Bahwa Hak Hukum Tersangka dan / atau Terdakwa untuk diam “BEBAS” terdapat dalam ketentuan Pasal 52 KUHAP yang menyatakan : “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau terdakwa berhak memberi keterangan secara “BEBAS” kepada penyidik atau hakim”.
Dengan demikian bila tersangka dan/atau terdakwa menolak untuk memberi keterangan, apalagi bila dirasakan oleh Tersangka dan/atau Terdakwa, ada sikap dan perlakuan yang bersifat diskriminatif dan/atau tidak adil, maka tersangka dan/atau terdakwa BEBAS untuk tidak meladeni penegak hukum yang diskriminatif dan tidak adil tersebut, hal itu tidak termasuk comptemp of court !
Di Negara maju, seperti Amerika Serikat, hak itu justeru pertama kali diucapkan oleh Polisi / Penyidik kepada seseorang yang akan ditangkap SBB : “Kamu memiliki hak untuk diam. Apapun yang kamu katakan dapat dan akan digunakan untuk melawanmu di pengadilan”.
Hak ini dikenal sebagai ” MIRANDA RULES” yaitu suatu prinsip hukum acara pidana di Amerika Serikat yang berasal dari kasus Miranda vs Arizona tahun 1966, yang pada akhirnya memunculkan Amandemen Kelima Bill of Rights SBB :
“No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offence to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation.”
Artinya adalah bahwa : “Tiada seorangpun diharuskan menjawab untuk suatu tindak pidana umum atau tindak pidana yang belum dikenal, tanpa penjelasan atau penggambaran dakwaan dari Juri, kecuali untuk kasus yang timbul di Angkatan Darat atau Angkatan laut, atau di dalam Milisi, ketika sedang bertugas dalam perang atau bahaya umum; juga tidak seorangpun menjadi terdakwa dan didakwa dua kali untuk kasus yang sama sehingga membahayakan hidupnya, juga tidak akan dipaksa dalam setiap kasus pidana untuk menjadi saksi melawan dirinya sendiri, juga tidak akan dikurangi kehidupan, kebebasan, atau harta bendanya, tanpa proses hukum; juga kepemilikan pribadi tidak akan diambil untuk kepentingan umum, tanpa kompensasi yang adil.”
Bahwa bentuk nyata dari penerapan Miranda Rules adalah adanya “Miranda Warning” yaitu oleh Polisi/ Penyidik ketika sedang menangkap seseorang Tersangka dan sebelum dilakukan Interogasi, maja Polisi / Penyidik menyampaikan Narasi sebagai berikut :
“You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense.
Yang artinya adalah bahwa :”Kamu memiliki hak untuk diam. Apapun yang kamu katakan dapat dan akan digunakan untuk melawanmu di pengadilan. Kamu memiliki hak untuk bicara kepada penasehat hukum dan dihadiri penasehat hukum selama interogasi. Apabila kamu tidak mampu menyewa penasehat hukum, maka akan disediakan satu untukmu yang ditanggung oleh Pemerintah.”
Dengan demikian tidak diperkenankan penegak hukum untuk memaksa seseorang untuk menjawab pertanyaan “Interogasi” penegak hukum, karena beban pembuktian sesungguhnya ada pada penegak hukum, utamanya pada penyidik & jaksa penuntut umum.
Bahwa di Indonesia disediakan upaya hukum bila terdapat perbuatan melawaan hukum oleh para Penegak Hukum semusal oleh penyidik & jaksa penuntut umum yaitu : “Praperadilan” atau Tuntutan Praperadilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 77 KUHAP juncto Pasal 83 KUHAP, Jadi semua tindakan hukum akan terkontrol sesuai hukum acara.
Bahwa Majelis Hakim, sebagai wakil Tuhan dan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan, harus mampu bertindak, besikap & bijaksana dalam menyatakan benar diatas benar dan tidak diatas tidak, sebab lebih dari itu adalah dusta.
Artinya Majelis Hakim sesuai irah irah putusan pengadilan yang menyatakan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” itu harus mampu memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dengan mempergatikan Aspek Kepastian Hukum, Aspek Keadilàn & Aspek Kemamfaatan Hukum berdasarkan alat bukti yang sah dan ditambah oleh keyakinan Majelis Hakim.
Demikian
Horas.
Adv. Kamaruddin Simanjuntak, S.H.
Ketua Umum PDRIS / Bendum MUKI.