Sejumlah Kementerian Diduga Terlibat Jual Beli WTP

Pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bukan jaminan tak ada korupsi di kementerian dan lembaga pemerintahan serta pemerintah daerah. KPK telah membuka mata semua pihak bahwa predikat yang menjadi kebanggaan bagi sebuah lembaga ternyata bisa diperoleh dengan lembaran rupiah atau dolar.
Kasus suap di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) bukti nyata opini laporan keuangan tahun 2016 di kementerian ini ditingkatkan lewat permainan kotor dari Wajar Dengan Pengecualian (WDP) ke WTP. Diduga bukan hanya Kemendes saja yang terlibat jual beli WTP, tapi patut dicurigai ada sejumlah kementerian lain yang memperoleh predikat WTP secara tidak wajar.
Pihak KPK kini sedang mendalami adanya dugaan permainan opini itu disejumlah kementerian khususnya mereka yang memperoleh predikat WTP. Sejumlah bukti terkait permainan okmun BPK telah disita KPK untuk mengungkap misteri di balik WTP. Ada empat opini yang bisa diberikan BPK yakni, yakni WTP/unqualified opinion, WDP/qualified opinion, Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau Disclaimer opinion, dan Tidak Wajar (TW) atau adverse opinion.
Katanya opini WTP diberikan dengan kriteria sistem pengendalian internal memadai dan tidak ada salah saji yang material atas pos-pos laporan keuangan. Status WDP diberikan dengan kriteria sistem pengendalian internal memadai, namun terdapat salah saji yang material pada beberapa pos laporan keuangan. Laporan keuangan dengan opini WDP dapat diandalkan, tetapi pemilik kepentingan harus memperhatikan beberapa permasalahan yang diungkapkan auditor atas pos yang dikecualikan agar tidak mengalami kekeliruan dalam pengambilan keputusan.
Lalu untuk opini TMP diberikan BPK apabila terdapat suatu nilai yang secara material tidak dapat diyakini auditor karena ada pembatasan lingkup pemeriksaan oleh manajemen sehingga auditor tidak cukup bukti dan atau sistem pengendalian intern yang sangat lemah. Dalam kondisi demikian auditor tidak dapat menilai kewajaran laporan keuangan. Opini TW yang diberikan BPK jika sistem pengendalian internal tidak memadai dan terdapat salah saji pada banyak pos laporan keuangan material.
Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu sempat berang terhadap kementerian/lembaga (KL) negara yang tidak mendapatkan predikat opini WTP dari BPK. Menurut dia seharusnya mereka wajib mendapatkan WTP dalam mengelola uang rakyat.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komnas HAM, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, TVRI, Badan Keamanan Laut, Badan Ekonomi Kreatif. Semua bentuk task force komunikasi dengan BPK. Begitu kata Jokowi di Istana Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat pada Selasa 23 Mei 2017. Lembaga yang predikat WDP ikut diminta untuk mendapatkan WTP seperti lembaga lainnya. Ucapan Jokowi telah membuat pejabat di Kemendes tepacu untuk merogoh isi kantong guna mendapatkan predikat WTP dari BPK.
Memang di atas permukaan patut dibanggakan bahwa pemerintah pusat mendapatkan predikat opini WTP atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2016 dari BPK. Pemberian opini atas LKPP itu merupakan hasil pemeriksaan pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN 2016. Predikat WTP merupakan untuk pertama kali setelah 12 tahun LKPP tahun 2014. Namun di balik ini semua ternyata terdapat permainan sangat kotor dan memalukan. Apalagi hanya beberapa hari setelah Ketua BPK, Moermahadi Soerja Djanegara menyampaikan laporan hasil auditor yang membanggakan kepada Presiden Jokowi di Istana Bogor penyidik KPK menangkap pejabat auditor BPK atas kasus jual beli WTP.
Opini WTP atau WDP yang diberikan BPK kepada sebuah lembaga belum bisa dikatakan lembaga itu bersih dari masalah. Kita mengambil contoh beberapa tahun lalu BPK memberikan opini WDP pada laporan keuangan Kemenpora tahun 2010 dan 2011. Opini WDP paling bagus setelah WTP diberikan karena sebagian besar informasi dalam laporan keuangan Kemenpora tahun 2010 dan 2011 dinilai bebas dari salah saji material.
Belakangan diketahui terjadi penyelewengan anggaran yang cukup signifikan di Kemenpora pada tahun buku 2010 – 2011. Hasil penyidikan KPK tahun 2013 menyimpulkan telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 471 miliar dalam proyek pembangunan sarana olahraga terpadu di Hambalang Bogor yang dilaksanakan Kemenpora dalam kurun 2010 – 2011.
Harus diakui masih banyak contoh yang menunjukkan ketidaksinkronan antara opini audit yang diberikan BPK dengan kondisi yang sebenarnya. Jadi wajar kemudian muncul dugaan pemberian opini oleh BPK telah diperjualbelikan.
Kesempatan ini dimanfaatkan pihak kementerian, lembaga pemerintah, pemerintah daerah (pemda), dan BUMN yang menginginkan agar laporan keuangan institusinya mendapat predikat WTP atau sekurangnya WDP. Bagi mereka predikat WTP akan memberikan kebanggaan dan menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah institusi dalam mengelola anggarannya.
Seiring waktu, satu persatu kasus jual beli opini terungkap. Sebagai catatan pada 2010, dua auditor BPK Provinsi Jawa Barat, Enang Hernawan dan Suharto ditangkap dan divonis empat tahun penjara. Keduanya dinyatakan terbukti menerima suap sebesar Rp 400 juta dari Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad dengan maksud memberikan opini WTP terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Bekasi tahun 2009.
Pada 2016, bekas auditor BPK Provinsi Sulawesi Utara, Bahar ditangkap dan divonis hukuman 5 tahun 6 bulan penjara karena meloloskan laporan hasil pemeriksaan sejumlah pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Sulut. Pejabat pemkab atau pemkot itu dimintai dana hingga Rp 1,6 miliar.
Terakhir, KPK melakukan operasi tangkap tangan kasus jual beli opini BPK pada Kemendes. Menurut pimpinan KPK opini WTP dari BPK terhadap laporan keuangan Kemendes tahun 2016 diperoleh setelah Inspektur Jenderal Kemendesa Sugito memerintahkan pegawai eselon III Kemendesa, Jarot Budi Prabowo, menyerahkan sejumlah uang kepada auditor BPK.
Auditor BPK Rachmadi Saptogiri dan Ali Sadli ditangkap KPK karena diduga menerima suap dari pejabat Kemendesa adalah Rochmadi Saptogiri. Sebelumnya, awal Mei 2017, uang Rp 200 juta diserahkan terlebih dahulu. Dalam penggeledahan setelah penangkapan, KPK juga menemukan uang Rp 1,145 miliar dan 3.000 dollar AS dalam brankas di ruang kerja Rochmadi. Tujuannya untuk mengubah opini dari WDP menjadi WTP atas laporan keuangan Kemendes tahun anggaran 2016.
Kata Deputi Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Apung Widadi penangkapan pejabat BPK oleh KPK merupakan tamparan keras bagi pemerintahan Joko Widodo. Penangkapan ini terjadi selang seminggu setelah BPK memberikan hasil audit kepada Presiden dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian.
Menurut Apung sejak awal pemerintahan Jokowi harusnya tidak terlalu membanggakan status WTP yang diberikan oleh BPK. Alasannya status WTP memang tidak menjamin pemerintahan bersih dalam tata kelola anggaran. Terbukti banyak kasus korupsi kepala daerah yang ditangani KPK padahal predikat laporan keuangan daerahnya WTP.
Apung mengaku sudah mendengar sejak lama adanya kabar status WTP yang diperjualbelikan oleh oknum di BPK. Fitra pun mendesak adanya reformasi internal di BPK sendiri. aTIM