- Advertisement -
Pro Legal News ID
Politik

Tidak Gampang Berhentikan Kepala Daerah

Jakarta, Prolegalnews – Kepulangan Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab (HRS) menyisakan banyak persoalan. Pasalnya, kepulangan HRS itu disambut oleh massa pendukungnya serta sejumlah tokoh dan pejabat. Sehingga mereka dinilai telah melanggar protokol kesehatan. Bahkan karena penyambutan itu sejumlah pejabat terancam dipecat seperti halnya dua Kapolda yang telah dicopot dari jabatannya.

Menyikapi ancaman pemecetan  itu  pengamat politik dari Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie, yang bisa dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito karnavian karena lalai cegah kerumunan masaa saat pandemi Covid-19, bukanlah hal yang mudah. Menurut Jerry, hal itu tidak gampang, terlebih mereka dipilih oleh masyarakat. “Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan memang pidana berlaku bagi pelanggar aturan tersebut. Tapi kalau pemberhentian kepala daerah barangkali perlu diatur lagi,” ujar Jerry,(20/11/2020).

Jerry memandang, ada aspek psikologis dari kepala daerah yang coba mengatur adanya kerumunan massa. Dia meyakini para kepala daerah sudah coba melarang hal tersebut, kendati masifnya massa membuat hal itu sulit dihentikan. “Contoh sudah dilarang, namun warga tetap datang berkerumun. Nah agak sulit kan untuk menghentikan. Semua tergantung disiplin,” nilai dia.

Karenanya, adanya denda untuk membuat jera menjadi pilihan yang dapat diterapkan sebagai faktor sosiologis. “Sistem denda seperti yang diterapkan Pemda DKI Jakarta yang memberikan denda Rp 50 juta terhadap Habib Rizieq,” ujar Jerry.

Jerry meyakini, pemecatan yang mencuat terhadap kepala daerah bisa saja sah, jika mereka tersandung kasus korupsi dan pelanggaran moral. Namun, jika disangkut dengan UU Karantina Kesehatan, belum ada ketentuan yang bisa menegaskan pemecatan terhadap si kepala daerah.

“Kepala daerah diberhentikan perlu juga ada aturan yang mengatur, jangan hanya ancaman pemberhentian,” singgung Jerry.

Seperti diketahui, dalam Pasal 33 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan karena: a. meninggal dunia; b. mengajukan permohonan berhenti atas permintaan sendiri; c. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik Pejabat yang baru; d. tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.”Jadi saya duga bisa Anies Baswedan bisa ke arah pemberhentian tapi secara politis. Apalagi sudah diperiksa pihak kepolisian,” dia memungkasi.

Sebelumnya,  Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi Nomor 6 tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Adapun instruksi ini ditujukan kepada gubernur, bupati, atau wali kota pasca terjadinya kerumunan massa beberapa hari lalu.

Setidaknya, ada enam poin dalam instruksi yang diteken,(18/11/2020) hari ini. Dalam poin keempat, Tito mengingatkan bahwa kepala daerah dapat diberhentikan apabila melanggar ketentuan.”Bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, diingatkan kepada kepala daerah tentang kewajiban dan sanksi bagi kepala daerah”, ujarnya.

Pada diktum keempat, dijelaskan bahwa dalam Pasal 78 UU Pemda, kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Pasal 78 ayat (2) UU Pemda, berdasarkan diktum keempat Instruksi Mendagri, kepala daerah dapat diberhentikan salah satunya jika dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah.

Kemudian, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah/wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan, melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah, hingga melakukan perbuatan tercela. Instruksi Mendagri sendiri dibuat sebagai tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi tentang konsistensi kepatuhan protokol kesehatan Covid-19.Tim

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan