistan, Kirgistan, dan Uzbekistan. Anehnya, bubarnya Uni Soviet sekaligus juga mengakhiri Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Ternyata harga yang harus dibayar oleh Uni Soviet selama transisi demokrasi itu terlalu mahal.

Dalam dimensi yang berbeda Cak Rudy (baca : Alm BJ Habibie) juga membawa angin perubahan. Menyadari jika pemerintahan Orde Baru yang dikendalikan oleh ‘sang suhu’ yakni Soeharto adalah pemerintahan yang bergaya totaliter dan fasis. Maka ketika didaulat sebagai penerus,  Cak Rudy menyodorkan konsep perubahan yang mendasar yakni melalui glasnost (kebebasan)  pers dan kebebasan berbicara. Mulai saat itu pendirian badan pers tidak harus menggunakan SIUUP. Tidak berlebihan sekiranya Cak Rudy didapuk sebagai Bapak Kebebasan Pers. Badan pers seketika tumbuh seperti jamur di musim hujan.

Liberalisasi ekonomi juga dilakukan, meski  sebenarnya Indonesia telah terjerat liberalisasi ekonomi setelah Soeharto menanda tangani perjanjian dengan IMF berupa Compensatory Financing Fasility (CFF) bersama dengan Michael Camdesus untuk memperoleh bantuan sebesar US $ 49 milliar guna meredakan gejolak ekonomi  tahun 1997. Conditionaly (persyaratan) yang diminta IMF saat itu juga tidak tanggung-tanggung yakni liberalisasi pasar  terhadap 30 sektor di Indonesia salah satunya adalah penghapusan monopoli Bulog sebagai dinamisator dan buffer stok  pangan di Indonesia. Liberalisasi inilah yang justru memberi ruang munculnya kartelisasi.

Sebaliknya kebebasan pers itu laksana seperti boomerang bagi Cak Rudy sendiri. Pemerintahannya jadi bulan-bulanan kebebasan pers, apalagi setelah Habibie melakukan blunder dengan menyetujui referendum di Timor Timur yang berakibat Bumi  Lorosae  lepas  dan menjadi  negera sendiri, Timor Leste. Padahal dalam berbagai bidang Cak Rudy  telah menorehkan prestasi  cukup gemilang seperti misalnya membalikan rupiah yang semula terdepresiasi  dari Rp 2200 menjadi Rp 16.000 perdolar dan kembali terapresiasi menjadi Rp 6700 perdolar sebagai apresiasi nilai mata uang tertinggi di dunia saat itu. Karena ‘glasnost’ itulah umur pemerintahan Habibie tidak bisa bertahan lama.

Gorbachev dan Cak Rudy adalah dua contoh tumbal kebebasan  yang diusungnya sendiri. Maka kebebasan yang tidak bisa dikelola dengan baik secara bijak dan bertanggung jawab justru bisa menjadi boomerang  yang taruhannya adalah keutuhan bangsa dan negara.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan