- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Penyelesaian Ujaran Kebencian

Oleh : Houtlan Napitulu, SH,MM,MH  

Maraknya ujaran kebencian melalui media sosial saat ini, merupakan gambaran kurangnya rasa penghargaan, penghormatan pada orang lain. Entah siapa yang memulai sehingga muncul jawaban atau balasan yang juga memuat ujaran kebencian pada orang yang menyerangnya. Sesungguhnya Orang yang didepan tidak mungkin mengatai orang yang dibelakang karena dianggap tidak ada hal yang menarik untuk mengatai orang yang dibelakang tersebut. Karena itu orang yang dibelakanglah yang selalu mengatai orang yang didepan. Oleh sebab itu orang yang didepan tidak perlu harus sakit hati atas pernyataan orang yang dibelakang tersebut. Justru kita wajib tetap menghormatinya sebagai sesama anak bangsa.

Kita tidak dapat mengharapkan orang lain untuk wajib menghormati kita. Itulah sebabnya orang yang diatas selalu menjadi objek untuk dikatain oleh orang yang dibawah, tidak pernah orang yang diatas mengatai/mengkritik orang yang dibawah karena dianggap memang sudah demikian halnya, sudah demikian kebiasaannya. Itu sebabnya Ki Hajar Dewantoro mengajarkan kita, agar orang yang didepan/diatas harus ing ngarso sung tulodo,  orang yang didepan wajib menjadi teladan bagi yang dibealakang, tetap  menjadi contoh, atau model meskipun ia selalu dikatain, dan wajib  menghormati yang dibelakang walaupun dia tidak pernah dihormati, Orang yang ditengah membangun kemauan atau semangat ing madyo mangun karso dan orang yang dibelakang wajib memberikan dorongan agar yang didepan dapat melaksanakan kemandiriannya sebagai teladan, bukan mengata-ngatain apalagi memprovokasi, tut wuri handayani.

Timbulnya perbuatan saling mengatain, mengkritk, menghujat, selain sebagai konsekwensi terbukanya ruang kebebasan dalam era demokrasi juga sebagai pengaruh perkembangan media sosial dan faktor pendukungnya, yang berujung pada sikap saling melapor bahkan laporan polisi pun tidak main2 diduga melanggar pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian  berdasarkan SARA yang ancaman pidananya 6 tahun, bukan sebagai ujaran penghinaan atau pencemaran nama baik pasal 27 ayat 3 ancaman pidananya 4 tahun. Bahkan terdapat beberapa kasus dari saling mengatain ini, adalah melekat pada pribadi seseorang tetapi dibungkus dengan SARA, menjadi dugaan ujaran kebencian berdasarkan SARA, yang sesungguhnya bukan konten SARA sebagai tujuan/niat/mensrea, tetapi nama baik si korban.  Maka sebaiknya penyelesaian kasus seperti ini tidak perlu melalui peradilan pidana, tapi lebih baik ditempuh melalui proses diluar peradilan pidana agar tidak ada yang merasa dilukai oleh penguasa, tidak ada yang menang dan kalah.

Penyelesaian kasus yang bersifat privat ini, khususnya perkara saling menyerang kehormatan diantara sesama warga, agar ditempuh melalui jalan damai untuk mewujudkan restoratif justice melalui diversi. Untuk itu diperlukan suatu terobosan oleh penegak hukum mempertemukan pelaku dan korban/diversi untuk lebih memastikan apakah tindak pidana yang terjadi ujaran penghinaan atau ujaran kebencian berdasarkan SARA.

Jika yang ditemukan adalah ujaran penghinaan maka penyelesaian perkaranya ditempuh penyelesaian diluar peradilan pidana restoraitf justice. Tetap jika yang ditemukan adalah ujaran kebencian, berdasarkan pendapat ahli bahasa, agama, tokoh masyarakt dan ahli pidana maka penyelesaiannya dapat dilanjut melalui peradilan pidana untuk memperoleh efek jera dan kepastian hukum.

Norma pencemaran nama baik diatur dalam pasal 27 ayat 3,  tapi pasal ini tidak dirumuskan dengan tegas dalam UU ITE tentang apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik, sehingga padanannya harus dicari dalam pasal 310, 313 KUHP, yang initinya adalah bersengaja mempermalukan dengan cara merusak kehormatan seseorang dihadapan umum, agar korban menjadi malu, tidak dihormati lagi. Jadi tujuannya adalah nama baik pribadi dari si korban  seperti sebagai pelacur, koruptor, setan dsb. Bagaimana apabila pelaku menghina yang bersangkutan dengan mengaitkannya kepada hal2 yang bersifat suku dan agama atau SARA. Maka pembuktiannya semestinya harus tetap konsisten terhadap niat/maksud dari pelaku apakah niatnya adalah untuk mempermalukan si korban, sementara hal-hal yang bersifat SARA hanya sebagai melengkapi, supaya lebih menarik perhatian saja.

Karena itu patut dipertimbangkan apakah mungkin seseorang pribadi yang direndahkan martabatnya dapat mewakili kelompok suku atau kelompok agama, sehingga perbuatan pelaku tidak lagi ditujukan pada pribadi si korban yang dihina, tapi ditujukan pada suku atau agama yang dianut oleh si korban, maka pelakunya dapat diancam dangan pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA yang diancam dengan pidana penjara 6 tahun, sehingga pelakunya dapat ditahan.

Terkait dengan hal tersebut perlu kehati-hatian yang serius  untuk penerapan pasal 27 ayat 3 tentang ujaran penghinaan dan pencemaran nama baik dengan penerapan pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA. Perlu ada fatwa atau putusan MK atau MA yang mengatur tentang batasan kedua pasal tersebut supaya penerpannya menjadi suatu penegakan hukum yang berkeadilan.

  • Penulis adalah : Dosen Fakultas Hukum UBK
prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan