Oleh : Gugus Elmo Rais
Amandeman ketiga UUD 1945 menjadi landasan yuridis konstitusional terjadinya proses ‘pemugaran’ pondasi bangunan ketatanegaraan. Diantara pondasi kebangsaan yang dipugar itu adalah amandemen terhadap Lembaga Perwakilan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sesuai Pasal 2 ayat (1) sebelum amandemen UUD 1945 anggota MPR terdiri dari Utusan Daerah, Utusan Golongan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi setelah amandemen MPR terdiri dari Anggota DPR dan DPD.
Salah satu konsideran dari pembentukan DPD ini adalah untuk memperjuangkan kepentingan aspirasi daerah dalam kebijakan nasional dan mengikut sertakan daerah dalam setiap keputusan politik nasional. Selain itu juga untuk mewujudkan check and balance dalam struktur parlemen dua kamar. Namun dalam kenyataannya kedua kamar (DPR dan DPD) tidak diberi kewenangan yang sama. Manifesto kedaulatan di tangan rakyat seperti dalam pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang diagregasi dan diimplementasikan melalui kekuatan permusyawaratan di MPR ternyata tidak distribusikan secara merata di parlemen. Ada ketimpangan yang signifikan dalam fungsi legislasi antara DPR dan DPD.
Kewenangan untuk mengajukan usul rancangan undang-undang, pembahasan rancangan undang-undang, pertimbangan atas rancangan undang-undang dan pemilihan Anggota BPK serta pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, hingga saat ini belum bisa diimplementasikan secara memadai. Minimnya kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu telah melahirkan disfungsi secara kelembagaan diantaranya adalah ketidak mampuan DPD sebagai lembaga penampung aspirasi masyarakat dari beberapa utusan dan golongan maupun profesi seperti kalangan nelayan, petani, buruh, agamawan seniman dan lain-lain. Kondisi itu secara sosiologis tidak mereperentasikan pemerataan keterwakilan dari berbagai elemen masyarakat. Sebagai salah satu alat ukur penerimaan masyarakat terhadap sebuah regeling (norma) yang dilahirkan oleh MPR (C.J.M Schuyt).
Justru dalam dalam tatanan baru lebih sekedar untuk mengakomodir kekuatan dari sistem yang feodal dan bukan lembaga perwakilan dalam sebuah negara negara demokrasi (Bintan R. Saragih, 1985). Bahkan sistem keterwakilan DPD sekarang cenderung sebagai lembaga detensi (penampungan) bekas orang-orang partai yang telah tersisih. Mereka mencoba mencari peruntungan dari tempat penampungan baru melalui sistem pemilihan yang liberal. Atau yang paling moderat, DPD bisa menjadi kepanjangan tangan dari partai.
Bangunan ketatanegaraan ini telah melahirkan sistem parlemen yang rapuh dan tidak selaras dengan semangat dari sistem otonomi daerah sebagai sebuah konsep pembangunan dari ‘pinggiran’. Karena sistem demokrasi yang ada tidak mampu mengakomodir suara dari elemen masyarakat marginal. Sementara kita telah sepakat untuk memilih sistem otonomi daerah setelah terbitnya Undang-Undang No 22 tahun 1999. Dalam sistem ini konsep maupun usulan pembangunan itu berasal dari bawah (bottom up) (Jimmly Asshidiqie). Keberadaan DPD RI sendiri dalam desain bangunan ketatanegaraan Indonesia dimaksudkan untuk menjembatani aspirasi lokal kedaerahan dengan kebijakan pembangunan nasional (Robert Dahl).
Sebagai negara besar dengan jumlah populasi mencapai 270 juta jiwa yang tersebar di 38 provinsi, keberadaan lembaga perwakilan daerah di tingkat pusat mempunyai peran yang sangat penting sebagaimana pentingnya pemerintahan daerah yang mandiri di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini (Bagir Manan, 1992). Hal ini dikarenakan Indonesia tidak hanya memiliki rakyat yang berada di tingkat pusat tetapi juga di daerah. Apalagi potensi daerah hingga saat ini masih belum maksimal dimanfaatkan dan dikembangkan sehingga peranan perwakilan tentunya menjadi sosok yang akan mengisi kekosongan kursi kepentingan daerah itu sendiri. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga negara baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia bila dibandingkan dengan lembaga lain seperti DPR dan MPR.
Sementara ada perbedaan mendasar antara DPR dan DPD adalah pada hakikat kepentingan yang diwakilinya. DPR dimaksudkan untuk mewakili rakyat, sedangkan DPD dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah, pembedaan hakikat perwakilan ini penting untuk menghindari pengertian ‘double-representation’ atau keterwakilan ganda mengartikan fungsi parlemen yang dijalankan oleh kedua lembaga tersebut (Jimly Asshiddiqie). Keberadaan DPD yang menggunakan sistem bikameral sebagaimana yang disarankan oleh para ahli adalah supaya dikembangkan sistem bikameral yang kuat (strong bicameralism) dalam arti kedua kamar tersebut dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain.
Berdasarkan realitas empiris itulah, keberadaan DPD hingga saat ini masih sebatas sebagai lembaga accessories demokrasi belaka. Padahal dalam kondisi-kondisi tertentu seperti terjadinya kondisi kahar baik politik maupun social ekonomi ada ruang terjadinya dispute konstitusi. Maka masih diperlukan adanya lembaga yang memilki kewenangan subyektif superlative apabila terjadi proses contstitusional deadlock.
Dengan argumentasi itulah penulis memandang perlu adanya proses revitalisasi utusan golongan atau setidaknya empowering terhadap lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar tidak ada lembaga yang masuk kategori NGTK (nafsu gede tenaga kurang) karena keterbatasan kewenangan yang dimiliki. Sebagai bagian dari upaya membenahi bangunan ketatanegaraan demokrasi yang modern tetapi tetap menghormati dan mengakomodir kearifan lokal melalui sistem keterwakilan.
Salah satu treatment yang bisa diupayakan dengan perubahan konstitusional adalah melakukan amandemen dengan merevisi atau menghapuskan penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan pasal 7 tersebut menempatkan Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan dibawah UUD dan di atas undang-undang. Akan tetapi, ketentuan tersebut dibatasi pada bagian Penjelasan, dengan menyatakan bahwa Ketetapan MPR yang dimaksud adalah Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku menurut Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.(***)
- Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Poleksosbudkum Cakra Emas Syndicate.