- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Taliban’s Effect

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Dengan alokasi anggaran sekitar US $ 2,2 T atau ada yang menyebut angka Rp 31.600 triliun, serta dukungan persenjataan yang super canggih,  Amerika Serikat yang sering mengklaim sebagai global corp (polisi dunia) ternyata berakhir  tengsin, karena gagal untuk menata Afghanistan, sekaligus ingin menjadikan sebagai sekutunya. Padahal, sebelumnya Amerika begitu yakin karena merasa pernah menanam jasa dalam mengusir Uni Soviet.  Selain gagal menata Afghanistan, Amerika maupun NATO harus kehilangan setidaknya 3,586 prajuritnya, bahkan ada yang menyebut lebih banyak dari itu. Amerika ternyata harus angkat kaki, dan meninggalkan Afghanistan dan menyerahkannya kepada Taliban. Negeri  yang dihuni beberapa suku seperti Pasthun, Tajik, Hazara, Aimak, Uzbek,  dan Turkmen itu kini terancam perang saudara.

Kegagalan Amerika untuk menata sekaligus menjadikan Afghanistan sebagai sekutu itu sebenarnya mengulangi kegagalan serupa yang dialami Uni Soviet  yang juga ingin menjadikan Afghanistan sebagai bonekanya. Selama era pemerintahan Perdana Menteri Daoud pada dekade 70an, Muhamad Taraki, Hafizullah Amin hingga Babrak Karmal, Afghanistan memang memiliki kedekatan ideologis dengan  Uni Soviet, tetapi karena kegigihan Mujahidin yang kini menjelma menjadi Taliban, Uni Soviet yang melakukan aneksasi dibawah komando Marsekal Sergei Kolokov justru berujung kekalahan yang memalukan.

Jumlah kerugian yang diderita oleh  Uni Soviet menurut artikel The Soviet-Afghan War : Breaking The Hammer & Sickle serta  Grau and Gress, 2002 juga sangat mencengangkan. Padahal ada beberapa sumber yang mengatakan jika jumlahnya lebih besar dari artikel itu. Sesuai artikel itu jumlah korban di pihak Soviet diantaranya, 14.453  tentara terbunuh (total) atau 9.500 tewas dalam pertempuran, 4.000 meninggal karena luka,  1.000 meninggal karena penyakit dan kecelakaan,  53.753 terluka serta 264 hilang.

Sementara kerugian persenjataan yang diderita Uni Soviet adalah 333 pesawat termasuk helikopter, 147 tank, 1.314 IFV/APC, 433 senjata artileri dan mortar, 11.369 truk kargo dan tanker bahan bakar  (perkiraan Soviet) 26.000 tewas termasuk 3.000 perwira. Sementara korban di pihak Afghanistan tercatat sekitar 56.000 tewas. Hingga saat ini belum ditemukan referensi dan literatur berapa anggaran yang dihabiskan oleh Uni Soviet selama periode 1979-1989 untuk menginvasi Afghanistan dan menghadapi para combatan Mujahidin yang menentang pendudukan Uni Soviet.

Kekalahan Uni Soviet yang diulangi oleh Amerika itu memilki pesan yang sederhana. Kekuatan militer yang superior dari dua negara adi daya sekalipun, belum tentu mampu untuk mengatasi perjuangan yang berbasis pada keyakinan. Seperti halnya leganda David versus Goliath.  Hal yang sama juga pernah  dialami oleh Bangsa Indonesia selama revolusi fisik, 74 tahun lalu ketika para pejuang mengusir  tentara sekutu yang sangat superior karena telah memenangkan perang dunia kedua, tetapi akhirnya justru kalah secara memalukan melawan para pejuang Indonesia yang bersenjatakan peralatan yang sangat sederhana.

Tidak ada satu kekuatanpun di dunia yang bisa menginvasi sekaligus merubah budaya  suatu bangsa. Bisa saja sebuah kekuatan yang hegemonik melakukan invasi dan menguasai secara fisik. Tetapi tidak akan pernah merubah mindset dan budaya masyarakat setempat, apalagi secara instan.   Buat Amerika ini adalah untuk kesekian kalinya, invasi untuk merubah peradaban dan pandangan politik yang berunjung kegagalan seperti yang pernah mereka lakukan  di Vietnam dan Iraq serta Libya.

Maka menghadapi, kekalahan Amerika serta berkuasanya Faksi Taliban di Afghanistan kita tidak perlu paranoid. Meski Taliban adalah sebuah faksi yang berisi kelompok Islam konservatif. Bangsa Afghanistan berhak untuk menentukan sendiri sesuai dengan corak dan paham politik yang diinginkannya. Kita tidak punya hak untuk menolak, walau  mungkin padangan politiknya sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Seperti halnya kita yang tidak bisa melarang suatu bangsa menganut paham komunis, karena sesuai dengan ketentuan kita komunis telah menjadi paham terlarang.

Yang bisa kita lakukan adalah ‘berteman’ dengan mereka sesuai dengan norma-norma hukum internasional. Sehingga kita bisa memberikan masukan ke mereka untuk meningkatkan pemahaman tentang nilai-nilai  penghormatan terhadap wanita serta emansipasi wanita. Karena faktanya Taliban menyatakan mau berubah sekaligus pernah ‘belajar’ ke Indonesia untuk belajar menjadi Islam yang moderat sehingga mampu menciptakan kerukunan antar umat beragama yang sangat beragam seperti di Indonesia. Tanpa adanya hubungan diplomatik, mustahil kita bisa memberikan masukan ke mereka.

Bahwa kemenangan Taliban itu akan menciptakan euphoria bagi para mantan combatan di Afghanistan yang cenderung bersikap radikal di tanah air, itu pasti. Maka tantangan kita selanjutnya adalah dengan melakukan deradikalisasi secara intensif. Apalagi kita telah mempunyai unit yang sangat efektif dalam mencegah terorisme yakni Desnsus 88. Doktrin nasionalisme kita melalui politik kasih sayang harus segera ditingkatkan. Dengan cara mengurangi kebiasaan kita untuk saling hujat dan saling fitnah terutama melalui Medsos. Sehingga tercipta keadilan hukum sesuai dengan asas persamaan dalam bidang hukum (equality before the law). Adanya sikap  akomodatif serta suasana politik yang nyaman itulah yang akan menutup ruang agar mereka tidak berafiliasi dengan anasir-anasir dari luar termasuk Taliban, untuk menciptakan instabilitas di dalam negeri.

Kita harus belajar dari sejarah, karena sikap saling meniadakan antara kelompok,( kita pernah berusaha mengusir secara fisik keberadaan faham komunis), maka yang terjadi adalah konflik horizontal yang sangat mengerikan  terjadi pada tahun 1965.  Hingga saat ini belum ada data resmi berapa ratus ribu korban jiwa karena pertikian ideologi itu, meski ada yang menyebut berkisar 1-1,5 juta jiwa. Saat itu kita terbawa oleh persaingan ideologi antara blok barat yang liberalis, kapitalis dan kolonialis melawan blok timur yang komunis, dan yang terjadi adalah sesama anak bangsa kita terjadi sikap saling serang dan saling bertikai.

Sejarah itu mengajari, jika kita tidak setuju dengan ideologi tertentu, kita tidak perlu mengusir secara fisik, tetapi dengan cara bagaimana kita memahami serta mengamalkan ideologi yang kita anut yakni Pancasila secara konsisten dan konsekuen, maka ideologi-ideologi yang bercorak kekerasan,  dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh para pengikutnya.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan