Oleh : Alex Adam Putra, S.H
Pada prinsipnya menurut hukum pertanahan di Indonesia, khususnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (“UUPA”), kepemilikan dan penggunaan tanah harus dilakukan secara langsung oleh orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas tanah tersebut. Namun, seringkali terjadi praktik pinjam nama dalam pembelian tanah di Indonesia, yang dilakukan melalui suatu perjanjian atau sering disebut nominee agreement.
Alasan dilakukan Nominee Agreement
Praktik nominee agreement untuk membeli tanah di Indonesia terjadi karena beberapa alasan, di antaranya:
Pembatasan Hak Milik oleh Hukum: seperti Warga Negara Asing (WNA)
- Keterbatasan Finansial atau Administratif:
Beberapa pihak mungkin tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kredit perbankan. Oleh karena itu, mereka meminjam nama orang lain yang memiliki kelayakan lebih baik untuk proses kredit, serta Spekulasi dan Investasi.
Adanya nominee agreement seringkali dianggap telah melahirkan dua kedudukan hukum, yakni pemilik yang namanya tercantum secara hukum (legal owner) dan pemilik yang sebenarnya (beneficiary). Untuk itu legal owner tidak memiliki hak atau kewenangan apapun untuk melakukan tindakan atas tanah yang sebenarnya dimiliki oleh beneficiary tersebut.
Secara hukum, anggapan tersebut adalah salah. Apapun alasan atau latar belakangnya, nominee agreement tidak dapat dibenarkan, bahkan merupakan suatu bentuk penyelundupan hukum (wetsontduiking).
Terhadap permasalahan penggunaan pinjam nama untuk pembelian tanah ini,
Berdasarkan Rumusan Kamar dalam halaman 4 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2020, maka jelaslah bahwa pemilik sah dari suatu bidang tanah adalah pihak yang namanya tercantum di sertifikat atau legal owner, meskipun uang untuk membelinya berasal dari pihak lain atau beneficiary.
Legal owner memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan seluruh tindakan yang ia mau terhadap tanah tersebut, termasuk mengalihkan, menjual atau menjaminkan, tanpa perlu persetujuan dari beneficiary.
Oleh karenanya penting untuk diingat, apapun latar belakang atau alasannya, praktik pinjam nama untuk membeli tanah memiliki risiko hukum yang tinggi, khususnya bagi beneficiary.
- Penulis adalah praktisi hukum