Relasi Kuasa: Atasan Harus Tanggung Jawab

Oleh : Kurnia Zakaria
Menurut saya bahwa relasi kuasa (power relation) adalah hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya berdasarkan ideologi tertentu. Kekuasaan (power) adalah kompleks dan abstrak yang secara nyata mempengaruhi kehidupan mereka. Kekuasaan sebagai kemampuan pemangku kepentingan untuk menentang atau mendukung individu atau kelompok lainnya.
Dalam struktur organisasi bawahan/anak buah/anggota harus menerima perintah atasan/pemimpin, tanpa perlu mempertimbangkan/berpikir apa benar atau salah, prosedur atau melanggar, apalagi Eliezer (RE) berpangkat paling rendah (Bharada/Prajurit Dua) level Bintara level Bawah harus patuh, taat, dan tunduk atas perintah atasannya/komandannya FS berpangkat Perwira Tinggi Bintang Dua (Irjen/Mayjen), Perintah Tembak dan Siap Laksanakan tentu saja harus ditanggung RE tanpa bantahan, bertanya, apalagi menolak tentu saja ada konsekuensi.
Apalagi FS sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Internal Polri yang dianggap sebagai komandan pihak penuntut umum dan sekaligus hakim dalam pelanggaran kode etik dan keprofesional Polri sendiri. Sedangkan RE dalam hal pemeriksaan psikologis klinis mempunyai kecenderungan “anak baik dan penurut” serta taat patuh atas nasehat/perintah “pemimpin dan orang yang dihormatinya”. Ditunjang latar belakang keluarga RE dari kalangan menengah ke bawah dan punya ambisi menjadi kebanggaan orang tuanya.
Dalam memberi perintah RE dalam keraguanpun tetap melaksanakan perintah tanpa bisa ada penolakan walaupun sempat meminta “waktu menyiapkan mental siap melaksanakan” sehingga hasilnya kurang maksimal karena tidak sempurna tidak cukup satu peluru “mengeksekusi korban”. Hasil pemeriksaan forensik hingga dua kali dilakukan bahwa luka dibelakang kepala mengenai otak yang membuat fatal kematian korban, sedangkan luka di dada hanya “mengakibatkan penderitaan korban dalam keadaan keluar darah banyak/rusaknya peredaran darah dan kekurangan oksigen/sulit bernafas”.
Pemberi perintah FS harus menerima tanggung jawab Komando. Jiwa korsa polisi berdampak positif dimana solidaritas sepenanggungan sependeritaan, tetapi berefek negatif juga sesama polisi harus bisa menutupi kesalahan dan membiarkan/terbiasa melakukan pemyimpangan tugas dan etika. Paling mudah dalam hal kenaikan pangkat dan pemilihan tugas sudah bukan rahasia lagi “ ada tempat ada harga”. Selaain itu faktor kedekatan personal dan keluarga juga mendukung kesuksesan seseorang. Pengalaman dan prestasi kerja sebatas pertimbangan tetapi tideak menentukan. Hukuman Penegakan disiplin dan etika polisi paling berat adalah hukuman kurungan Pemecatan Tidak Hormat selain demosi dan penundaan karir dan potongan tunjangan. Tetapi belum cukup dapat membuat “Penjeraan”.
Saya berpendapat kemungkinan FS kemungkinan kecil vonis hakim menjatuhkan hukuman maksimal pasal 340 KUHP yaitu hukuman mati karena unsur perencanaan pembunuhan J (Yosua Hutabarat) tidak sempurna karena FS tidak bisa dalam keadaan tenang tetapi unsur emosional dan berpikir tidak jernih cara menghilangkan jejak. Kemungkinan unsur “pembiasaan dan pola kerjanya selama ini sesuai kinerja karir polisi” kurang perhitungan terencana.
Tetapi saya justru menyarankan agar vonis Polisi yang menjadi “backing” pelindung sindikat peredaran Narkoba dan perjudian harus mendapatkan sanksi Maksimal kalau perlu di hukum mati dan segera harus dieksekusi karena UU KUHP Tahun 2022 bila terpidana mati tidak segera dieksekusi dalam waktu 10 tahun hukumannya dapat berubah menjadi hukuman seumur hidup. Karena korban Narkoba dan Judi bukan hanya diri sendiri dan keluarga tetapi mungkin kerabat dan masyarakat menjadi korban tidak langsung. Perekonominan negara hancur dan moralitas rusak serta hancurnya generasi muda Indonesia.
FS kalau pintar aksi pembunuhan Yosua kenapa harus terjadi di rumah dinas dan seperti kebingungan kurang perencanaan setelah RE dalam menembak Yosua tidak sempurna. Seharusnya FS belajar bagaimana kasus “Penghilangan aktivis yang tidak jelas nasib dan mayatnya”. Tidak ada pihak yang bisa disalahkan dan tidak ada pihak yang merasa bertanggung jawab, korban diculik dianiaya dan saksi mata yang ikut mengalami tapi pelakunya tidak diketahui hingga sekarang.
Jadi seperti kasus Pembunuhan Wartawan Udin di Yogya ada pelakunya tetapi tidak bisa diketahui siapa yang bertanggung jawab dan hanya diduga-duga dalangnya adalah yang dendam atas tulisan Udin di harian Bernas. Sedangkan yang kurang sempurna seperti kasus pembunuhan Munir di pesawat Garuda ke Belanda dimana pelakunya jelas orang yang selalu ada berdua dengan korban selama penerbangan walaupun atas perintah atasan institusi negara tetapi karena tidak ada bukti dan ada perlindungan kekuasaan menjadi “P dikorbankan”. FS kemungkinan paling berat dihukum seumur hidup karena selain aktor intelektual juga menyebabkan korban lainnya sesama rekan polisi dan anak buah didakwa penghalangan/perintangan penydikan.
Tetapi unsur dakwaan pasal 338 KUHP menurut saya jelas terbukti bila peluru dikepala sama dengan senjata api yang dipakai FS menembak ke arah tembok. Tetapi menurut Kurnia mungkin terdakwa RE tetap dihukum penjara minimal di atas 4 tahun karena terbukti menembak korban atas perintah FS.(***)
- Penulis adalah praktisi dan akdemisi hukum dari Universitas Indonesia