Oleh : Houtlan Napitupulu SH.MM.MH
Pertanyaan diatas sangat menarik. Kenapa sepertinya mudah sekali UU kita direvisi, dibatalkan oleh MK. Apakah pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan Presiden, tidak membentuk undang-undang sesuai dengan yang semestinya, sehingga dengan mudah dibatalkan oleh MK. Pertanyaan ini tentu terkait dengan adanya uji materi di MK atas revisi Undang-Undang KPK, dimana uji formil dan materil atas revisi Undang-Undang KPK no.19 tahun 2019, yang sebelumnya diajukan oleh pemohon mantan pimpinan KPK, tapi MK menolak untuk seluruhnya.
Selanjutnya gugatan uji materi yang diajukan oleh pemohon (51 Profesor), yang terdaftar dengan no.70/PUU-XVII/2019. Sebagian dari permohonan ini dikabulkan oleh MK antara lain, terkait dengan pasal 12 B ayat(1) UU No.19 tahun 2019 tentang Lembaga KPK. Bahwa penyadapan dilaksanakan setelah mendapatkan ijin tertulis dari Dewan Pengawas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tetapi cukup dengan memberitahukan pada Dewan Pengawas KPK. Demikian juga dengan pasal 47 ayat(1), tentang Penggeledahan dan Penyitaan, adalah sebagai tindakan pro justitia, sedangkan Dewan Pengawas KPK tidak termasuk unsur aparat penegak hukum, karena itu frasa atas ijin tertulis dari Dewan pengawas harus dimaknai menjadi, “Dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas.
Dan pasal 40 tentang Kewengan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila proses penyidikan dan penuntutan tersebut, tidak selesai dalam waktu 2 tahun. Ketentuan tersebut oleh MK dirobah dan menambah kalimat, terhitung sejak terbitnya SPDP. Dalam hal ini kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan tetap melekat pada KPK, MK tidak membatalkannya, hanya menambahkan batas waktu dua tahun tersebut dihitung sejak terbitnya SPDP, bukan sejak terbitnya surat perintah penyidikan atau Sprindik, atau saat penetapan seseorang sebagai tersangka, ketiga nya memiliki makna yang berbeda. Kembali ke pertanyaan di atas, mengapa dengan mudahnya MK membatalkan norma suatu undangiuandang yang sudah disahkan, apa ada yang salah pada saat penyusunan undang-undang tersebut, sehingga dengan mudahnya, MK mengubah atau membatalkannya.
Sesungguhnya penyusunan naskah suatu undang-uandang sudah dirumuskan dengan mekanisme yang panjang dari mulai proses Rancangan UU hingga di sahkannya menjadi suatu undang-uandang, yang tahapannya mulai dari penyusunan naskah akademik suatu rancangan undang-uandang yang meliputi kajian akademik, oleh tokoh masayarakat, dan akademisi, tentang objek, proses dan tujuan dibentuknya suatu undang-undang, lalu diolah pembahasannya di pimpinan DPR, dan membawanya dalam pembahasan di rapat paripurna, rapat komisi, melibatkan Badan Legislasi, Bamus, dan Pansus, serta membahasnya di pembicaraan tingkat satu DPR, dst.
Sehingga dapat dikatakan tidak ada suatu norma dari suatu undang-undang yang tidak dibahas secara lengkap dan komprehensip, meski tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pembahasan tersebut, terkadang muncul nuansa kepentingan tertentu dari pihak tertentu yang tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian terdapat beberapa alasan mengapa MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi atas suatu undang-undang yang diajukan masyarakat karena hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu sebagai berikut.
1.Tidak adanya harmonisasi suatu undang-undang yang baru dibentuk dengan undang-undang yang sudah berlaku, disebabkan oleh beberapa kepentingan dari pemangku kepentingan/stakeholder
2. Suatu undang-undang tidak dapat mengatur secara lengkap dan terinci tentang sesuatu yang hendak diatur, sehingga rumusan ketentuannya dalam pasal-pasalnya menjadi bersifat umum, yang dapat menimbulkan tafsir yang berbeda-beda yang disebut sebagai pasal karet, seperti Undang2 ITE khususnya pasal 27 dan pasal 28. Undang2 Narkotika khususnya pasal 112 dan 127, dsb, menyebabkan hak konstitusional tersangka atau korban dirugikan.
3. Ada kalanya rumusan perbuatan dalam undang-undang, terpaksa dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dengan rumusan delik formil yang semestinya masuk rumusan dalam delik materil tetapi karena kesulitan dalam pembuktiannya maka dirumuskan sebgai delik formil walaupun dapat melanggar hak asasi, seperti perbuatan santet dan tindak pidana kesusilaan dalam RKUHP..
4. Adanya suatu undang-undang yang sumbernya berasal dari Perpu, yang dibuat Presiden dalam keadaan mendesak, artinya proses pembentukan undang-undang tersebut tidak sebagaimana mestinya. Dalam pelaksanaannya terdapat hak-hak konstitusional dari seseorang atau lebih yang dirugikan.
5.Adanya perkembangan hukum dalam masyarakat yang dinamis, yang sebelumnya belum dianggap sesuatu yang merugikan hak konstitusionalnya, dianggap hal yang wajar dan patut, Contoh UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang dibentuk tahun 1981, pada saat itu , penetapan tersangka belum menjadi isu problematik, praperadilan hanya ditujukan pada penangkapan, penahanan, serta penghentian penyidikan dan penuntutan termasuk ganti kerugian dan rehablitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (pasal 77 KUHAP). Melalui putusan Hakim Sarpin Rizaldi dalam perkara No, 04/Pid Prap/2015/PN Jak-Sel, tanggal 16 Pebruari 2015.
Dalam putusan ini terdapat perluasan objek praperadilan, dimana Hakim Sarpin Rizaldi, mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan, dengan putusan, bahwa penetapan tersangka oleh penyidik atas nama pemohon Budi Gunawan, tidak sesuai dengan hukum dan harus dibatalkan. Timbul pro dan kontra dalam masyarakat atas putusan praperadilan tsb, karena penetapan tersangka tidak dirumuskan dalam pasal 77 KUHAP, sebagai objek praperadilan.
Dianggap kewenangan Hakim Sarpin Rizaldi sebagai Hakim tunggal dalam memeriksa dan mengadili perkara praperadilan tsb, sudah melebihi undang-undang, pada hal hakim berfungsi untuk menjalankan/melaksanakan undang-undang. Saya pribadi sangat setuju dengan putusan Hakim Sarpin tsb, meskipun penetapan tersangka tidak diatur dalam pasal 77 KUHAP, tetapi fakta hukumnya, ada pihak yang dirugikan dengan status penetapan tersangka, jika penetapan tersangka tersebut dilakukan secara prematur, tidak secara prosedural dan tidak dilengkapi dua alat bukti minimum, dengan alasan membuka alat bukti hanya dilakukan di persidangan pokok perkara bukan di sidang praperadilan.
Tapi apakah alasan teknis dan tata cara persidangan dapat membenarkan penetapan tersangka yang tidak prosedural yang sesungguhnya hanya karena kekhawatiran seseorang yang disangka dapat dengan leluasa melarikan diri atau menghilangkan alat bukti, dan lebih mudah melakukan pemeriksaan apabila yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai tersangka. Akibatnya bagi orang yang bersangkutan, statusnya akan tersandera sebagai tersangka dalam waktu yang tidak terbatas, yang bersangkutan sengaja tidak ditahan supaya tidak dapat di uji praperadilan, sebab hanya penahanan dibatasi waktunya oleh undang-undang dan menjadi objek praperadilan sedangkan status sebagai tersangka tidak ada batasan waktunya dalam undang-undang.
Sementara kerugian bagi tersangka sudah timbul sejak dirinya ditetapkan sebagai tersangka antara lain sebagai dasar pencekalan ke luar negeri, memberhentikan sementara dari jabatan, tidak dapat mencalonkan siri untuk jabatan publik, adanya stigma atas nama baiknya, hingga penahanannya, penggeledahan dan penyitaan barang milik tersangka. Meskipun demikian besarnya kerugian yang nyata akibat penetapan tersangka, tidak dapat diuji keabsahan penetapan tersangka tersebut di sidang praperadilan, karena tidak diatur dalam pasal 77 KUHAP.
Hakim Sarpin Rizaldi menerobos kebuntuan tersebut dengan memunculkan dimensi baru dalam mengukur, menilai rasa keadilan dari pencari keadilan yang didahulukan dibanding dengan kepastian hukum, membuat Hakim Sarpin, untuk tidak membaca undang-undang secara tekstual, tetapi harus dapat menemukan hukum atau rechtsvinding, yang dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 5 menyatakan Hakim dan Hakim Konstitusi, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Perlunya penggalian dan penemuan hukum tersebut diperlukan untuk melaksanakan ketentuan pasal 10 ayat(1), yaitu pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan padanya, dengan dalih bahwa hukum tidak ada, atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan tersebut sebagai dasar hukum bagi Hakim Sarpin untuk menyimpang dari ketentuan pasal 77 KUHAP dalam memeriksa Praperadilan atas penetapan tersangka oleh penyidik.
Selanjutnya putusan Hakim Sarpin ini menjadi yurisprudensi yang digunakan pengadilan berikutnya dalam memeriksa perkara yang sama. Bahkan putusan Hakim Sarpin memperoleh legitimasi dari putusan MK No.21/PUU-XII/2014 yang dibacakan dalam Sidang Pleno tanggal 28 April 2015. Dalam amar putusannya angka 1.4, menyatakan pasal 77 KUHAP bertentangan dengan UUD RI 1945, sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Dari uraian diatas tampak beberapa alasan yang mendorong MK untuk memutus membatalkan, merobah, menambah norma baru pada suatu pasal dalam suatu undang-undang yang di uji oleh MK. Perlu diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi selain memiliki fungsi negative legislature, juga dalam keadaan tertentu dapat memiliki fungsi positive legislature jika memang hal itu sangat dibutuhkan untuk mencairkan suatu kebuntuan sistim hukum tertentu, guna tercapainya suatu keadilan dan kepastian hukum, misalnya Presiden dan DPR tidak dapat membuat suatu norma yang baru atau undang-undang dalam waktu yang singkat sementara keberadaan norma tersebut sangat dibutuhkan, maka kebutuhan atas perlunya norma baru tersebut, ditangkap dan dituangkan MK dalam amar putusan atas uji materi undang-undang.
Contoh Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 yang amar putusannya angka 1.1-1.3, selain tentang bukti permulaan, cukup bukti dan dua alat bukti yang sah juga memperluas objek praperadilan, selain yang ditetapkan dalam pasal 77 KUHAP, angka 1.4 juga meliputi penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Kesimpulan. Kewenagan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan (tidak mempunyai kekuatan hukum suatu norma tertentu) dan merubah suatu undang-undang tidak menggambarkan lemahnya proses pembentukan suatu undang-undang.
Saran. Agar putusan MK lebih valid dan demokratis maka putusan MK hendaknya didasarkan atas persetujuan oleh 6 hakim konstitusi dari 9 hakim konstitusi.
• Penulis adalah, Dosen Fakultas Hukum.