Oleh: Rd. Yudi Anton Rikmadani
Lembaga Bantuan Hukum Prof. Gayus Lumbuun (LBH PGL), menilai kondisi
penegakan hukum di Indonesia secara umum dapat diibaratkan sebagai benang kusut
yang disebabkan “excess authority” dan “Judicial Coruption” yang telah membudaya
dan pola berpikir aparat penegak hukum, sehingga harus dilepaskan dari kultur lama.
Terkait viktimologi (Korban) sebagai bentuk Hak Asasi Manusia (HAM) yang
merupakan hak-hak melekat pada manusia, mencerminkan martabatnya, yang harus
memperoleh jaminan hukum
Hal tersebut dapat terjadi karena penegakan hukum tak berjalan sesuai dengan
harapan sehingga, masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka
sendiri. Apalagi di era digital, dimana rezim tekhnologi begitu cepat terkonfirmasi,
melalui jejaring sosial media. Bahkan fenomena terjadi, penegak hukum yang
seharusnya melindungi hak asasi manusia warganya, malah berbuat sebaliknya.
Penegakan hukum seharusnya dilakukannya sesuai proses, dengan upaya
penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan
ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik
oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai
tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang. Seperti pendapat Cicero, yaitu “ubi
societas ibi ius”, berarti “di mana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Masyarakat
tidak mungkin hidup tanpa hukum, karena norma-norma hukum itulah yang mengatur
kehidupan manusia dalam bermasyarakat.
Oleh karena itu penegakan hukum yang berkualitas tidak akan terwujud jika
aparat penegak hukumnya melakukan pelanggaran terhadap norma-norma yang
berlaku. Salah satu penyebabnya adalah budaya hukum di Indonesia masih jauh dari apa
yang seharusnya dicita-citakan para pendiri bangsa mengenai negara hukum
(rechtsstaat), dikarenakan budaya hukum di Indonesia saat ini adalah sebagai hasil dari
sistem hukum yang tidak efektif, sehingga masyarakat menganggap hukum dipatuhi
karena takut oleh penegak hukum, bukan karena kesadaran diri sendiri.
Catatan Sebagian Kasus Victimologi 2022
1. Korban Salah Tangkap
Aidil Aditiawan (33) mengaku menjadi korban dugaan salah tangkap dan
penyiksaan yang dilakukan oleh anggota polisi dari Polsek Seberang Ulu (SU) I
Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Akibat intimidasi yang diberikan, korban
mengaku mengalami siksaan fisik maupun fisik.
(Sumber: https://daerah.sindonews.com/read/868403/720/babak-belur-jadi-korbansalah-tangkap-polisi-aidil-lapor-ke-propam-polda-sumsel-1661605705).
2. Penggunaan Senjata Api oleh POLRI
Selama bulan Juli 2021 – Juni 2022, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat terdapat sekitar 463 peristiwa tindakan
penggunaan senjata api yang dilakukan oleh Polisi Republik Indonesia (Polri).
Institusi pelaku dalam 100 peristiwa penggunaan senjata api dilakukan oleh
Kepolisian Sektor (Polsek), 330 peristiwa dilakukan oleh Kepolisian Resor
(Polres), dan 33 peristiwa dilakukan oleh Kepolisian Daerah (Polda). Korban dalam
tindakan ini sebanyak 680 orang, dengan rincian 640 orang luka dan 40 orang
tewas. (Sumber: https://kontras.org/lembar-fakta/)
3. Rekayasa Kasus oleh Polri
Kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Ferdy Sambo, Mantan Kepala
Divisi Propam Polri, kepada Brigadir J, yang masih dalam proses penyidikan
hingga saat ini, mulai memunculkan berbagai fakta baru terkait adanya dugaan
rekayasa kasus. Dalam upaya pengungkapan rekayasa kasus tersebut, terdapat 35
anggota polisi yang juga turut terlibat dalam rencana pembunuhan Brigadir J.
Bahkan, sebelum fakta terbaru ini dibeberkan ke publik, narasi keliru terkait kasus
pembunuhan berencana ini didengungkan oleh Kapolres Jakarta Selatan, Humas
Polda Metro Jaya, hingga Kompolnas. Adanya usaha menutup-nutupi fakta
rekayasa kasus secara sistemik dan terstruktur ini menunjukkan ruang
permasalahan besar di dalam institusi Kepolisian, khususnya berkaitan dengan
pengawasan. (Sumber: https://kontras.org/lembar-fakta/)
4. Bebasnya Nikita Mirzani oleh Pengadilan Negeri Serang Nomor
853/Pid.Sus/2022 PN.Srg tanggal 29 Desember 2022.
Kasus pencemaran nama baik yang menjerat Nikita Mirzani bermula dari sebuah
laporan terkait pelanggaran UU ITE yang dilayangkan Dito Mahendra ke Polresta
Serang Kota pada Mei 2022. Sejumlah aparat kepolisian sempat melakukan upaya
jemput paksa terhadap Nikita di kediamannya di Pesanggrahan, Jakarta Selatan,
pada 15 Juni sekitar pukul 03.00 dini hari.
5. Kejaksaan Negeri Serang Tidak Profesional
Jaksa Penuntut Umum Serang, seharusnya dapat menghadirkan Dito Mahendra ke
persidangan. Bahkan sekarang Kejaksaan Negeri Serang telah membuat
laporan Polisi di Polresta Serang Kota.
(Sumber: https://regional.kompas.com/read/2022/12/30/175811578/kejari-serangresmi-laporkan-dito-mahendra-ke-polisi-karena-halangi-proses)
6. Hakim Agung Terjerat Korupsi
Operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 10
orang dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung, semakin
mencoreng dunia peradilan. Dari sepuluh orang tersebut, satu di antaranya
merupakan Hakim Agung, yakni Sudrajad Dimyati. Peristiwa ini kian
memperlihatkan kondisi lembaga kekuasaan kehakiman benar-benar
mengkhawatirkan. Kasus ini juga setidaknya menambah panjang daftar hakim yang
terjerat korupsi. Bisa dibayangkan, berdasarkan data KPK, sejak lembaga
antirasuah itu berdiri tak kurang 21 hakim terbukti melakukan praktik lancung. Ada
sejumlah poin yang penting untuk diurai guna menunjukkan mengapa kondisi
tersebut bisa terjadi. (Sumber: https://antikorupsi.org/id/hakim-agung-terjeratkorupsi-momentum-bersih-bersih-mafia-peradilan)
7. Kebocoran Data Pribadi
Munculnya dugaan kebocoran data 1,3 miliar SIM Card hingga 105 juta data
penduduk Indonesia belakangan ini menambah daftar kasus pencurian data pribadi
di Indonesia. (Sumber: https://nasional.tempo.co/read/1632043/inilah-7-kasusdugaan-kebocoran-data-pribadi-sepanjang-2022)
Keadaan tersebut, memperlihatkan tidak adanya kemauan politik dari seluruh pihak
untuk mengubah negara ke arah yang lebih baik.
Berkaca pada kasus diatas, dalam upaya pembangunan hukum, maka perlu
adanya reformasi dalam penegakan hukum, sehingga apa yang menjadi nilai-nilai
Pancasila dapat terwujud. Oleh karena itu dalam refleksi penegakan hukum kedepan,
sebagai berikut:
1) Diperlukan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sebagai
lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hakhak lain kepada Saksi dan/atau Korban. Sehingga dapat melakukan kontrol dan
evaluasi terhadap tindakan-tindakan sewenang-wenang “excess authority“ yang
dilakukan oleh penegak hukum, serta melakukan kerjasama dengan aparat penegak
hukum antara lain: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kementerian Kehakiman
(Lembaga Pembinaan Masyarakat), dan Organisasi Advokat).
2) Diperlukan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
dengan berlakunya Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang disahkan pada tanggal 6 Desember 2022, dan berlaku 3 (tiga) tahun
ke depan.
3) Diperlukan peran Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
(Kominfo), dalam menanggulangi cybercrime dan pemblokiran situs-situs yang
dilarang oleh peraturan perundang-undangan, dan berperan aktif dalam
perlindungan hukum data pribadi, sebagaimana amanah Undang-Undang RI Nomor
27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan data Pribadi.
Lebih lanjut, dalam penegakan hukum, tentunya tidak terlepas dari asas
praduga tak bersalah (presumption of innosence) merupakan syarat utama dan mutlak
dalam rangka menegakkan hukum. Hal ini harus diterapkan sejalan dengan persidangan
yang berjalan jujur, adil dan tidak memihak yang merupakan implementasi jelas
dari due process of law.
Sebagai penutup, jika penegakan hukum baik, maka dengan sendirinya
keadilan, kepastian hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan pemenuhan hak asasi
manusia dapat dicapai. Untuk mewujudkannya, maka diperlukan harmonisasi
pemerintah sebagai implementasi dari Nawa Cita.
- Penulis adalah akdemisi hukum dari Universitas Bung Karno