Oleh : Gugus Elmo Rais
Proses pemeriksaan kasus Ferdy Sambo ini sangat menarik untuk dikaji sekaligus untuk mengukur sampai sejauh mana sistem hukum kita berjalan. Sebagai bagian dari proses social defance seperti praksisnya Marc Ancel untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya kejahatan serupa. Karena kasus ini telah melibatkan orang-orang yang masuk kategori ‘special’. Reaksi Polri dalam kasus ini juga terbilang cepat. Tetapi tetap perlu proses pengawasan yang ketat. Itikad Polri untuk segera menyelesaikan kasus ini terlihat dari reaksi formal Timsus Polri dalam kasus pembunuhan Brigadir J dengan melakukan penangkapan serta menetapkan 5 orang tersangka, termasuk terduga otak pelaku Ferdy Sambo. Bahkan Polri telah melakukan reka adegan (rekonstruksi) sebanyak 78 adegan, Selasa (30/8/22).
Dalam persepektif psikologi forensik, proses rekonstruksi itu adalah proses untuk memperoleh Information on corpus delicti (dari pemeriksaan baik TKP maupun barang bukti dapat menjelaskan dan membuktikan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana) dan Information on modus operandi (beberapa pelaku kejahatan mempunyai cara-cara tersendiri dalam melakukan kejahatan dengan pemeriksaan barang bukti kaitannya dengan modus operandi sehingga dapat diharapkan siapa pelakunya) serta Linking a suspect with a victim (pemeriksaan terhadap barang bukti di TKP ataupun korban dapat mengakibatkan keterlibatan tersangka dengan korban, karena dalam suatu tindak pidana pasti ada material dari tersangka yang tertinggal pada korban).
Berdasarkan hasil reka adegan itu terbangun konstruksi hukum, jika pembunuhan itu terjadi sebagai respon pelaku dalam hal ini Ferdy Sambo yang melakukan eksekusi terhadap korban. Eksekusi hanya berdasarkan laporan dari tersangka KM dan PC, bahwa korban Brigadir J telah melakukan pelecehan seksual terhadap PC saat masih berada di Magelang. Meski itu konstruksi hukum sementara sebelum masa persidangan, tetapi konstruksi hukum ini sangat ‘surprise’ (mengejutkan), karena telah memposisikan Ferdy Sambo sebagai ‘korban’. Mantan Kadiv Propam itu telah menjadi korban hasutan dari dua tersangka lainnya yakni KM dan PC yang terindikasi menghasut Sambo sebagai upaya untuk menutupi dugaan perselingkuhan mereka.
Pertanyaanya, Ferdy Sambo ini adalah figur yang ‘special’ dan tidak masuk kategori orang-orang yang masuk definisi sebagai pelaku kriminal biasa seperti yang didefinisikan oleh Robert M. Bohm dan Keith N. Haley maupun Cesare Lombroso dalam bukunya Atrhropologi Criminal. Apakah Ferdy Sambo yang notabene jenderal polisi bintang dua (2) dan telah malang melintang dalam dunia reserse, yang tidak terbiasa mengambil tindakan sebelum ditemukan setidaknya dua alat bukti sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 KUHAP yang telah menjadi ‘kitab sucinya’ tiba-tiba berubah menjadi sosok yang memiliki ‘sumbu pendek’ dan langsung melakukan eksekusi.
Hubungan kausalitas kasus itu juga terbilang sangat pendek, orang yang berkumpul dan berhubungan sangat baik selama 2 tahun, tiba-tiba terhapus dan harus melakukan eksekusi pembunuhan hanya berdasarkan laporan jika Brigadir J telah membopong PC. Apakah mungkin Ferdy Sambo membunuh Brigadir J hanya berdasarkan laporan jika korban menggendong tubuh istrinya dan itu hanya dalam rentang waktu yang sangat pendek yakni sekitar 1 hari. Mungkinkah eksekusi itu akan dilakukan apabila tidak ada akumulasi dari faktor-faktor lainnya dan yang menjadi trigger adalah laporan pelecehan itu.
Meski dalil menjadi korban hasutan tidak masuk kategori sebagai tindakan pembenar dan pemaaf seperti diatur dalam Pasal 48,49, 50 KUHP. Tetapi bila konstruksi hukum itu tetap berjalan sangat memungkinkan bagi penasihat hukum tersangka Ferdy Sambo untuk membangun legal reasoning (argumentasi hukum) untuk meyakinkan hakim agar memberikan hukuman yang ringan terhadap Ferdy Sambo.
Maka langkah pemeriksaan selanjutnya yang tak kalah penting sebelum berkas diserahkan ke Kejaksaan adalah upaya untuk menggali Linking a person to a crime scene (setelah dan sebelum terjadi tindak pidana banyak kemungkinan terjadi terhadap TKP maupun korban yang dilakukan oleh orang lain selain tersangka mengambil keuntungan). Serta Providing Investigative leads (pemeriksaan dari barang bukti dapat memberikan arah yang jelas dalam penyidikan).
Dengan konsideran seperti itu maka sangatlah penting dan relevan bagi penyidik untuk melakukan elaborasi berbagai informasi dari beberapa sumber yang masuk kategori sumber primer (A1) karena berasal dari pihak-pihak yang bersangkutan. Seperti misalnya dari pengacara korban (Kamaruddin), mantan pengacara tersangka (Deolipa) maupun dari Menko Polhukam yang notebene memperoleh informasi dari intelejien.
Seperti misalnya Kamaruddin pernah menyatakan jika jauh hari sekitar bulan Juni, Brigadir J pernah mengadu ke pacarnya jika dia dalam kondisi terancam. Bila keterangan itu benar dapat dipastikan konstruksi hukum diatas yang menyatakan jika Sambo melakukan eksekusi itu karena adanya laporan PC dan KM harus dinyatakan gugur karena eksekusi itu dilakukan pada bulan Juli. Artinya sebelum adanya laporan pelecehan di Magelang telah ada ancaman terhadap korban. Keterangan selanjutnya adalah dari Deolipa yang menyatakan jika ada orientasi sex yang menyimpang, keterangan itu harus juga digali apa korelasi dan relevansi keterangan itu, apakah ada hubungannya dengan para pihak dalam perkara tersebut.
Dan yang terakhir adalah pernyataan Menko Polhukam yang pernah menyatakan jika ada tindakan menjijikan yang tidak pantas untuk disampaikan ke masyarakat serta adanya Kerajaan Sambo. Apa yang dimaksud menjijikan itu, apakah tindakan KM melakukan making love (ML) dengan PC itu yang dimaksud menjijikan atau atau ada perilaku lainnya yang dilakukan oleh para pelaku selain mereka berdua. Dengan bekal hasil penyidikan yang komprehensif itulah Jaksa Penuntut Umum (JPU) nantinya akan bisa merumuskan tuntutan seobyektif mungkin berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada. Sehingga terpenuhinya rasa keadilan di masyarakat sesuai dengan asas persamaan di depan hukum.
Hasil penyidikan yang komprehensif itu tidak hanya berguna untuk menentukan penghukuman terhadap para tersangka secara proporsional. Namun lebih dari itu bisa menjadi bekal bagi kalangan internal Polri untuk melakukan pembenahan. Jangan sampai terjadi salah diagnosa, ada penyakit ‘kanker’ yang telah menggergoti tubuh dan wibawa Polri tetapi hanya sekedar dianggap sebagai ‘bisul biasa’ yang telah meletus. Sehingga marwah Polri bisa kembali menjadi institusi yang disegani.(***)