- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Semua Berawal Dari Bola

ilustrasi (rep)

Oleh : Gugus Elmo Rais

Permainan  sepak bola yang melibatkan 22 orang pemain untuk memperebutkan satu bola selama dua babak (2 x 45) menit  ini berasal Britania Raya tahun 1863. Teknik, kolektivitas, agresifitas serta endurance menjadi faktor determinan suatu klub untuk memperoleh kemenangan. Kini pengurus PSSI mencoba melakukan revolusi  dengan menunjuk  coach Shin Tae Yong (STY) untuk mendongkrak prestasi PSSI yang sudah lama tenggelam. Setelah sempat nyaris lolos di ajang Piala Dunia 1986 di Meksiko, sayang Indonesia kala itu ditekuk Korsel. Pasukan Garuda juga sempat berhasil masuk semi final Asian Games 1986 di Korsel dan lagi-lagi Indonesia dipecundangi Korsel 0-4. Pasca dua ajang itu prestasi PSSI terus tenggelam meski sesekali menjuarai ajang kelompok umur.

Uniknya, alih-alih olah raga paling digemari di dunia ini mampu memberikan kegembiraan serta kebahagiaan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Justru barangkali hanya di Indonesia, sepak bola mampu merubah konstelasi politik secara drastis. Pra FIFA melakukan banned terhadap PSSI untuk menggelar ajang piala dunia, U- 20, tak ada satupun pihak yang meragukan ‘kemesraan’ hubungan antara Presiden Joko Widodo dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang dianggap sebagai ‘adik ideologi’ serta calon penerus Jokowi. Apalagi keduanya lahir dari rahim politik yang sama yakni PDIP.

Tetapi pasca Gubernur Bali Wayan Koster  dengan alasan kemanusiaan menolak kehadiran Timnas Israel sebagai salah satu kontestan World Cup U -20, konstelasi politik mulai ambyar dan berubah haluan. Sayangnya, Ganjar Pranowo  juga ikut cawe-cawe menolak kehadiran negeri Zionis itu. Praktis, Jokowi sebagai mentor merasa kecewa berat dengan berbagai manuver itu. Dalam suatu kesempatan Jokowi sampai mengaku jika selama satu minggu perasaannya menjadi tak karuan karena hajatan nasional itu harus batal oleh penolakan sejumlah pihak termasuk  pernyataan dua orang tokoh itu.

Beruntung nama baik Indonesia di mata FIFA sedikit terselamatkan oleh terobosan Ketum PSSI Erick Tohir yang mampu menggelar FIFA matchday dengan mendatangkan Timnas Palestina dan Timnas Argentina yang memiliki peringkat 1 dunia dengan sukses. Dalam ajang itu Jokowi nonton pertandingan dengan didampingi oleh Ketum Gerindra sekaligus Capres unggulan Prabowo Subianto. Pagelaran yang sukses itu berbuah dengan ditunjuknya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U 17.

Setelah pegalaran FIFA matchday itu sukses, memang secara gesture tidak terlihat perubahan pendulum politik, tetapi ada fenomena tak terbantahkan hubungan Jokowi dengan Ganjar maupun Jokowi dengan PDIP menjadi dingin yang diikuti oleh pergerakan para relawan Pro Jokowi yang secara perlahan bergeser merapat ke Prabowo. Karena melahirkan asumsi manuver Ganjar dan Koster itu sepengetahuan DPP PDIP. Walaupun sampai saat ini tidak ada konfirmasi dari Kebagusan.

Dinginnya hubungan itu, meski tidak bisa terlepas dari berbagai faktor misalnya cara PDIP yang terkesan kaku dalam menjalin komunikasi dengan partai lain termasuk Partai Golkar, anggota koalisi yang semula bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu yang dikomandoi oleh  PDIP, tetapi secara perlahan ambyar, seperti partai PSI yang mulai rajin main mata dengan Gerindra karena merasakan perbedaan rangkulan yang lebih hangat. Dan puncaknya adalah deklarasi dukungan 4 partai besar seperti Golkar, PAN, PKB  serta Gerindra untuk mendukung Prabowo sebagai Capres 2024. Itupun belum terhitung Ormas-ormas yang menjadi underbow ketiga partai itu bahkan Ormas-ormas relawan Jokowi yang jumlahnya ratusan.

Deklarasi itu menjadi sebuah konfirmasi, bahwa Jokowi merasa lebih nyaman  dengan Capres Prabowo ketimbang Capres lainnya termasuk Ganjar Pranowo. Dengan jam terbang dan pengalaman yang lebih panjang serta lima tahun jalan bersama, Jokowi pasti yakin  dengan kemampuan dan loyalitas Prabowo terhadap republik ini sekaligus akan memperoleh  garansi terhadap sustainability kebijakan yang selama ini dijalankannya. Keduanya tentu sudah sering bertemu untuk mendisuksikan kebijakannya, dibandingkan dua kandidat unggulan lainnya.

Dan yang tak kalah penting Jokowi pasti merasa lebih nyaman dengan Prabowo, karena Jokowi bisa menempatkan diri sebagai mentor dan king maker oleh kubu Prabowo ketimbang dengan PDIP. Bila Jokowi mendukung Ganjar, sampai kapanpun Jokowi tetap akan dianggap sebagai ‘petugas partai’. Padahal insting dan naluri politik Jokowi jauh lebih mumpuni ketimbang para petinggi partai. Perasaan dikerdilkan itu pasti akan terus mengganggu benak Jokowi.

Benefit politik dari pengelolaan sepak bola itu juga dinikmati oleh Erick Tohir. Dengan berbagai terobosan yang dilakukan Erick Tohir memperoleh margin politik yang sangat besar, sebagai salah satu tokoh  yang sangat berpengaruh di Indonesia. Apalagi dengan bekal logistik yang memadai. Maka tak mengherankan jika Erik Tohir banyak disebut sebagai calon wakil presiden (Cawapres) yang paling diunggulkan. Personality yang dimilikinya juga cukup bagus, karena bisa menjalin komunikasi dengan semua pihak serta sosoknya  yang merepresantasikan generasi millennial (Generasi-Z).

Namun benefit politik itu tidak dijaga secara baik oleh Erto karena membuat blunder dengan mengomentari kondisi Jakarta Internasional Stadium (JIS) yang dianggap tidak memenuhi standar FIFA terutama terkait rumput lapangan sehingga tidak layak untuk dijadikan ajang pagelaran Piala Dunia U-17. Meski pernyataan itu memang sesuai dengan otoritasnya sebagai Ketum PSSI, tetapi publik secara otomatis akan menuduh Erto bagian dari kelompok yang tidak suka dengan Anies Baswedan sebagai sosok penggagas JIS sekaligus salah satu Capres unggulan.

Pernyataan Erto  langsung direspon publik, dan menganggap jika Menneg BUMN itu menggunakan isu JIS sebagai senjata politik untuk mendeligitimasi kredibilitas serta aksesbilitas Anies sebagai salah satu calon yang sangat diperhitungkan. Apalagi dikemudian hari FIFA justru memberikan restu JIS merupakan salah satu venue untuk penyelenggaraan  Piala Dunia U 17. Maka sekali lagi isu sepak bola ini telah merubah konstelasi politik di republik ini. Dalam beberapa waktu terakhir elektabilias Erto mengalami stag, tentu publik pendukung Anies yang semula netral akan menganggap Erto juga sarwa kene.

Deskripsi diatas  memperlihatkan jika sepak bola meski sekedar sebuah jenis permainan tetapi di republik bisa memiliki makna yang sakral. Karena pertandingan sepak bola (meski masih dalam kategori kelompok umur) menurut saya sebagai penikmat sepak bola non fanatik adalah tontonan sufi. Sepak bola  bisa menyatukan gairah dan harapan suatu bangsa sekaligus menjadi media eskpresi dari politik identitas apapun latar belakang tim sepak bola itu sendiri. Sehingga setiap pertandingan sepak bola terutama adalam event-event besar seperti Piala Dunia, Piala AFF,  Piala Eropa dll merupakan akumulasi dari doa dan harapan setiap bangsa yang diwakili oleh Timnas masing-masing.

Kemenangan sebuah Timnas akan selalu melahirkan euphoria yang terkadang menjadi sebuah kompensasi dari tekanan sosial, ekonomi termasuk juga politik. Sebaliknya kekalahan Timnas bisa dianggap sebagai aib yang memalukan. Bahkan  tidak jarang tim sepak bola bisa menjadi simbol perlawanan dari kekuatan yang inferior terhadap kekuatan yang superior dan hegemonik. Sebutlah tim profesional sekelas Barcelona ternyata  juga menjadi simbol perlawanan dari Suku Basqeu  maupun Catalan di Provinsi Catalonia  untuk melawan hegemoni Madrid, setelah beberapa kali upaya referendum  untuk memerdekakan diri dari Spanyol menemui kegagalan.

Begitu juga halnya, setelah kalah perang  melawan Kerajaan Inggris  dalam memperebutkan Pulau Fakland atau yang lebih dikenal dengan Pulau Malvinas (1982), junta militer dibawah komando Leopoldo Galtieri seperti kehilangan muka. Apalagi setelah Argentina menderita kerugian yang cukup parah dengan tewasnya 649 pasukannya serta tertangkapnya 11.313 tentaranya. Membuat negeri Evita Peron itu harus terisolasi dari pergaulan internasional terutama oleh negara-negara anggota persemakmuran.

Dan ternyata kesempatan balas dendam Argentina  terhadap Inggris itu bisa dilakukan melalui sepakbola yakni ketika Piala Dunia 1986 di Meksiko, saat itu Maradona cs bisa membungkam Inggris dengan skor (2-1) salah satunya melalui ‘Gol Tangan Tuhan’. Sepak bola  secara tidak langsung kembali menjelma menjadi senjata politik identitas Bangsa Argentina.

Alasan itulah yang  bisa menjelaskan kenapa seluruh penggemar sepak bola di Indonesia merasa terpukul (termasuk saya) dengan pencopotan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U 20. Pencopotan itu tak ubahnya seperti palu gada yang menghancurkan mimpi-mimpi Garuda muda. Maklum ini adalah kesempatan langka yang sulit terulang bisa berlaga di pentas dunia, hanya karena memiliki home advantage  (keuntungan sebagai tuan rumah) tanpa harus bersusah payah melalui babak kualifikasi.(***)

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan