Oleh : Gugus Elmo Ra’is
Keputusan Prabowo menerima pinangan Jokowi untuk bergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu dan menjadi Menteri Pertahanan RI terbukti sangat tepat. Meski keputusan itu semula mendapat cibiran dari pendukungnya maupun lawan politiknya yang menganggap mantan Danjen Kopassus itu bermental pecundang sekaligus maruk jabatan. Tetapi sikap kekeuh Prabowo itu ternyata menghasilkan setidaknya dua keuntungan, pertama mampu menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan karena adanya fragmentasi 2 kelompok (Kampret dan Cebong) yang saling berhadap-hadapan. Kedua, dengan pengalaman mendampingi Jokowi selama lima tahun telah menempatkan Ketum Gerindra itu sebagai calon presiden (Capres) 2024 yang paling berpengalaman dan memiliki jam terbang tinggi, baik di luar maupun di dalam pemerintahan dibanding dua kandidat potensial lainnya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Sebagai militer akademis yang menjadi titisan dari Begawan Ekonomi, Soemitro Djojohadikusumo, mantan menantu Presiden Soeharto itu mampu mentransformasi pengalaman dan pengetahuan itu menjadi sebuah amunisi berupa visi dan misi yang akan digunakan dalam kontestasi Pilpres 2024 nanti. Hal itu seperti yang tercermin dari pidato Prabowo Subianto dalam seminar yang bertajuk,”Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045” yang diadakan Institut Kajian Startegis, Universitas Kebangsaan Republik Indonesia, di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa 15 Agustus 2023. Meski pidato itu bukanlah hal yang baru karena bersumber dari pokok-pokok pikiran Prabowo yang tertuang dalam buku ‘Paradoks Indonesia dan Solusinya’ tetapi tetaplah memperlihatkan jika Prabowo adalah sosok yang paling siap dalam menghadapi kompetisi Pilpres 2024.
Walaupun memiliki gagasan-gagasan sendiri yang cukup bernas, Prabowo tetap memberikan apresiasi terhadap pemerintahan Jokowi yang menurutnya telah menorehkan sejumlah prestasi. Bahkan dia tidak malu mengklaim jika Prabowonomic yang diusungnya merupakan sintesa dari konsep perekonomian Jokowinomic yang diusung oleh Jokowi selama 10 tahun berkuasa. Klaim Prabowo ini merupakan sebuah gimmick komunikasi politik yang cerdas, sehingga akan menutup ruang terhadap calon lawan-lawannya yang akan mengklaim menjadi penerus kebijakan Jokowi terutama oleh Ganjar Pranowo yang notabene berasal dari rahim politik yang sama yakni PDIP.
Cara komunikasi politik itulah yang akan memberikan pesan kepada masyarakat pemilih jika Prabowo adalah pilihan yang paling realistis untuk menjaga kontinyuitas maupun sustainability dari kebijakan-kebijakan Jokowi. Pemerintahannya nanti tinggal melakukan sejumlah perbaikan agar tercapai hasil yang optimal dan tentu saja inovasi dan terobosan baru. Faktor itulah yang tidak mungkin dimiliki oleh kandidat lain terutama Ganjar Pranowo. Sementara tageline kubu Anies Baswedan yang akan melakukan perubahan justru sangat berat dan tidak realistis dalam kondisi dunia mengalami resesi ekonomi seperti saat ini. Tageline itu malah memunculkan sikap phobia dan paranoid terhadap kelompok-kelompok yang telah merasakan dampak positif dari kebijakan Jokowi. Tageline itu melahirkan pertanyaan dalam benak publik, mungkinkah proyek IKN itu akan dihentikan jika Anies terpilih. Penjelasan kubu Anies sendiri terhadap isu proyek IKN itu kurang memadai. Sementara bila dibreakdown di balik proyek IKN itu juga banyak sisi positifnya.
Meski gagasan, visi dan misi Prabowo itu terlihat bernas namun tetaplah harus dikritisi dan dipertanyakan apa strateginya untuk mencapai cita-citanya sesuai misi Indonesia Emas 2045 itu. Salah satu yang dipaparkan oleh Prabowo adalah dengan melakukan peningkatan tax ratio baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak sebagai salah satu bagian dari great leap forward (lompatan besar). Seperti diketahui bahwa tax ratio Indonesia yang berkisar 9, 8 % merupakan tax ratio terendah di kawasan ASEAN bahkan bila dibandingkan dengan Kamboja yang berada pada kisaran 15,6 %. Sektor ini memiliki potensi ini sangat besar mengingat PDB kita telah mencapai USD 1 triliun. Jika tax ratio itu bisa didongkrak hingga dua digit maka pemasukan keuangan negara sangatlah besar.
Pertanyaannya dengan sistem perekonomian yang liberal dan kapitalistik seperti saat ini mungkinkan kita akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, karena banyaknya kalangan usaha yang memilki moral hazard dan tidak taat pajak. Intensifikasi dan ekstensifikasi pajak itu justru dimungkinkan jika kita memiliki jumlah UMKM yang memadai. Karena selama ini sistem perekomomian kita telah menggunakan mahzab yang salah kaprah. Kita selalu mengklaim telah menjalankan perekonomian Pancasila atau perekonomian jalan tengah yang terkenal dengan jargon ekonomi kerakyatan. Tetapi ekonomi pasar yang kita anut telah menjerumuskan kita ke dalam sistem ekonomi yang liberal. Meski kita tidak menutup mata ada sejumlah program-program pro sosial dari pemerintah.
Secara empiris karena warisan dari International Monetary Fund (IMF) ketika kita meminjam dana talangan CFF sebesar US 4,9 milliar tahun 1997 lalu, perekonomian kita telah digiring melalui proses privatisasi sejumlah BUMN termasuk BULOG menjadi sangat liberal yang bertentangan dengan Pancasila dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Asbabul nuzul atau konsideran terbitnya pasal ini sesuai dengan pidato Bung Hatta pada hari Koperasi 12 Juli 1977 adalah ; “Di dalam keadaan ekonomi kolonial di mana pergerakkan kemerdekaan mencita-citakan Indonesia merdeka yang bersatu dan berdaulat, adil dan makmur di kemudian hari, hiduplah keyakinan bahwa Bangsa Indonesia yang mengangkat dirinya keluar dari tekanan dan hisapan, apabila ekonomi rakyat disusun sebagai usaha bersama berdasarkan koperasi,”.
Sistem ekonomi kekeluargaan berciri padat karya sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 itu seharusnya menempatkan koperasi yang berbasis komunitas dan budaya lokal menjadi soko guru perekonomian nasional. Tetapi saat ini justru ditinggalkan dan berganti dengan korporasi yang padat modal. Padahal jika sistem ini dijalankan dengan konsisten dan konsekuen sistem ketahanan ekonomi kita akan semakin kuat, karena kita memilki Sumber Daya Alam (SDA) serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang melimpah. Karena akan banyak tercipta sentra-sentra industri bercorak koperasi yang berbasis komunitas maupun budaya lokal. Sementara BUMN seperti BULOG harus memfasilitasi teknik pemasarannya. Konsep state capitalism itulah yang seharusnya dijalankan seperti yang terjadi di China.
Prabowo juga menyinggung tentang state capitalism yang secara konstitusional telah memiliki payung hukum berupa pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” tetapi persoalannya BUMN seperti BULOG yang seharusnya memiliki peran yang strategis sebagai buffer stok dan stabilisator harga justru terjerat pada privatisasi. Maka dalam konteks ini revitalisasi BULOG bersifat mutlak.
Dalam kesempatan itu Prabowo belum menjelaskan treatment yang efektif yang akan dilakukan jika dia menjadi Presiden, meski kita harus tetap kusnudhon jika itu semata-mata karena keterbatasan waktu. Yang membesarkan hati dan menyisakan harapan adanya perubahan, Prabowo juga mengakui bahwa sistem perekonomian kita saat ini sangat liberal dan kapitalistik dengan mengutip pernyataan beberapa tokoh seperti Paus Francis, Joe Biden maupun Christine Lagarde. Padahal sebelumnya Max Weber, Paul Ormerod, Umar Abdilo telah menngatkan bahaya kapitalisme melalui bukunya The Death of Economic termasuk Soekarno yang mati-matian melawan kapitalisme dan liberalisme.
Dalam pidato itu Prabowo lebih banyak membahas tentang aspek ekonomi sesuai dengan konteksnya untuk membahas visi misinya mencapai fase Indonesia Emas 2045 dan sesuai dengan konsep Prabowonomic yang tertulis dalam bukunya ‘Paradoks Indonesia dan Solusinya’. Tetapi Prabowo tidak menyinggung tentang treatment pemerintahannya (bila dia nanti terpilih) dalam menjaga stabilitas politik. Padahal seperti hipotesa dari Juwono Sudarsono dalam bukunya Politik, Ekonomi dan Strategi dua aspek antara politik dan ekonomi itu seperti dua sisi mata uang yang saling berkaitan.
Sebagai tokoh politik yang merepresentasikan sebagai ‘politik jalan tengah’ Prabowo dituntut piawai dan cekatan dalam melakukan ijtihad untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Seperti diketahui dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 lalu telah meninggalkan residu politik berupa fragmentasi aliran dan kelompok yang saling berhadap-hadapan yang direpresentasikan dengan kelompok Kampret dan Cebong. Dalam sistem demokrasi fragmentasi kelompok dan aliran yang terkadang menimbulkan friksi itu adalah fenomena yang biasa. Karena dari proses dialektif itulah muncul konklusi sebagai solusi untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara seperti halnya teori propperian (Karl Raymond Propper).
Tetapi secara empirik ada fenomena yang sangat menyedihkan bahwa proses demokratisasi masih dijalani dengan sikap yang childist (kekanak-kanakan) dan kurang civilize (kurang beradab). Kebebasan berbicara sebagai qonditio sine qua non (prasyarat utama) demokrasi masih digunakan secara serampangan dan ugal-ugalan, seakan dalam sistem demokrasi itu tidak ada fatsoen (tata krama politik). Sesuatu yang secara kosmos mencerminkan jika bangsa Nusantara yang semula dikenal sebagai bangsa yang santun dan ramah ini telah menjelma menjadi bangsa yang brangasan.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah ejawantah dari politik yang liberal sekaligus barbar. Kritik tidak lagi menggunakan bahasa yang santun dan membahas hal-hal yang substansial. Tetapi justru kritik sering disampaikan secara kasar dan vulgar. Sikap nyinyir berbalas nyinyir, framing dibalas dengan framing yang lebih keji. Seakan tidak ada lagi kelompok yang mau berpikir jernih. Yang muncul adalah keinginan untuk saling menjatuhkan, tanpa peduli lagi apakah framing itu berbasis data atau tidak. Bila dalam foklor Jawa ada sebuah seloka adi luhung yang cukup populer, ngalahake tanpo ngasorake (mengalahkan tanpa harus mempermalukan) yang terjadi saat ini justru sebaliknya ngasorake kanggo ngalahake (mempermalukan/memfitnah untuk mengalahkan).
Meskipun sudah banyak haters dan para penyebar hoaks serta penabur kebencian telah diproses secara hukum. Artinya proses pemidanaan sebagai upaya ultimum remedium untuk menimbulkan effek jera (detterent effeck) seperti halnya tesis Jeremy Bentham tidak bisa memberikan hasil maksimal. Masih saja ada orang-orang yang karena syahwat politiknya secara rajin mengumbar sikap nyiyir terhadap lawan politiknya.
Dengan konstelasi politik yang terdiri dari tiga kelompok, Ganjar Pranowo dari PDIP yang sering dikualifikasikan sebagai kelompok kiri (sosialis) dan Anies Baswedan bersama PKS yang sering dikualifikasikan sebagai kelompok kanan (agama), maka Prabowo bisa dikualifiksikan sebagai kelompok tengah (alternatif) yang fleksibel dan bisa merangkul dua kelompok yang saling berhadapan. Tetapi Prabowo harus tetap menjaga hubungan secara proporsional dengan semua kelompok sehingga tercipta keseimbangan antara kepentingan stabilitas politik juga untuk menjaga iklim demokrasi dan tidak terjebak pada otokrasi.
Setali tiga uang, Prabowo juga tidak menyinggung tentang treatment yang akan dia lakukan jika terpilih dalam Pilpres 2024 nanti dalam konteks bagaimana cara dia menciptakan sistem hukum yang kuat demi hadirnya kepastian hukum (law enforcement) dan persamaan di depan hukum (equality before the law). Padahal asas penegakan dan kepastian hukum sama pentingnya dengan stabilitas politik demi terciptanya iklim usaha yang kondusif. Secara empirik asas persamaan dan kepastian hukum itu masih ‘jauh panggang dari api’ sehingga menimbulkan bahasa-bahasa satire, ‘hukum yang tebang pilih’ atau ‘hukum tajam kebawah dan tumpul ke atas’. Suatu kondisi yang membuktikan belum terpenuhinya prasyarat Indonesia sebagai negara hukum (rechstaats) dan masih memperlihatkan watak sebagai negara kekuasaan (machstaats) yang bermuara pada pusat kekuasaan (who’s man behind the gun).
Persoalan krusial yang dihadapi bangsa Indonesia dalam bidang hukum adalah adanya disparitas atau kesenjangan pemahaman tentang norma-norma hukum diantara para aparat penegak hukum (APH) sendiri. Sehingga perlu adanya terobosan matrikulasi norma hukum, sehingga memunculkan persepsi yang sama. Persoalan ini tidak boleh dipandang remeh karena bisa menghambat proses pembangunan. Seperti misalnya tentang definisi keuangan negara yang sangat multi tafsir. Ini bisa menjadi persoalan yang serius karena masih banyak pejabat yang takut membuat terobosan atau melaksanakan kebijakan karena takut mendapat sanksi hukum. Hanya karena rendahnya pemahaman terhadap persoalan keuangan negara. Dampaknya adalah rendahnya penyerapan anggaran pembangunan karena masih dibawah 50% yang membuktikan jika proses penegakan hukum di Indonesia justru melahirkan ketakutan massal ketimbang ketenangan seperti teori utilitarianisme Jeremy Betham. Sementara para APH masih banyak yang ‘main tangkap dan main angkut’ tanpa ada kesamaan cara pandang tentang prosedur hukum.
Disinilah pentingnya Prabowo harus didampingi think thank yang kuat dan bisa melahirkan sebuah kebijakan holistik yang merupakan sinergi dan integrasi dari berbagai disilplin ilmu. Termasuk cara mengkomunikasikan gagasan selama masa kampanye antara gagasan besar dengan materi sosialisasi yang bersifat tematik. Sehingga masyarakat tidak gagal paham dan bisa memilih calon pemimpin yang benar-benar akan bisa mewujudkan mimpi besar Bangsa Indonesia sebagai salah satu calon super power atau negara adi kuasa. Dan mimpi besar itu telah terang-terangan digaungkan oleh Prabowo dengan berbagai langkah yang telah disusun dan diklaim sebagai great leap forward (langkah besar) untuk mengejar ketertinggalan.
Dengan komitmen, dan konsistensi mimpi besar ttu akan terwujud, asal Prabowo mau membuka diri terhadap berbargai kritik dan masukan. Apalagi Prabowo telah melakukan langkah awal yang baik untuk mewujudkan Indonesia sebagai salah satu super power dunia. Berbekal doktrin militer, dari filsuf militer dari Yunani Vigetius Reatus, sivis pacem para belllum (jika kau menghendaki perdamaian maka bersiaplah untuk perang) serta filsuf Thucydides yang mengatakan ‘yang kuat akan berbuat yang dia mampu berbuat dan yang lemah akan menderita’, Prabowo secara perlahan menyulap kekuatan militer Indonesia menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan.
Kini kekuatan militer Indonesia semakin gahar dan diperhitungkan dunia. Situs pemeringkat militer dunia, Global Fire Power (GFP) menempatkan kekuatan militer Indonesia atau TNI di peringkat 13 dari 145 negara di dunia pada 2023. Penilaian ini mengacu pada kategori kekuatan militer, keuangan, kemampuan logistik dan geografi dengan skor sempurna pada indeks ini adalah 0,0000 (powerindeks). “Skor PwrIndx (powerindeks) yang sempurna adalah 0,0000 yang secara realistis tidak dapat dicapai dalam cakupan rumus GFP saat ini. Dengan demikian, semakin kecil nilai PwrIndx, semakin kuat kemampuan tempur konvensional suatu negara,” tulis GPF
Padahal tahun 2020 lalu hasil survei Global Fire Power (GFP), masih menempatkan kekuatan militer Indonesia di posisi ke-16 dari 137 negara, dengan indeks 0,2544 (0,0000 adalah indeks sempurna). GFP mengatakan, analisis ini didasarkan pada data militer tiap negara sejak tahun 2006-2020 meski dengan kekuatan armada yang sedanya. Peringkat pada tahun 2020 itu didasarkan pada potensi kemampuan menciptakan perang baik di darat, laut dan udara yang diperjuangkan dengan senjata konvensional. Tidak hanya itu, dalam mendapatkan data akhir, GFP memasukkan pula faktor pendukung lain misalnya keuangan, geografis, dan sekitar 55 faktor lainnya.
Seperti diketahui kekuatan militer Indonesia itu terdiri dari sisi Angkatan Darat, yang memiliki 313 tank perang, 1.178 kendaraan berawak, 153 artileri otomatis, 366 artileri manual, serta 36 proyektor misil milik TNI AD. Sedangkan di udara, TNI AU memiliki 41 pesawat tempur, 39 pesawat tempur khusus, 5 pesawat khusus, 54 transportasi udara, 109 pesawat latih, serta 177 helikopter dan 16 helikopter perang. Sementara TNI AL memiliki 7 fregat, 24 corvette, 5 kapal selam, 156 kapal patroli, dan 10 pangkalan perang.
Padahal anggaran militer Indonesia terbilang sangat kecil. tahun 2019 lalu alokasi anggaran pertahanan Indonesia hanya sebesar Rp 131,2 triliun atau 0,68 persen terhadap PDB. Dalam Renstra Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia tahun 2015-2019 disebutkan bahwa terdapat target untuk dapat menaikkan anggaran pertahanan menjadi sebesar 1,5 persen dari PDB. Idealnya alokasi anggaran pertahanan itu berkisar 1,5-2% dari PDB. Sementara TNI AL ditangan Prabowo kini telah menempati peringkat 4 navy terkuat di dunia.
Jadi mimpi besar Prabowo itu bukanlah sesuatu yang diawang-awang tetapi mimpi itu secara perlahan mulai diwujudkan. Sehingga ketika diberi tongkat komando, Prabowo sudah bisa menentukan skala priroritas yang akan dia tempuh. Tetapi sekali lagi kelemahan yang mendasar Prabowo belum memilki tim think thank yang kuat dan kredibel.(***)
- Penulis adalah Direktur Kajian Poleksosbud, Cakra Emas