- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

The Transformers Couple

Ilustrasi (rep)

Oleh : Gugus Elmo Rais

Membahas tentang suksesi kepemimpinan  nasional, ada  budaya politik  di republik ini yang sangat menggelisahkan, yakni  budaya politik tumpas kelor. Fatsoen politik yang mengubur eksistensi lawan yang kalah dalam kompetisi politik (losers).  Dalam Kitab Negara Kertagama fatsoen ini sebenarnya untuk menggambarkan kisah Mahapatih Jaya Negara  dari Kerajaan Majapahit yang menghabisi Patih Nambi beserta pengikutnya hanya berdasarkan fitnah. Kini tumpas kelor,  itu bisa diinteprestasikan sebagai sikap politik  untuk mengikis habis semua simpatisan partai yang kalah termasuk membabat habis semua warisan kebijakan.

Fenomena politik seperti itu juga pernah terjadi di Amerika pada dekade 80-an. Sehingga seorang profesor ekonomi dari Massachusetts, Lester  C Thurow menulis dalam bukunya The Zero Sum Society Distribution And The Posibilities for Economic Change, yang mendeskripsikan jika fatsoen politik seperti itu zero zum game/tumpas kelor  cenderung menciptakan instabilitas serta inkontinyuitas  (ketidak sinambungan)  kebijakan.  Sehingga menimbulkan kesan setiap kebijakan bersifat flip flop (berubah-ubah) dan tambal sulam (ad hoc). Dengan pola kebijakan yang selalu berubah itulah setiap kebijakan tidak pernah memberikan hasil yang optimal.

Sejak republik ini dinyatakan merdeka pada tahun 1945 tenyata  budaya politik tumpas kelor itu belum juga hilang. Ketika negara ini menganut sistem parlementer (1945-1959)  setidaknya kita berganti puluhan kali parlemen. Setiap pergantian parlemen senantiasa diikuti dengan pergantian kebijakan dan orientasi. Bahkan ada parlemen yang usianya hanya berkisar 2 bulan. Setelah dekrit presiden 1959, baru  umur pemerintahan relatif lebih panjang meski tetap terjadi pergumulan ideologi yang sangat keras. Pasca terjadi pemberontakan G 30 S PKI, politik tumpas kelor justru terjadi sangat  mengerikan.

Stabilitas politik relatif permanen terjadi pada era Orde Baru, meski itu bersifat semu karena tidak berfungsinya beberapa lembaga negara seperti DPR/MPR yang hanya menjustifikasi semua kebijakan pemerintah dan mengabaikan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga pengawas terhadap semua kebijakan pemerintah. Namun pemerintahan Orde Baru memiliki blue print (cetak biru) yang jelas tentang arah kebijakan berupa Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Baik dalam jangka pendek, menengah, panjang, seperti adanya Repelita. Siapapun menteri yang diangkat saat itu telah memiliki acuan kebijakan yang jelas. Mungkin hasilnya akan semakin optimal bila DPR saat itu bisa menjalankan fungsi pengawasan yang baik,

Maka  menjelang suksesi kepemimpinan nasional melalui Pilpres 2024 diskursus tentang budaya  tumpas kelor itu menjadi menarik untuk dibahas. Apalagi setelah munculnya tageline perubahan, minus penjelasan perubahan evolutif atau perubahan revolutif, sehingga menimbulkan resistensi dan pertanyaan apakah akan terjadi perubahan kebijakan yang radikal atau justru sebaliknya. Cara berkomunikasi dengan mengggunakan gimmick politik seperti itu  tetap akan berpengaruh terhadap persepsi publik. Disitulah pentingnya gaya komunikasi politik yang elegan dengan disertai kemampuan untuk mengukur respon dari masyarakat, karena kesalahan kalkulasi politik bisa menjadi fatal. Meskipun tageline itu pasti dilandasi oleh niat baik untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kalau kita cerdas dan berpikiran jernih, rezim apapun dalam pemerintahan yang bercorak demokratis pasti memiliki dua sisi berlawanan, yang tidak sepenuhnya jelek dan tidak pula sepenuhnya buruk, karena pasti ada pengawasan  dan mekanisme ceck and balance yang berjalan. Berdasarkan hipotesa itulah, pasti ada 1001 kelemahan bahkan lebih dalam pemerintahan Jokowi tetapi begitu juga sebaliknya pasti ada lebih dari 1001 kelebihan yang dimiliki oleh pemerintahan yang sekarang dan pantas untuk diapresiasi. Disitulah pentingnya kritik sebagai tentative solution seperti halnya teori Propperian (Karl Raymond Propper), tentu yang dilandasi oleh kejujuran dan bukan karena dilumuri oleh apatisme politik.

Maka untuk memperoleh hasil yang  optimal dari sebuah kebijakan, pendekatan yang paling realistis adalah menggunakan pendekatan yang evolutif berupa evaluasi dan penyempurnaan kebijakan dari pemerintah sebelumnya. Menggunakan hipotesa serta pendekatan yang evolutif itulah, maka  treatments yang paling realistis adalah melanjutkan serta melakukan perbaikan dengan mentranformasi semua potensi yang dimiliki menjadi sebuah energi perubahan.

Ternyata cara itulah yang dipilih oleh Prabowo Subianto untuk mentransformasi pengalaman dan pengetahuan itu menjadi sebuah amunisi berupa visi dan misi yang akan digunakan dalam kontestasi Pilpres 2024 nanti.  Dalam berbagai kesempatan Prabowo Subianto selalu mendeklar “Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045” yang menjadi goal atau target yang ingin dicapainya. Strategi putra Begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo itu  tertuang dalam buku ‘Paradoks Indonesia dan Solusinya’. Sehingga memperlihatkan jika Prabowo  adalah Calon Presiden (Capres ) yang  telah memilki blue print maupun road map yang jelas, mau kemana bangsa ini akan dibawa ?.

Pilihan untuk melakukan transformasi itu adalah pilihan yang cerdas sekaligus bijak, karena didasari oleh argumentasi yang realistis sekaligus obyektif jika pemerintahan yang sekarang ini akan mewariskan sejumlah prestasi yang layak untuk diapresiasi sekaligus dilanjutkan tentu dengan berbagai catatan. Secara makro, eknomi Indonesia masih terbilang masih bisa diandalkan karena memiliki pertumbuhan 5,3 % dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 1 triliun $ US, sehingga layak jika Indonesia disebut sebagai epicentrum of growth, walaupun perekonomian dunia  saat ini dalam kondisi masih bengek karena pandemi.

Berbagai pencapaian pemerintahan Jokowi itu secara obyektif dipaparkan oleh Prabowo dalam bukunnya ‘Paradoks Indonesia dan Solusinya’ sebagai bentuk apresiasi sekaligus ejawantah dari budaya Jawa, mikul dhuwur mendhem jero (mengangkat tinggi dan mengubur dalam) terhadap pendahulunya yakni Jokowi yang telah mengajarinya untuk mendhem budaya tumpas kelor (mengubur  budaya tumpas kelor) dengan cara mengajaknya untuk bergabung ke kabinet dan menjadi Menteri Pertahanan RI.     

Bahkan  dalam berbagai kesempatan Prabowo secara terbuka memberikan apresiasi  terhadap pemerintahan Jokowi yang menurutnya telah menorehkan sejumlah prestasi. Prabowo juga tidak segan-segan mengklaim  jika strategi Prabowonomic yang diusungnya merupakan sintesa dari konsep perekonomian Jokowinomic yang diusung oleh Jokowi selama 10 tahun berkuasa.  Cara komunikasi politik Prabowo  itu merupakan sebuah gimmick  komunikasi politik yang santun dan cerdas untuk menunjukkan komitmennya sebagai  penerus kebijakan Jokowi.

Untuk mewujudkan mimpi-mimpi besarnya itulah Prabowo butuh tandem dan pendamping yang memiliki cara pandang yang sama sekaligus memiliki chemistry dalam memuwujudkan cita-citanya. Tetapi yang paling penting calon pendampingnya harus memilki karakter transformers yang sama dengannya, sehingga pasangan Capres-Cawapres itu bisa menjadi dwi tunggal (the transformers couple) yang saling melengkapi, untuk  membawa nahkoda bangsa ini ke dalam samudra yang penuh gelombang  besar seperti saat ini. Kalau dari aspek politik luar negeri dan stabilitas politik global, Prabowo telah memperlihatkan sejumlah langkah yang bisa diukur kemana arah politik luar negeri Indonesia. Dari cara Indonesia menjaga hubungan dengan berbagai poros kekuatan dunia seperti, China, Rusia maupun Amerika yang telah dilakukan oleh Prabowo dalam lima tahun terakhir selama menjalankan tugas sebagai Menhan RI.

Tantangan selanjutnya adalah mencari Cawapres yang memilki karakter transformers terutama dalam bidang ekonomi, sebagai goal atau target besar seperti yang sering didekalarasikannya,” Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045”. Dalam bursa Cawapres ada beberapa nama kandidat yang kini muncul di permukaan, seperti mantan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, Menneg BUMN dan Ketum PSSI, Erick Tohir  hingga Menparekraf, Sandiaga Uno   serta Menko Perekonomian sekaligus Ketum Partai Golkar, Airlangga Hartato. Hasil beberapa lembaga survey secara elektabilitas, menempatkan nama-nama itu dalam posisi yang nyaris seimbang. Kondisi itu membuat proses penentuan Cawapres untuk mendampingi Prabowo dalam Pilpres 2024 mendatang menjadi semakin rumit.

Walaupun berdasarkan kualifikasi normatif, seperti elektabiltas, kapabilitas, integritas yang nyaris berimbang, tetapi dalam berbagai parameter, secara kualitatif akan terlihat jika Ketua Umum Partai Golkar dan Menko Perekonomian, Airlangga Hartato memiliki kualitas yang lebih dibandingkan dengan calon-calon yang lain. Tesis seperti itu tidaklah berlebihan jika kita melihat beberapa fakta empirik. Berbagai kelebihan yang dimiliki oleh Airlangga diantaranya adalah :

Personal image, Airlangga sebagai politisi yang santun sangat melekat kuat. Menteri Perekonomian ini nyaris tidak pernah terlibat perseteruan dengan politisi lain. Airlangga dikenal memiliki pola pendekatan yang elegan terhadap lawan-lawan politiknya. Pola pendekatan seperti itu diperlihatkan Airlangga ketika terpilih menjadi Ketum Golkar, Airlangga menghindari permis the winner take all dengan mengakomodir kubu lawan politiknya. Karakter ini akan mempersempit potensi terjadinya kegaduhan politik  serta  polemik yang menguras energi apabila Airlangga terpilih sebagai Cawapres. Sehingga pemerintahan baru yang terpilih akan bisa fokus dan kosentrasi dalam menjalankan program pembangunan.

Airlangga juga bisa berperan sebagai dinamisator  pembangunan. Untuk menciptakan kesinambungan pembangunan (sustainable), maka pasca pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi- Ma’ruf Amin maupun Jokowi -JK, program pembangunan periode selanjutnya adalah program pembangunan yang produktif. Karena fase selanjutnya, kita akan memasuki fase pay back period   (pengembalian modal) dari belanja modal besar-besaran yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam membangun infrastruktur.

Dengan konsideran seperti itu maka program industrialisasi merupakan sebuah jawaban sekaligus keniscayaan. Apalagi program industrialisasi bisa mengakomodir angkatan kerja yang jumlahnya terus meningkat. Dalam konteks itulah Airlangga merupakan satu-satunya figur Cawapres yang memiliki wawasan  kognitif yang memadai tentang proses industrialisasi. Airlangga merupakan konseptor handal yang bisa membuat blue print tentang revolusi industri sekaligus eksekutor kebijakan yang  handal sehingga bisa mengeluarkan bangsa ini dari kejumudan sebagai negara agraria yang terbukti tidak bisa melakukan ekstensifikasi pertanian.

Selain dinamisator pembangunan, Airlangga juga merupakan seorang eksekutor kebijakan yang tangguh serta memiliki kemampuan managerial yang mumpuni. Program pembuatan berbagai kawasan industri terbukti efektif sebagai proses desentralisasi industri sekaligus menekan laju urbanisasi. Airlangga merupakan salah satu dari sedikit Menteri Kabinet Kerja yang cerdas menterjemahkan visi Presiden Jokowi terutama dalam menciptakan kemandirian ekonomi. Industri manufaktur dalam skala Industri Kecil Menengah (IKM) tumbuh secara signifikan. Berkat sentuhan tangan dingin Airlangga inilah, sektor mikro masih bisa menggeliat dan memberikan kontribusi terhadap PDB secara signifikan.

Berbekal perolehan suara dalam Pilpres 2019 lalu sebesar 12,31%, Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar juga bisa berperan sebagai stabilisator sekaligus safety guard (penjaga/penyelamat) pemerintahan Prabowo dalam menjalankan program pembangunan. Dengan 85 anggota dewan, Golkar merupakan ‘pengawal’ yang  tangguh bagi pemerintahan Prabowo yang akan datang. Fungsi dan peran itu pernah dijalankan secara nyaris sempurna oleh JK selama mendampingi Jokowi. JK kerap ‘pasang badan’ untuk mengawal kebijakan Pemerintahan Jokowi. Secara ‘genetis’  fungsi dan peran itu bisa diturunkan oleh JK kepada Airlangga yang merupakan pewaris kepemilikian ‘pohon beringin’.

Berbagai kelebihan komparatif itulah yang membuat Airlangga mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan calon-calon lainnya. Walapun secara elektabilitas relatif tidak memiliki perbedaan yang jauh. Airlangga bukan merupakan pemimpin simbolis, tetapi berdasarkan skala kebutuhan dan tantangan ke depan, Airlangga dan Prabowo akan menjadi pasangan yang komplementer. Sebagai penggagas program Santripeneur, selama menjadi Menteri Perindustrian, popularitas Airlangga di kalangan NU juga cukup tinggi.

Prabowo harus berani mendidik bangsa ini untuk berpikir realistis tidak melankolis dengan tidak melakukan pendekatan menggunakan baju politik identitas, meski dilakukan oleh para pendahulunya. Karena publik sudah semakin cerdas dan dewasa dalam berpolitik. Prabowo tidak harus mencari pendamping dari kalangan agamawan atau tokoh agama baik tokoh agama struktural maupun tokoh politik dari partai yang berlatar belakang agama. Prabowo harus belajar dari kekalahan Megawati saat berpasangan dengan Hasyim Muzadi dalam Pilpres 2024, semua orang tidak pernah meragukan ketokohan Hasyim Muzadi sebagai tokoh agama moderat dan karismatik, namun ternyata tidak memberikan dampak perolehan suara yang signifikan.

Begitu juga halnya perolehan suara pasangan Prabowo dan Gus Solah juga tidak memperoleh suara yang siginifikan meski Gus Solah memiliki trah  ulama karismatik  yang memilki penganut hingga puluhan juta dari pendiri NU, Kyai Hasyim Asy’ari.  Kemenangan pasangan Jokowi-Kyai Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 tidak bisa dijadikan ukuran jika Ormas NU sebagai mesin  politik telah bekerja secara optimal, kemenangan itu lebih ditentukan karena memang popularitas Jokowi menjelang Pilpres 2019 itu memang sangat tinggi. Seperti halnya ketika SBY menjelang Pilpres 2009, saat itu popularitasnya sangat tinggi sehingga ketika memilih Boediono sebagai Cawapres, SBY tetap memenangkan pertarungan.

Justru pemilihan pasangan dengan menggunakan pendekatan politik identitas akan membuat terjadinya kristalisasi dukungan yang eksklusif, karena orang yang berbeda afiliasi politik dan aliran agamannya akan memperlihatkan gejala resistensi yang tentu saja akan berdampak terhadap elektabilitas maupun aksesbilitas calon itu sendiri. (***)

  • Penulis adalah Direktur Kajian Poleksosbudkum, Cakra Emas Syndicate

 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan