- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Perlunya Revisi Pasal-Pasal Karet Dalam UU ITE

Oleh : Houtlan Napitupulu, SH,MM,MH

Belakangan ini muncul beberapa kasus hukum yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan sebagai akibat penerapan Undang-Undang No.19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang isinya memuat beberapa pasal2 karet, atau pasal multi tafsir. Sehingga setiap orang dapat menafsirkan norma yang dirumuskan pada pasal tertentu dalam UU ITE, sesuai dengan kepentingan si penafsir, atau dari prespektif yang berbeda-beda, ketiadaan batasan atau tolok ukur untuk menentukan sesuatu menjadi hal yang dilarang, menjadi  susah dan sukar membedakan mana perbuatan mengkritik, mengecam, mempertanyakan, menyalahkan hingga menggugat pemerintah, ataukah perbuatan tab sebagai memusuhi, membenci, menghina, menghujat atau menista.

Keberadaan UU ITE ini dimaksudkan untuk memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi. Tapi dalam implementasinya justru setiap orang bisa melaporkan orang lain atas perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, dan akhirnya terlapor pun melaporkan si pelapor atau saling melapor. Menurut saya, perbuatan saling melapor ini sebagai sikap saling membalas dari kedua pihak, dan hukum pidana dengan tegas melarang perbuatan saling membalas tersebut.  Perbuatan tersebut dinilai sebagai bentuk eigen righting atau main hakim sendiri. jika si A memukul si B lantas si B membalas memukul si A dengan alasan sebagai pembelaan diri, atau alasan lain, hal itu tidak diperbolehkan undang-undang, yang akhirnya berujung saling  melaporkan.

Tapi dalam pasal 351 KUHP sangat jelas tolok ukur atau batasan suatu penganiayaan iaitu adanya suatu gerakan/handeling berupa kekerasan dan harus ada akibatnya iaitu  akibat sakit, lembam memar, luka hingga mati, jika dapat dibuktikan kausalitas perbuatan dengan akibat yang timbul maka si A dan B sama-sama sebagai pelaku hingga menjadi tersangka dan terpidana. Tampak.disini fungsi hukum pidana seolah-olah bersifat represif saja atau pemenjaraan pelaku saja.Tapi itu dilakukannya utk menjalankan asas kepastian hukum, diharapkan melalui kepastian hukum akan tercipta suatu ketertiban masyarakat yang berkeadilan. Sebaliknya dalam kasus ITE ini, sangat sukar untuk membedakan siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban, karena tidak ada tolok ukur dari pasal yang dilanggar. Dapat terjadi semestinya yang bersangkutan  sebagai korban tetapi  malah sebagai tersangka.

Semua pihak dapat diproses sebagai pelaku melalui laporan masing-masing pihak, yang berarti UU ITE melalui aparat kepolisian berkontribusi untuk menciptakan perbuatan saling membalas diantara warga melalui media sosial. Apabila hal ini dibiarkan dapat menjadi pemicu konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat dan akhirnya memunculkan konflik vertikal. Masih jelas dalam ingatan kita beberapa kasus pelanggaran UU ITE, yang lagi viral di media sosial, seperti kasus Prita Mulyasari, yang mengkritik RS Omni Internasional, melalui emailnya yang isinya berupa keluhan atas pelayanan di RS tersebut. RS Omni melaporkan Prita ke Polisi dan oleh Pengadilan memutuskan Prita bersalah dan menghukumnya dengan pidana penjara 6 bulan masa percobaan satu tahun. Tapi keadilan masih memihak Prita, dimana MA melalui pitusan PK nya tanggal 17 September 2012, Prita dibebaskan dari hukumannya.

Berikutnya kasus Baiq Nuril Makmun sebagai pegawai honorer SMAN 7  Mataram, pada tanggal 24 Maret 2017 merekam pembicaraannya dengan Muslim saksi korban yang saat itu menceritakan rahasia pribadinya kepada Baiq Nuril yang menurutnya cerita itu, justru pelecehan seksual secara verbal bagi dirinya. Rekaman tersebut disimpannya di komputer yang kelak dapat dijadikan sebagai alat bukti baginya manakala berhadapan dengan Muslim. Atas perbuatan Nuril tersebut, oleh Muslim dilaporkan ke Polisi dan Jaksa mendakwanya dengan pasal 27 ayat (1) UU ITE.

Putusan PN Mataram menyatakan bahwa Nuril tidak terbukti bersalah melanggar pasal 27 ayat (1) UU ITE dan membebaskannya, tapi JPU kasasi dan MA memutus Nuril bersalah dan menghukumnya 6 bulan penjara dan denda Rp.500 juta atau kurungan 3 bulan. PK diajukan oleh Nuril tapi ditolak oleh Majelis PK. Masyarakat protes karena dianggap tidak adil, semestinya Nuril adalah korban tapi malah terpidana. Karena sudah tidak ada upaya hukum, Presiden Joko widodo menerbitkan Perpres tentang Amnesti yang mengampuni Nuril dan membebaskannya dari penjara setelah memperoleh persetujuan DPR.

Akhirnya rasa keadilan diperoleh warga masyarakat khususnya bagi Nuril. Kasus terbaru adalah yang dialami Ibu Isma di Aceh utara dilaporkan kepala desanya sebagai pencemaran nama baik diawali dengan perbuatan Isma mengunggah di Facebook soal kericuhan kepala desa ke ibunya yang menjadi viral. Pada tanggal 6 April 2020 oleh PN Lhoksukon Aceh Utara, ibu Isma divonis bersalah dan menghukumnya 3 bulan penjara. Dalam tahanan Isma terpaksa membawa bayinya yang masih berumur 6 bulan.

Pada dasarnya UU ITE ini hanya dapat membuat tolok ukur atau batasan tentang penggunaan media elektronik itu sendiri seperti mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik, sementara tentang perbuatan yang dilarang dan dilanggar dalam undang-undang tersebut  tidak ada mengatur kriteria, batasan atau tolok ukurnya.

Adapun pasal-pasal yang dinilai sebagai pasal karet yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin, baik berupa revisi dengan membuat resultante atau kesepakatan baru terkait kontroversi dengan membuat diksi yang yang tepat, tegas dan selaras, bersifat detonatif bukan sebaliknya konotatif. Atau membuat pedoman pelaksanaan pasal2 karet tersebut di tingkat Kepolisian dan Kejaksaan sebagai pintu masuk perkara dipengadilan. Atau manakala pasal tersebut tidak lagi berpijak pada keadilan hukum maka  DPR  harus mencabut atau membatalkannya.

Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut.

1.Pasal 27 ayat (1) tentang Pendistribusian Informasi Elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.

Apa yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan tidak diatur dalam UU ITE, sehingga sesuai dengan asas lex specialis derogat lex generalis, maka penafsirannya menggunakan ketentuan Kejahatan Kesusilaan dalam KUHP. Kejahatan kesusilaan berkaitan dengan nafsu berahi atau kelamin seseorang seperti mempertontonkan bahagian tubuh, meraba, mengusap, mencium  bagian tubuh yang vital dari wanita hingga bersetubuh.

Yang dilarang dalam kejahatan kesusilaan pasal 281-298 KUHP adalah perbuatannya, handeling dan dilakukan di hadapan umum/open baar, oleh orang yang belum dewasa atau oleh salah satu pihak sudah menikah. Jika salah satu perbuatan tersebut diatas misalnya pasal 281 KUHP, dilakukan oleh orang yang sudah dewasa atas dasar suka sama suka, dalam suatu tempat tertutup bukan di hadapan umum ( di tempat yang dapat dilihat orang banyak.), Maka perbuatan bukanlah suatu tindak pidana. Karena yang dilarang adalah perbuatan yang merusak kesopanan melalui penglihatan lebih dari satu orang di tempat-tempat umum.

Sementara perbuatan yang terkait dengan kesusilaan ini, termasuk ranah hak privat perseorangan, asal tidak melanggar kepentingan hukum orang banyak. Karena itu deliknya dirumuskan sebagai delik aduan. Jika pelaku tidak berbuat sebagai pelaku langsung yang bersetubuh atau berciuman tetapi merekam dan menyiarkan photo rekamannya maka pelaku didakwa dengan pasal 282 KUHP dengan pidana satu tahun empat bulan.

Dalam pasal 27 ayat (1) tidak membedakan apakah pelaku sebagai pembuat persetubuhan atau pelaku yang merekam dan menyiarkannya, sehingga persetubuhan yang tadinya bukan sebagai tindak pidana, bisa saja menjadikan pelakunya menjadi tersangka, hanya karena adanya rekaman yang disiarkan oleh pihak lainnya. Atau sebaliknya perbuatan meraba atau mencium diantara orang yang lagi pacaran, bisa saja menjadi tersangka pasal 27 ayat (1) hanya  karena rekaman tersebut beredar dalam masyarakat. Atau Pemerkosaan pasal 285 KUHP, dipergoki olah orang lain dan secara diam-diam merekamnya dengan maksud menjadikannya sebagai alat bukti bagi penyidik, tapi entah bagaimana rekaman tersebut sudah tersiar ditengah masyarakat.

Oleh sebab itu sebaiknya dipisah antara norma mendistribusikan rekaman dengan perbuatan pelanggaran kesusilaan. Pada pelaku pendistribusian rekaman harus di buktikan mensrea nya, apakah tujuan nya adlh untuk mempermalukan orang yang direkam, jika ya maka perbuatan adlh tindak pidana. Atau sebaliknya rekaman tersebut dimaksudkan ( bermaksud sama dengan bersengaja ), hendak digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari atau  pelaku pelanggar kesusilaan tersebut, tidak mengetahui kalau perbuatannya direkam dan rekamannya beredar di masyarakat, jika demikian halnya maka perbuatan bukanlah suatu tindak pidana.

Untuk membuktikan dengan sengaja harus dibuktikan niat dan membandingkannya dengan permulaan pelaksanaannya, apa sudah potensial permulaan pelaksanaan  tersebut menimbulkan delik yang dituju. Jika tidak potensial atau tidak berkontribusi, maka disitu tidak ada niat. Dan jika tidak ada niat maka tidak ada atau tidak dipenuhi unsur dengan sengaja. Begitu juga dengan unsur melawan hukum, harus dibuktikan apakah perbuatan yang diduga sebagai pelanggaran kesusilaan tersebut, didasarkan atas haknya si pelaku ( harus kedua orang tersebut ), misalnya sudah sama-sama dewasa, suka sama suka, dan ditempat tertutup, maka pelaku mempunyai hak untuk melakukan hal tersebut sebagai bawaan hak kodratnya, apalagi jika hubungan mereka sudah dilegalitaskan dengan suatu akte. Seandainya artis GS yang melakukan mesum disalah satu hotel di Medan, tidak tersiar rekamannya tapi karena tertangkap tangan di hotel, maka perbuatan bukanlah suatu tindak pidana.(Adanya dua alat bukti yang membuktikan unsure-unsur dari pasal dilanggar, satu unsur tidak terpenuhi pembuktiannya, maka perbuatan bukan sebagai tindak pidana ).

Oleh sebab itu unsur melawan hukum dalam pasal 27 ayat (1) ini, harus ditafsirkan sebagai unsur melawan hukum materil, bukan sebagai melawan hukum formil.

Kesimpulan atas pasal 27 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut.

  1. Pasal ini bermasalah sehingga disebut sebagai pasal karet karena merumuskan semua delik yang berhubungan dengan nafsu birahi dalam satu istilah kesusilaan (dikumulatifkan) dan tidak membuat pedoman tentang apa pelanggaran kesusilaan tsb. Pada hal tidak semua perbuatan pelanggaran kesusilaan yang disiarkan melalui rekaman video sebagai tindak pidana kesusilaan jika perbuatan tidak dilakukan di tempat umum. Rekaman video mesum tersebut tidak dapat menjelaskan apa perbuatan dilakukan ditempat umum atau ditempat terbuka, yang ditunjukkan hanyalah gambar adegan mesum tersebut. Jika demikian halnya maka yang menyiarkan yang harus ditetapkan sebagai tersangkanya.
  2. Pelanggaran kesusilaan dirinci dalam 18 pasal mulai pasal 281 sd pasal 298 KUHP, dan sebagian dari pasal tersebut dengan tegas disebutkan sebagai delik aduan kecuali kemerkosaan. Jika delik kesusilaan KUHP sebagai ketentuan yang berlaku pada pasal 27 ayat (2) UU ITE, maka semestinya delik kesusilaan ini harus diperlakukan sebagai delik aduan agar tidak setiap orang saling melapor ke Polisi.
  3. Ancaman pidana dalam Pasal 27 ayat (1), paling lama 6 tahun, tidak sebanding dengan jenis kejahatannya yang bermuka dua, sebagian ranah privat ( negara tidak boleh campur ) dan sebahagian nya ranah publik atau hukum pidana. Sebagai ranah privat dirumuskan sebagai delik aduan seperti pasal 284, pasal 287, pasal 293 KUHP. Oleh sebab itu terhadap pelanggaran kesusilaan seperti dalam pasal2 diatas yang ditemukan dalam pasal 27 ayat 1 UU ITE harus diperlakukan sebagai delik aduan yang berarti ancaman pidananya idealnya dibawah 5 tahun agar tidak dilakukan penahanan berdasarkan pasal 21 ayat (4) KUHAP.

Disarankan perlu revisi atas pasal 27 ayat (1) ini,  dengan membatasi penerapan pasal ini hanya ditujukan pada pelaku yang menyiarkan muatan kesusilaan saja.

2.Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang Pendistribusian Informasi Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.

Apa yang dimaksud dengan Penghinaan dan Pencemaran nama baik tidak ada penjelasan atau padanannya di dalam UU ITE, sehingga harus dicari dalam KUHP sebagai genusnya yaitu dalam pasal 310 KUHP tentang Penghinaan dan pasal 311 KUHP tentang Penistaan atau Pemfitnahan.

Penghinaan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 310 KUHP, adalah suatu perbuatan yang menyerang kehormatan seseorang, agar orang tersebut menjadi malu karena aibnya yang tadinya tertutupi menjadi terbuka dan sekarang diketahui warga masyarakat. Ancaman pidananya paling lama 9 bulan. Penghinaan ini tidak mempersoalkan kebenaran dari pernyataan dari si penghina, jika pelaku mengetahui bahwa seseorang sebagai pelacur dan sengaja menyiarkannya di hadapan umum ( dalam psl 27 ayat (3), melalui pendistribusian informasi elektronik ), maka perbuatan sudah memenuhi unsur penghinaan meskipun apa yang dituduhkan tersebut adalah sesuatu yang benar. Sebaliknya Pencemaran nama baik diatur dalam pasal 311 KUHP dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun. Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah apabila pelaku menuduhkan sesuatu pada orang lain sementara dia tahu persis bahwa tuduhan tersebut adalah hal yang tidak benar maka pelaku terancam 4 tahun. Sebaliknya jika pelaku dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, maka perbuatannya menjadi alasan pembenar sehingga tidak dipidana, karena pelaku menyiarkan sesuatu yang merusak nama baik orang tersebut adalah bertujuan bukan semata2 mempermalukannya, tapi agar warga mayarakat  tidak lagi ada korban dari perbuatan orang tsb. Dengan demikian ada kepentingan umum yang dilindunginya. Misalnya, pelaku menjelaskan ke warga bahwa orang tersebut adalah penipu agar tidak ada lagi orang yang tertipu akibat dari perbuatan orang tersebut.

Pada umumnya motif timbulnya ujaran penghinaan ini bukan karena adanya kerugian materil tetapi hanya disebabkan ketersinggungan satu sama lain sehingga muncul perasaan tidak enak dan sakit hati. Karenanya para pelaku dengan korban saling mengenal satu sama lain bahkan ada yang masih memiliki hubungan keluarga, hubungan pertemanan, sehingga lebih tepat ranah delik penghinaan ini sebagai delik privat, maka penyelesaian perselisihan yang timbul semestinya melalui mediasi diantara mereka bukan penahanan setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, dengan alasan sudah memenuhi syarat objektif penahanan yaitu apabila tindak pidana yang dilaporkan itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun pasal 21 KUHAP. Tapi penahanan tidak bersifat mutlak hanya jika betul2 ada kekhawatiran si tersangka melarikan diri dan mengulangi tindak pidana serta merusak alat bukti. Karena tindak pidana ini masih tergolong ringan di genusnya, maka sebainya tidak perlu dilakukan penahanan.

Kesimpulan atas Pasal 27 ayat 3 ini adalah sebagai berikut.

  1. Pasal ini masuk pasal karet karena tidak ada pedoman yang sah yang dirumuskan dalam pasal ini tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.
  2. Pasal ini memuat ancaman pidana yang berat yaitu 6 tahun, tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut, berupa merendahkan kehormatan seseorang, dan ancaman pidana ini berbeda jauh dengan ancaman pidana yang dirumuskan dalam hukum genusnya iaitu pasal 310 KUHP selama 9 bulan dan pasal 311 KUHP selama 4 tahun.

c.Pasal 27 ayat 3 ini harus direvisi dan mencantumkannya sebagai delik aduan/klacht delic.Tanpa pengaduan atau  penuntutan dari yang berkepentingan atau si korban, penghinaan ini bukanlah suatu tindak pidana.

Penulis adalah : Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Bung Karno

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan