- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Single Bar Dan Buruk Muka Cermin Dibelah

Ilustrasi (rep)

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Untuk menghabisi lawan politiknya, Gubernur Romawi, bernama Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43) telah mengeluarkan ‘fatwa hukum palsu’ untuk menghukum mati dua serdadu yang dianggap sebagai pengkhianat. Fatwa, fiat justicia ruat caelum (tegakan hukum sekalipun langit runtuh) itu dijadikan dalil pembenaran oleh Piso untuk menghukum dua orang serdadu yang sempat mengambil cuti yang kemudian difitnah dan dibunuh, karena ditengarai mengetahui banyak kebobrokan Piso. Meski Piso sempat ragu, namun dia menganggap jika, apapun yang telah menjadi suatu keputusan hukum tetap harus dilaksanakan.

Semboyan retoris yang manipulatif itu kemudian melegenda. Kaisar Roma, Ferdinand I yang dikenal tiran juga suka mengutip ungkapan Piso, bahkan kemudian menambahi sebagai semboyan kerajaan menjadi, fiat justitia et pereat mundus (tegakkan keadilan agar langit tidak runtuh). Setelah sekian lama tenggelam, semboyan itu kembali muncul dan menjadi melegenda setelah sastrawan Inggris William Watson (1601) mengutip kembali semboyan itu dalam karyanya, Ten Quodlibetical Quatations Concerning Religion And State. Yang kemudian diikuti oleh William Pryne dan Nathanial Ward dalam karya masing-masing. Kini semboyan itu banyak dikutip oleh para akademisi dan praktisi hukum.

Dalam dunia hukum  di tanah air saat ini, para hamba wet juga tengah gelisah akan munculnya ‘fatwa hukum  palsu’  yang akan digunakan pihak tertentu untuk memberangus  berbagai macam organisasi profesi (khususnya organisasi advokad) demi tegaknnya kewibawaan semu berupa single bar yang akan dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).  Terbitnya fatwa atau ketentuan itu, saya  anggap  dan kualifikasikan sebagai ‘fatwa palsu’ baik dalam persepektif kausalitas maupun kontekstualitas.

Dalam persepektif kontektualitas sebagai negara penganut demokrasi, munculnya multi bar adalah sebuah keniscayaan. Setiap  warga negara secara bebas berhak untuk  melakukan interprestasi  dengan pendekatan terbuka tentang sebuat norma sekaligus mengekspresikannya. Terkait  organisasi profesi ini pendekatan  yuridis normatifnya adalah Pasal  28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD NRI 1945)  yang mengamanatkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”  kebebasan berpendapat di Indonesia sudah merupakan sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi. Maka secara teoritis,  selama eksistensi mereka tidak  tergantung dari APBN, pemerintah tidak berhak membatasi kebebasan masyarakat untuk  berserikat. Selama itu untuk tujuan yang baik dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku.

Pembatasan dan pelarangan itu merupakan bentuk pelanggaran yang serius sekaligus preseden buruk sebagai negara demokrasi yang berlandasakan hukum,  sesuai pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Potensi terjadinya pelanggaran hukum itu akan semakin bertambah karena akan  menghalangi kesempatan mahasiswa hukum untuk memperoleh pekerjaan  seperti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara  berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak  bagi kemanusiaan,”. Karena terbilang  sulit akan ada organisasi advokad yang bisa menyelenggarakan PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokad) untuk memfasilitasi sekitar 13.000 lulusan fakultas hukum dengan fasilitas dan harga yang terjangkau setiap tahunnya.

Sementara dalam persepektif kausalitas, munculnya multi bar (banyaknya organisasi advokad) itu adalah residu dari adanya friksi internal organisasi profesi yang berhulu dari perbedaan tafsir, kekecewaan pengurus karena  persoalan tata kelola  keuangan anggota  hingga perbedaan kepentingan diantara para pengurus termasuk kemungkinan adannya perbedaan orientasi politik. Artinya munculnya multi bar ataupun organisasi sempalan hingga pembentukan organisasi baru merupakan konsekuensi logis jika  ada organisasi profesi yang gagal  dalam  membentuk organisasi yang kapabel dan kredidel.

Jika mereka mampu membuat organisasi profesi yang profesional, kapabel dan kredibel,  sekaligus mampu  mewadahi dan memfasilitasi   kepentingan semua advokad, mustahil mereka ditinggalkan. Bila kita menggunkan logika terbalik, bila mereka mampu menunjukkan kinerja yang baik dan mampu memfasilitasi  kepentingan banyak pihak,  niscaya tanpa diminta, para advokad itu akan memilih organisasi profesi yang terbaik.  Sebagai bagian dari kredit poin profesi yang mereka tekuni. Apalagi  secara teoritis  keberadaan single bar itu akan memudahkan pengelolaan dan pengawasan terhadap profesi advokad. Sebaliknya jika mereka sudah terlanjur keecewa dengan cara apapun mereka pasti enggan untuk kembali.

Maka menurut saya sangatlah naïf, dan childist  jika masih ada pihak-pihak yang masih merengek-rengek berharap munculnya instrument atau ‘fatwa hukum palsu’ yang bisa digunakan untuk menghimpun para advokad menjadi satu wadah. Analoginya sangat sederhana, sangatlah lucu ketika Negara Rusia meminta resolusi dari PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) untuk menyatukan kembali 15 negara Federasi Rusia yang telah memisahkan diri (disintegrasi) seperti Armenia,  Belarus, Georgia, Ukraina dll, sementara perpisahan itu diakibatkan oleh salah tata  kelola kebangsaan yang diintrodusir oleh Program Glasnost dan Perestroika ketika era Presiden Gorbacev. Begitu juga halnya dengan disintegrasi  yang terjadi di negara Yugoslavia.

Jadi tidak sepantasnya jika ada pihak yang  masih menghendaki adanya single bar, hanya berbekal obsesi  untuk membangun kewibawaan semu. Untuk mewujudkan advokad sebagai profesi officium nobile (profesi yang terhormat) tidak harus melalui wadah tunggal. Tetapi tergantung bagaimana cara para advokad itu memberikan jasa layanan hukum yang profesional sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Karena mustahil akan ada proses law enforcement untuk mencapai kondisi persamaan hukum (equality before the law) tanpa adanya kontribusi dari advokad yang merupakan salah satu elemen penting catur wangsa penegakkan supremasi hukum.

Memaksakan adanya instrument hukum untuk memberangus organisasi profesi lain tak ubahnya seperti fatwa hukum palsu seperti yang digunakan oleh Piso untuk menghabisi orang-orang yang telah mengetahui kebobrokannya. Suatu kondisi yang bisa dianalogikan dengan pepatah, buruk muka cermin dibelah. Semua pihak mestinya belajar dari kasus Miftah, ketika diberi panggung tak perlu  menghina atau menistakan kelompok lain. Bila tidak ingin akan  ada  yang terpapar karma.

Sementara dengan multi bar akan membuka ruang partisipasi masyarakat yang lebih luas untuk memberikan jasa layanan hukum, tentu dengan syarat harus bersikap professional. Kesadaran hukum di masyarakat pasti akan meningkat jika ada pendampingan dari para advokad, sehingga masyarakat paham tentang hukum formal maupun prosedural sesuai dengan KUHAP maupun KUHP. Terutama untuk kasus-kasus yang masu kategori pro bono.(***)

  • Penulis adalah Direktur Eksekutif Kajian Poleksosbudkum Cakra Emas Syndicate

 

 

 

 

 

 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan