- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Perlukah Kita Memusuhi China ?

(rep)

Oleh : Gugus Elmo Rais

Dalam startegi militer, ada falsafah yang sangat  masyhur  yang ditulis oleh Jenderal Sun Wu atau yang lebih dikenal dengan nama Sun Tzu  dalam bukunya The Art of War (544-496 SM). Sun Tzu  menulis ungkapan yang sangat terkenal yakni, “Kenalilah dirimu dan kenalilah musuhmu. niscaya dalam 100 pertempuran akan ada 100 kali kemenangan,”. Saat ini mungkin kita bisa meminjam strategi Sun Tzu itu sekaligus mentransformasikan dalam menentukan langkah  untuk menghadapi ‘pertempuran’ atau persaingan global  termasuk dalam menghadapi persaingan dengan Tiongkok. Kita harus deskripsikan  pola relasi antara  Indonesia dengan China itu secara utuh agar tercipta persepektif yang jernih dalam membangun hubungan dengan Tiongkok.

Dari persepektif historis hubungan antara Tiongkok (China) dengan Indonesia  terutama dengan Islam (sebagai agama mayoritas di Indonesia) itu telah melalui proses yang sangat panjang dan penuh warna. Sebagai  salah satu negeri yang memiliki peradaban tertua di dunia, kemajuan peradaban China itu sudah tak terbantahkan. Sehingga Nabi Muhammad SAW yang lahir dan besar pada abad ke 6 Masehi itu pernah mengeluarkan sebuah hadist yang cukup terkenal yakni, Uthlub al-‘ilm walau bi ash-shin (tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri China). Meski hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi, Abu Nu’aym dalam kitabnya yang berjudul Akhbar Ishfahan dan Abu al-Qasim al-Qusyayri dalam kitabnya al-Arba’in  sering dianggap sebagai hadits yang dhoif (lemah), tetapi ada fakta yang tidak terbantahkan jika  saat itu ada pengakuan peradaban China lebih maju dari peradaban bangsa lain.

Dari berbagai literatur sejarah, Islam  tercatat mulai masuk ke China pada awal abad ke 7, yakni sekitar tahun 678 Masehi atau pada awal-awal tahun hijriah, di masa pemerintahan Dinasti Tang. Dalam kitab sejarah Chiu T’hang Shu misalnya, disebutkan bahwa pemerintah China pernah menerima kunjungan diplomatik dari Kerajaan Arab pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Saat itu Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin Abi Waqqas bersama 15 orang rekannya untuk membawa ajaran Islam ke daratan China. Ternyata mereka diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang.

Bahkan sang Kaisar mengizinkan pembangunan Masjid Huaisheng atau Masjid Memorial di Canton, masjid pertama di daratan China. Sejak saat itu lambat laun Islam mulai berkembang di  wilayah Asia Timur  termasuk Negeri Tirai Bambu terutama di wilayah Uighur, serta beberapa wilayah  di Rusia. Di kemudian hari lahir  seorang ulama besar  sekaligus perawi hadist yang terkenal yakni Imam Al Bukhari yang berasal dari Bukhara, Usbekistan.

Masuknya Islam yang kemudian berkembang menjadi agama mayoritas di Indonesia ternyata juga tidak terlepas dari kontribusi Muslim China. Terutama setelah mendaratnya ekspedisi  Laksamana Zheng He atau lebih populer dengan nama Cheng Ho yang membawa 307 kapal serta 27.000 anak buah ke  sejumlah Negara Asia  dan Afrika termasuk Indonesia  selama periode 1405-1433 M  yang terdiri dari 7 kali pelayaran. Cheng Ho ini dikenal sebagai seorang muslim yang menjadi Kasim dari Kaisar Yongie yang merupakan Kaisar ketiga dari Dinasti Ming.

Jejak Cheng Ho dalam proses Islamisasi di Indonesia juga cukup panjang diantaranya adalah membantu meringkus kepala perampok  yang bernama Chen Tsu Ji  yang meresahkan Kerajaan Sriwijaya yang kemudian membawanya ke Peking.  Cheng Ho  juga  sempat berkunjung ke Samudera Pasai dan memberikan Lonceng Cakra Donya kepada Sultan Aceh yang kini masih tersimpan di Museum Banda Aceh. Pada 1415, Laksamana Cheng Ho juga berlabuh di Muara Jati, Cirebon dan menghadiahi beberapa barang khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu pemberiannya adalah piring bertuliskan Ayat Kursi yang masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Bukti lain adalah Kelenteng Sam Po Kong, serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong. Pada masa pemerintahan Raja Wikramawardhana, Laksamana Cheng Ho juga pernah mengunjungi Kerajaan Majapahit. Bahkan runtuhnya kerajaan Majapahit  juga tidak terlepas dari peran Muslim China yakni setelah Raden Brawijaya menikahi Putri Champa (Kamboja/Vietnam)  yang diyakini  sebagai keturunan China yang bernama Putri Arinawati yang kemudian melahirkan Raden Patah  yang mendirikan Kerajaan  Demak (1478-1518) serta Bethoro Katong yang mengIslamkan  warga wilayah Ponorogo dan sekitarnya. Dua kekuatan itulah yang kemudian  bersatu menghadapi Kerajaan Majapahit yang notabene milik ayahanda mereka, sehingga Raden Brawijaya  dengan beberapa pengikutnya kemudian melarikan diri ke Pulau Bali.

Yang menarik, meski banyak yang meyakini jika para wali  penyebar agama Islam di Pulau Jawa yakni (Wali Songo)  adalah ulama yang berasal dari Arab, Gujarat, Hadramaut  serta Yaman tetapi tidak sedikit yang meyakini jika sebagian mereka adalah keturunan China. Berdasarkan buku Serat Kanda, Babad Tanah Jawi dan sebuah naskah yang ditulis Poortman yang disimpan di Kelenteng Sam Po Kong serta artikel yang ditulis Asvi Warwan Adam (2005), Wali Songo Berasal Dari China para wali itu banyak yang keturunan China.

Dalam literatur itu diuraikan jika Wali Songo yang beretnis China/ Tionghoa itu diantaranya adalah :

  1. Bong Swi Hoo/ Raden Rahmat/ Sunan Ampel, asal Campa yang datang ke Jawa pada 1445 dan membentuk masyarakat Islam Jawa di Ampel;
  2. Sunan Bonang, putra Sunan Ampel, peranakan Tionghoa ini sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa;
  3. Gan Si Cang/Raden Said/ Sunan Kalijaga, adalah seorang kapten kapal Cina di Semarang, putra Gan Eng Cu alias Arya Teja di Tuban;
  4. Toh A Bo/ Syarif Hidayatullah/ Sunan Gunung Jati, anak Sultan Trenggana (Tung Ka Lo), raja Demak, yang merupakan panglima tentara Demak;
  5. Dja Tik Su/ Jafar Sadik/Sunan Kudus;
  6. Sunan Giri, murid Sunan Ampel, peranakan Tionghoa ini sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa.

Meski literatur itu masih bisa diperdebatkan, tetapi tetap tidak bisa dibantah jika persinggungan budaya dan peradaban Indonesia dengan etnis Tionghoa dan Tiongkok itu sudah cukup panjang. Terutama dalam proses Islamisasi di Indonesia. Tetapi pola relasi antara etnis Tionghoa dan etnis lain di Indonesia juga memiliki banyak dinamika. Bahkan tidak sedikit yang menyisakan catatan sejarah yang kelam.

Seperti yang pernah diramalkan oleh Raja Kediri, Prabu Jayabhaya/ Joyoboyo (1135-1157), yang menyatakan Wong Jowo kari separo, Chino, Londo  kari sejodo (orang Jawa  tinggal setengah, Cina dan Belanda tinggal sepasang), karena tragedi politik terjadi peristiwa yang  sangat mengerikan. Saat itu di Batavia muncul framing dan hoaxs, jika seakan akan orang Tionghoa ingin menguasai Indonesia. Gubernur Batavia saat itu Dick van Cloon melakukan deportasi besar-besaran terhadap imigran asal Tiongkok.  Bahkan  pasca terjadi pandemi Malaria, penerusnya Gubernur Adriaan Valcenier (1740) melakukan penyerbuan terhadap etnis China  sehingga lahir tragedi  Muara Angke (bangkai), di Tambora, Jakarta Barat yang mengakibatkan sedikitnya 10.000 etnis Tionghoa tewas.

Pegolakan politik yang membuat posisi orang Tionghoa ‘tersandera’ kembali terjadi pasca terjadinya perisistiwa G 30 S PKI 1965. Presiden RI saat itu Soekarno memang dikenal sebagai sosok yang gandrung dengan persatuan serta melakukan sinkretisme  ideologi terutama antara Nasionalisme, Islamisme  dan Komunisme (Nasakom) guna untuk membendung gerakan kolonialisme dan liberalisme yang diusung oleh Blok Barat yang dikomandoi oleh Amerika. Untuk mewujudkan tekad  itulah, Soekarno membentuk poros Jakarta-Peking dan Pyongyang (1950)  sekaligus bergandengan tangan dengan Mao Zedong dan Kim Il Sung. Cengkrama politik itulah yang membuat Barat  terutama Amerika jealous dan resah.

Maka  diduga atas campur tangan CIA dengan memperalat Gillchrist (Dubes Inggris untuk RI) munculah tragedi G 30 S PKI  1965. Diperkirakan satu juta orang lebih tewas dalam konflik horizontal itu. Konflik ideologi itu semakin membara, karena dapat siraman ideologi, berupa pandangan jika komunisme itu tidak beda jauh dengan atheisme yang tidak mengenal Tuhan sementara Indonesia adalah negara yang berdasarkan agama seperti yang termakhtub dalam sila pertama Pancasila.

Pasca terjadinya peristiwa itulah hubungan antara etnis menjadi tumbuh sikap saling curiga. Padahal semua etnis Tionghoa di Indonesia mayoritas  telah memiliki agama seperti yang telah diakui oleh pemerintah.  Dan kerusuhan etnis itu kembali memperoleh momentum saat terjadinya krisis ekonomi 1997 yang berujung terjadinya kerusuhan 1998 yang menggunakan isu etnis dan kecemburuan sosial.

Dalam bidang ekonomi kontribusi etnis Tionghoa  terhadap perekonomian nasional sudah tidak diragukan lagi. Perekonomian Indonesia telah disokong oleh konglomerasi yang mayoritas adalah etnis Tionghoa. Ketika terjadi resesi ekonomi dunia seperti saat ini, Tiongkok juga  bisa dianggap sebagai salah satu ‘dewa penolong’ agar laju perekonomian Indonesia tetap berjalan.  Berdasarkan data Badan Koordinasi  Penanaman Modal (BKPM), tahun 2021 lalu tercatat total investasi Tiongkok di Indonesia mencapai US $ 2,3 milliar dan menempati peringkat ketiga setelah Singapura dan Hongkong. Investasi China dikenal riil dan bukan hanya sekedar komitmen. Atas kontribusi itulah perekonomian Indonesia masih bisa menggeliat diantara beleitan resesi ekonomi global sebagai dampak dari pandemic Covid 19.

Meski dikenal ‘ringan tangan’ dalam menanamkan investasi, tetapi  tabiat Tiongkok berbeda dengan dua negara itu yang terkenal fine n fun  dalam menanamkan investasinya. Investor dari Tiongkok ini terkenal kakean rengkek (qonditionally) yang njlimet diantaranya sesuai dengan ketentuan road and belt iniatif, setiap investasi itu  dibarengi persyaratan untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing (TKA) dari China, yang sering memancing polemik. Seperti yang terkini antara  mantan Kepala BIN, Sutiyoso dengan Si Grace. Selain penggunaan TKA bahaya lain adalah proses debt to swabt dan debt to equity bila debitur tidak bisa mengembalikan hutangnya  selama masa pay back period terutama untuk proyek-proyek infrastruktur yang tidak feasible. Sehingga memiliki potensi infrastruktur itu akan ditake over dan dikuasai oleh investor dari China.

Maka kita harus mengukur matter of intention (ketulusan niat), dari Rezim Singkek Xi Jinping dalam menjalin hubungan dengan negara kita, apakah  kita ini dianggap sebagai mitra, sahabat atau justru rival. Bila kita dianggap sebagai sahabat, kenapa China tidak pernah mau berhenti untuk menjaili Indonesia dengan mengklaim jika Natuna adalah miliknya dengan argumentasi yang sak karepe dewe (tidak wajar).  Tiongkok selalu menganggap jika Natuna masuk teritorialnya berdasarkan klaim nine dush line (sembilan garis putus-putus) yang membentang sejauh 2000 KM dari China daratan. Klaim historis ini muncul sejak tahun 1947, ketika China masih berada dibawah kekuasan Partai Koumintang dibawah kendali Chiang Kaisek.

Padahal sesuai dengan ketentuan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), Natuna masuk zona ZEE milik Indonesia. Bahkan bila kita menggunakan prinsip Romawi Kuno, effectif occupation, kepulauan itu mutlak milik Indoensia. Karena dapat dipastikan seratus persen penduduk Pulau Natuna adalah orang Indonesia dan mayoritas adalah etnis Melayu. Artinya Tiongkok ini memiliki tabiat benar-benar ‘dablek’ (bandel), meski tercatat sebagai state of partay (Negara anggota PBB) tetapi tetap  tidak mau  tunduk dan patuh  tehadap hokum internasional dan  lebih suka menggunakan argumentasi sendiri dalam mengklaim kepemilikan Pulau Natuna. Dari sikap China itulah kita bisa mengukur, apakah seperti itu caranya bila menganggap kita sebagai negara sahabat ?.

Deskripsi dan paparan diatas, setidaknya mengajak kita untuk berpikir jernih  dalam menilai  dan membedakan antara gerakan budaya  etnis China dengan gerakan politik  negara Tiongkok.  Sehingga kita bisa bersikap obyektif sekaligus untuk menghilangkan sikap anti China maupun anti Arab yang tanpa dasar. Dikotomi  yang konyol itulah yang saat ini sedang menggejala. Hubungan kebudayaan antara bangsa itu sudah sangat dekat dan erat. Yang sering muncul  hanyalah perbedaan kepentingan politik. Maka belajar dari ramalan Prabu Joyoboyo, perbedaan kepentingan politik yang dibumbui framing dan hoax  itulah yang melahirkan tragedi kemanusiaan.

Maka menurut saya sinyalemen Sutiyoso itu perlu diverifikasi dan diklarifikasi oleh para pihak yang bersangkutan agar tidak menimbulkan framing baru. Sekaligus tidak perlu reaktif  dan mengatakan itu rasis, karena hanya akan menimbulkan kesalah pahaman baru diatas  kesalah pahaman, agar tidak terjadi  konflik horizontal.

Sebagai negara  yang  menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktiv serta penganut ekonomi terbuka (pasar), kita harus menjalin kerja sama dengan negara manapun serta penganut ideologi apapun, selama mampu meberikan benefit yang positif bagi bangsa dan negara. Dan kita tidak perlu membatasi diri atas dasar kebencian yang tanpa dasar, seperti halnya yang diajarkan dalam Islam terutama berdasarkan QS Almaidah 8, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil,”. Tetapi prinsip kewaspadaan dan kehati-hatian  dalam menjalin hubungan diplomatik itu tetaplah diperlukan.(Tim)

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan