Jakarta, Pro Legal-Dua orang mahasiswa yakni mahasiswa hukum tata negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Fahrur Rozi dan mahasiswa Podomoro University, Anthony Lee mengajukan permohonan uji materiil terkait syarat minimal usia calon kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Benar sudah diterima (permohonannya) pada 11 Juni,” ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono, Rabu (19/7).
Materi yang dimohonkan untuk uji materiil adalah Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 yang berbunyi : “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (e). berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, serta 25 (dua puluh lima) untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;”.
Dalam permohonannya, Fahrur dan Anthony ingin MK menegaskan titik waktu syarat minimal usia itu diterapkan.
Sebab belum lama ini Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengubah aturan terkait syarat minimal usia calon kepala daerah dalam Peraturan KPU.
MA memerintahkan KPU agar syarat usia itu berlaku terhitung saat pelantikan, bukan saat pencalonan.
Menurut Fahrur dan Anthony, putusan MA itu telah melahirkan dua tafsir yang berbeda terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016. Mereka juga menilai putusan itu bertentangan dengan original intent (maksud tekstual/asli) UU 10/2016. “Yang mana maksud dari Pasal 7 huruf e yang memuat ketentuan usia bagi calon kepala daerah adalah untuk calon yang akan berkontestasi, bukan untuk calon yang akan dilantik karena memenangkan Pilkada,” ujar mereka dalam permohonannya.
Selain itu mereka juga menilai Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 telah menggeser posisi MA dari negative norm (pembatal norma) menjadi positive norm (pembuat norma) yang secara kelembagaan bukanlah kewenangan MA, melainkan kewenangan pembuat legislatif.
Mereka berpandangan bahwa keberadaan dua tasir yang berbeda terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 telah melanggar hak pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. “Terjadinya pertentangan antara substansi pasal Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pasca adanya Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 nyata-nyata mengandung inskonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda, dan menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya,” kata mereka.
Dalam petitumnya, Fahrur dan Anthony ingin aturan syarat usia minimal calon kepala daerah dihitung saat tahapan pencalonan, bukan saat pelantikan. “Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon”;” bunyi petitum yang diajukan oleh Fahrur dan Anthony.
Seperti diketahui, sebelumnya putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 menjadi sorotan publik lantaran dianggap replika dari Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 tentang syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden.
Karena dengan putusan MA ini bisa membuka jalan bagi anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep maju di Pilkada 2024.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menegaskan Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 terkait aturan batas minimal usia calon kepala daerah tidak wajib diterapkan pada 2024.
Herdiansyah mengatakan Putusan MA yang mengubah norma dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020 itu bertentangan dengan UU Pilkada yang menjadi aturan di atasnya.(Tim)