Oleh : Gugus Elmo Ra’is
Dalam forum debat Calon Presiden (Capres) 2019 lalu ada ungkapan yang menarik dari pasangan Capres Prabowo Subianto –Sandiaga Uno. Paslon nomor 2 itu dalam manifesto politiknya sempat mengutip adagium Yunani yang terkenal, ‘si vis pacem, para bellum‘ (kalau menghendaki damai, siaplah untuk perang). Adagium itu seakan menjadi doktrin yang menjadi kekuatan sentral diplomasi Indonesia (tentu jika Prabowo terpilih sebagai Presiden RI). Prabowo juga ingin menggunakan doktrin itu dalam bidang ekonomi seperti yang dituangkan dalam bukunya Paradoks Indonesia Dan Solusinya.
Doktrin itu memang memiliki makna yang sangat strategis bagi Indonesia dalam menghadapi kondisi geo politik yang penuh ketegangan seperti saat ini. Beberapa kali Indonesia berusaha ditarik masuk dalam episentrum konflik antara kubu, seperti konflik Amerika versus China, Sekutu- Rusia (terkait krisis Rusia-Ukraina), Asean versus – China (terkait perairan Laut China Selatan), Amerika-Iran, Amerika Turki dll. Tetapi hingga saat ini Indonesia masih bisa menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif secara elegan untuk menjaga netralitas dalam menyikapi konflik di berbagai kawasan. Walaupun masih tetap sesekali melakukan manuver dengan melakukan latihan militer bersama dengan beberapa negara yang memiliki kaukus politik yang berbeda seperti misalnya Garuda shield.
Namun takdir ternyata menyatakan lain, jika dalam Pilpres 2019 lalu pasangan Prabowo- Subianto harus mengaku kalah dengan Pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin, sehingga Prabowo secara otomatis tidak bisa mengimplementasikan visi-misinya sesuai dengan doktrin yang diyakininya. Maka ketika Probowo Subianto ditunjuk Menteri Pertahanan (Menhan) RI, mantan Danjen Kopassus itu masih bisa mengaplikasikan mimpi besarnya meski dalam spectrum yang lebih kecil yakni di Departemen Pertahanan.
Secara sigap Prabowo segera mewujudkan obsesinya dengan melakukan modernisasi militer Indonesia secara besar-besaran. Dengan mengesampingkan dirinya yang akan dicap sebagai Mr, The Big Spender, Prabowo melakukan belanja besar-besaran. Maklum sebelumnya Indonesia sempat dinistakan oleh Paman Sam melalui embargo militer sebagai dampak dari Targedi Santa Cruz, di Dilli Timor Timur. Dan hal itu sempat kukonfimarsi melalui Duta Besar Amerika saat itu, J Stapleton Roy, (saat aku masih memimpin salah satu media nasional) yang kemudian dijawab secara tertulis oleh Atase Pers Gedung Putih saat itu Nicholas Burn yang membenarkan jika embargo itu memang terkait isu HAM.
Upaya Menhan Prabowo itu ternyata menampakan hasil yang signifikan. Kini kekuatan militer Indonesia semakin gahar dan diperhitungkan dunia. Situs pemeringkat militer dunia, Global Fire Power (GFP) menempatkan kekuatan militer Indonesia atau TNI di peringkat 13 dari 145 negara di dunia pada 2023. Penilaian ini mengacu pada kategori kekuatan militer, keuangan, kemampuan logistik dan geografi dengan skor sempurna pada indeks ini adalah 0,0000 (powerindeks). “Skor PwrIndx (powerindeks) yang sempurna adalah 0,0000 yang secara realistis tidak dapat dicapai dalam cakupan rumus GFP saat ini. Dengan demikian, semakin kecil nilai PwrIndx, semakin kuat kemampuan tempur konvensional suatu negara,” tulis GPF
Padahal tahun 2020 lalu hasil survei Global Fire Power (GFP), masih menempatkan kekuatan militer Indonesia di posisi ke-16 dari 137 negara, dengan indeks 0,2544 (0,0000 adalah indeks sempurna). GFP mengatakan, analisis ini didasarkan pada data militer tiap negara sejak tahun 2006-2020 meski dengan kekuatan armada yang sedanya. Peringkat pada tahun 2020 itu didasarkan pada potensi kemampuan menciptakan perang baik di darat, laut dan udara yang diperjuangkan dengan senjata konvensional. Tidak hanya itu, dalam mendapatkan data akhir, GFP memasukkan pula faktor pendukung lain misalnya keuangan, geografis, dan sekitar 55 faktor lainnya.
Seperti diketahui kekuatan militer Indonesia itu terdiri dari sisi Angkatan Darat, yang memiliki 313 tank perang, 1.178 kendaraan berawak, 153 artileri otomatis, 366 artileri manual, serta 36 proyektor misil milik TNI AD. Sedangkan di udara, TNI AU memiliki 41 pesawat tempur, 39 pesawat tempur khusus, 5 pesawat khusus, 54 transportasi udara, 109 pesawat latih, serta 177 helikopter dan 16 helikopter perang. Sementara TNI AL memiliki 7 fregat, 24 corvette, 5 kapal selam, 156 kapal patroli, dan 10 pangkalan perang.
Sementara anggaran militer Indonesia terbilang sangat kecil. tahun 2019 lalu alokasi anggaran pertahanan Indonesia hanya sebesar Rp 131,2 triliun atau 0,68 persen terhadap PDB. Dalam Renstra Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia tahun 2015-2019 disebutkan bahwa terdapat target untuk dapat menaikkan anggaran pertahanan menjadi sebesar 1,5 persen dari PDB. Idealnya alokasi anggaran pertahanan itu berkisar 1,5-2% dari PDB. Tetapi melihat kondisi perekonomian terkini yang terpuruk karena pandemi, harapan Menhan Prabowo untuk memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp 296 triliun untuk modernisasi Alutsista juga belum keturutan.
Kekuatan militer Indonesia diyakini akan semakin gahar jika semua kontrak pembelian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Kemenhan segera terealisasi. Misalnya rencana pembelian dua skuadron pesawat tempur Rafale dari Prancis, Pesawat Boromae dari Korsel termasuk komitmen pembelian 24 unit jet tempur F16 V yang diproduksi oleh Locheed Martin dari Amerika yang menjadi respon dari manuver Prabowo ke Prancis dan Korea. Tidak hanya matra udara yang dibenahi oleh Prabowo tetapi juga matra laut yang telah melakukan komitmen sejumlah kapal perang canggih dari beberapa negara seperti Kapal Freggat Arrowhead dari Inggris serta kapal selam dari Korea termasuk pembelian dari Italia. Jika semua komitmen itu segera terealisasi dapat dipastikan peringkat militer Indonesia akan meningkat pesat.
Dari sisi kemampuan SDM TNI, sudah tidak diragukan lagi. Kemampuan personil TNI yang mampu menjuarai lomba menembak antar-negara Australian Army Skill-At-Arms Meeting (AASAM) 12 kali secara berturut-turut merupakan salah satu bukti kecil kemampuan TNI yang diakui dunia. Tetapi pengakuan beberapa perwira tinggi legendaris Amerika seperti Jenderal (Purn) Mike Jackson (pemimpin pasukan Inggris saat menyerbu Irak), Jenderal (Purn) Tommy Franks (pemimpin Delta Forces saat Operasi Badai Gurun), Jenderal (Purn) Peter Pace (mantan Jenderal US Marine dan Kepala Staf Gabungan US) serta mahasiswa dari Universitas Dallas, dalam acara talk show di TV ABC 13, Texas yang bekerjasama dengan Universitas, Dallas, Texas tahun 2015 lalu bisa menjadi bukti jika militer Indonesia sangat diperhitungkan. Dan ketiga-tiganya menyatakan jika tidak lama lagi militer Indonesia akan menjadi kekuatan militer terbesar dan tertangguh di dunia.
Secara terang-terangan ketiga jenderal itu mengungkapkan jika Amerika akan berpikir seribu kali bila ingin berperang dengan Indonesia. Secara sportif Tommy Franks mengakui jika ‘kekalahan’ Amerika dalam perang Vietnam serta Perang Korea tidak terlepas dari peran Indonesia yang telah dianggap sebagai mentornya perang gerilya. Dan Franks pasti tidak bermaksud basa-basi, karena faktanya kini militer Indonesia diminta sebagai guru bagi militer di berbagai Negara Asia dan Afrika.
Sementara Jenderal Peter Pace secara jujur mengakui jika anak buahnya sering kewalahan menghadapi militer Indonesia disaat melakukan latihan militer bersama. Bahkan secara mengejutkan Peter Pace saat itu menyatakan jika saat ini Marinir Indonesia masuk kategori Marinir 3 besar di dunia. Pace saat itu juga mengungkapkan jika TNI memiliki pasukan yang mempunyai kualifikasi terlengkap di dunia yakni Paskhas AU.
Pertanyannya apa korelasinya dengan China ?, Setelah hegemoni Amerika sebagai global corp (polisi dunia) melalui doktrin ‘American First’ meredup. Kini justru China adalah negara satu-satunya yang bersifat offensive dan agresif baik melalui kekuatan ekonominya untuk menunjang keinginannya menjadi emporium baru. China sepertinya telah bertransformasi dari negara yang sosialis komunis menjadi kapitalis yang imperialis. Seperti misalnya China yang tidak pernah lelah untuk berusaha melakukan ‘aneksasi’ terhadap Taiwan dengan menggunakan klaim sejarah jika Taiwan adalah bagian dari China meski sempat melepaskan diri di bawah Jenderal Chiang Kai Shek.
Maka saat ini kita juga harus mengukur matter of intention (ketulusan niat), dari Rezim Singkek Xi Jinping dalam menjalin hubungan dengan negara kita, apakah kita ini dianggap sebagai mitra, sahabat atau justru rival. Bila kita dianggap sebagai sahabat, kenapa China tidak pernah mau berhenti untuk menjaili Indonesia dengan mengklaim jika Natuna adalah miliknya dengan argumentasi yang sak karepe dewe (tidak wajar). Tiongkok selalu menganggap jika Natuna masuk teritorialnya berdasarkan klaim nine dush line (sembilan garis putus-putus) yang membentang sejauh 2000 KM dari China daratan. Klaim historis ini juga muncul sejak tahun 1947, ketika China masih berada dibawah kekuasan Partai Koumintang
Padahal sesuai dengan ketentuan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), Natuna masuk zona ZEE milik Indonesia. Bahkan bila kita menggunakan prinsip Romawi Kuno, effectif occupation, kepulauan itu mutlak milik Indoensia. Karena dapat dipastikan seratus persen penduduk Pulau Natuna adalah orang Indonesia dan mayoritas adalah etnis Melayu. Artinya Tiongkok ini memiliki tabiat benar-benar ‘dablek’ (bandel), meski tercatat sebagai state of partay (Negara anggota PBB) tetapi tetap tidak mau tunduk dan patuh tehadap hokum internasional dan lebih suka menggunakan argumentasi sendiri dalam mengklaim kepemilikan Pulau Natuna. Dari sikap China itulah kita bisa mengukur, apakah seperti itu caranya bila menganggap kita sebagai negara sahabat ?.
Peningkatan peringkat dan kemampuan militer yang dilakukan oleh Prabowo ternyata memiliki fungsi yang sangat strategis terutama setelah Indonesia membangun pangkalan militer di Natuna. Hal itu membuat China yang menempati peringkat kedua militer di dunia, akan berpikir seribu kali jika ingin melakukan agresi militer ke Indonesia. Hal itu juga diakui oleh beberapa pengamat militer China termasuk media massa setempat jika kekuatan militer Indonesia saat ini harus diperhitungkan. Bahkan seperti dikutip South China Morning Post (SCMP), mantan diplomat Singapura Konsore Mahbubani mengatakan Cina perlu berhati-hati dalam masalah dari kedaulatan atas Kepulauan Natuna di bagian selatan Laut Cina Selatan.
Hubungan antara Indonesia dengan China itu sarat dengan ironi, karena dalam bidang ekonomi kontribusi China terhadap perekonomian nasional juga cukup signifikan. Ketika terjadi resesi ekonomi dunia seperti saat ini, Tiongkok juga bisa dianggap sebagai salah satu ‘dewa penolong’ agar laju perekonomian Indonesia tetap berjalan. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tahun 2021 lalu tercatat total investasi Tiongkok di Indonesia mencapai US $ 2,3 milliar dan menempati peringkat ketiga setelah Singapura dan Hongkong. Investasi China dikenal riil dan bukan hanya sekedar komitmen. Atas kontribusi itulah perekonomian Indonesia masih bisa menggeliat diantara beleitan resesi ekonomi global sebagai dampak dari pandemic Covid 19.
Tetapi yang perlu diingat, meski dikenal ‘ringan tangan’ dalam menanamkan investasi, tetapi tabiat Tiongkok berbeda dengan dua negara itu yang terkenal fine n fun dalam menanamkan investasinya. Investor dari Tiongkok ini terkenal kakean rengkek (qonditionally) yang njlimet diantaranya sesuai dengan ketentuan road and belt iniatif, setiap investasi itu dibarengi persyaratan untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing (TKA) dari China, yang sering memancing polemik. Selain penggunaan TKA bahaya lain adalah proses debt to swabt dan debt to equity bila debitur tidak bisa mengembalikan hutangnya selama masa pay back period terutama untuk proyek-proyek infrastruktur yang tidak feasible. Sehingga memiliki potensi infrastruktur itu akan di take over dan dikuasai oleh investor dari China. Modus itulah yang menjadi indikasi jika China telah menjalankan imperialisme gaya baru untuk mencari koloni baru, dan sejumlah Negara Afrika kini telah terjerat oleh ‘gaya permainan’ China.
Paparan di atas bukan bermaksud hiperbola dan mendaramatisir keadaan. Tetapi lebih sebagai sebuah hipotesa jika startegi Prabowo sebagai Menhan telah tepat, sekaligus mengajak kita untuk berpikir jernih dalam menjalankan hubungan luar negeri. Sebagai negara penganut sistem ekonomi pasar dan terbuka, Indonesia harus membuka diri dengan negara manapun yang memiliki ideologi yang berbeda untuk menunjang kepentingan politik dan ekonomi dalam negeri. Tetapi harus tetap menjalankan prinsip kehati-hatian agar kita tidak terjebak ke dalam imperialisme baru yang dulu ditentang habis-habisan oleh Soekarno.(***)