- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Penerapan Turut Serta dan Concursus Realis Dalam Kasus Pembunuhan Berencana Alm Brigadir Josua

Ilustrasi (rep)

Oleh : Houtland Napitupulu

Dengan adanya pernyataan dan perintah Presiden termasuk pernyataan Menkopolhukam, agar kasus yang menimpa alm Brigadir J ini di lakukan secara transparan tidak ada yang ditutupi, membuat pengungkapan kasus ini berbanding lurus dengan hasil penetapan beberapa orang termasuk jenderal sebagai tersangka. Tentu pengungkapan kasus ini tidak terlepas dari hasil kinerja Kamarudin Simajuntak sebagai Pengacara keluarga alm. ( sudah saya kenal kinerja beliau sebagai Pengacara sejak tahun 2011 ).

Beliau bersama keluarga  mengajukan outopsi ulang yang dilakukan oleh petugas forensik yang independen, bahkan melibatkan tim medis dari keluarga menjadi saksi, yang melihat menyaksikan, mencatat proses pemeriksaan semua luka yang ada ditubuh alm Josua. Ini ide yang brilian dari pengacara. Hal ini menjadi titik tolak untuk berkesimpulan, tidak ada tembak menembak tetapi yang terjadi adalah pembunuhan berencana, yang disimpulkan dari beberapa luka tembakan pada tubuh korban.

Hasil pencatatan tim medis keluarga, oleh pengacara dibuatkan dalam akte  Notaris yang nantinya dapat dipergunakan oleh pengacara sebagai perbandingan dalam persidangan jika keterangan ahli forensik dianggap kurang bersesuaian dengan fakta yang terjadi. Pak Pengacara ini, bersama keluarga hilir mudik ke Bareskrim untuk melaporkan FS yang diduga sebagai tersangka pembunuhan berencana, dan melaporkan Ibu PC sebagai tersangka pengaduan palsu tentang pelecehan seksual termasuk melaporkannya sebagai Obstruction of Justice pasal 221 ayat (1) 2e,KUHP ttg menghalangi penyidikan, dan melaporkan penistaan thd orang mati pasal 317 KUHP, menyampaikan berita bohong pasal 28 UU ITE, jo Pasal 14 UU No.1 tahun 1946, dan saya dengar akan melaporkan pencurian pasal 362 KUHP atas hilangnya atm dan hp, laptop alm J hingga UU Perbankan jo UU TPPU, dan terakhir melaporkan ibu PC sbg turut serta pasal 340, KUHP, terhadap laporan tersebut selain di juntokan dengan pasal 55 KUHP turut serta juga ada perbuatan yang di juntokan dengan pasal 65 KUHP tentang Concursus Realis atau Perbarengan.

Model atau/inovasi pengacara seperti ini diperlukan untuk kepentingan pembuktian, dalam menjerat kesalahan si tersangka dengan dakwaan berlapis agar semua perbuatan/tindak pidana yang dilakukan dapat dikenakan sanksi pidana.  Dan hal seperti ini tidak di jumpai di bangku kuliah, yang disampaikan oleh dosen hanya teori-teori hukum saja. Biasanya dalam praktek, masyarakat cukup melaporkan saja ke Polisi suatu tindak pidana yang menimpanya, selanjutnya dilepas oleh si pengacara, dan tinggal meminta SP2HP ( Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan ). Dan selanjutnya Polisi bersama JPU yang  bertindak mewakili kepentingan si korban tindak pidana,  melengkapi berkas, sebagai bentuk mewakili kepentingan si korban sebagai bentuk kepentingan umum yang diperintah oleh UU.

Tapi Pengacara KS ini, terus mengawal dan membuntuti kasus ini, membuat berbagai pihak kerepotan khususnya Mabes Polri. UU hanya mewajibkan untuk  memberikan pendampingan pada seseorang sebagai pelaku tindak pidana/tersangka, khususnya tersangka yang diancam dengan pidana mati. Seperti tersangka Bharada E, yang gonta ganti pengacaranya. Pendampingan pada tersangka dilakukan untuk menyeimbangkan kedudukan pihak Negara yang diwakili oleh Polri dan Kejaksaan berhadapan dengan tersangka yang kedudukannya seorang diri, buta hukum, tidak berkuasa dan secara pribadi, sehingga dibutuhkan keberadaan Sarjana Hukum sebagai pendampingnya/pengacara untuk menyeimbangkan kedudukan tersebut, agar tujuan memperoleh kebenaran materil yaitu kebenaran yang sesungguhnya dapat diwujudkan.

Maka adagium yang mengatakan, meskipun langit akan runtuh hari esok, kebenaran dan keadilan hari ini harus ditegakkan. Sehingga tujuan hukum pidana berupa kepastian hukum dan keadilan tidak semata – mata semboyan saja tapi dapat di rasakan oleh seluruh masyarakat.  Karena itu pengalaman berpraktek sebagai pengacara yang profesional dan berintegritas sangat  dibutuhkan untuk memunculkan jiwa/bakat berimprovisasi, ber inovasi dalam menangani setiap kasus pidana yang dihadapinya, dengan mencari dan menemukan peluang yang dapat digunakan untuk mengumpulkan alat bukti melalui berbagai cara teknik penyidikan yang mumpuni.

Dengan adanya outopsi yang kedua ini, menarik perhatian masyarakat, semua mata tertuju pada TKP, posisi mayat, senjata api dan peluru yang digunakan, termasuk sidik jari, DNA, di TKP, pakaian, sepatu atau telapak kaki, yang dipakai korban saat terjadinya penembakan, termasuk informasi yang bisa diperoleh dari HP dan laptop korban selain CCTV yang ada disekitar tkp. Jika keterangan saksi dapat berupa keterangan palsu, bohong, tapi alat-alat yang digunakan dan ditemukan di TKP tidak akan pernah berbohong, itu sebabnya alat bukti seperti keterangan saksi harus didukung oleh barang bukti yang nantinya berfungsi sbg petunjuk.

Dan proses perolehan barang bukti ini harus sesuai dengan normanya, apa jenis barangnya, diperoleh dari mana, siapa yang menyaksikannya,  bagaimana cara mengambil decorder dan CCTV, disimpan dimana barang bukti tersebut sebelum dibawa ke persidangan lengkap dengan berita acaranya. Semua harus jelas sesuai hukum, supaya hasilnya dapat dipertanggung jawabkan bukan hasil rekayasa. Hasil Outopsi yang kedua sangat luar biasa dampaknya, yang hasilnya menunjukkan peristiwa yang terjadi bukan tembak menembak tetapi si korban ditembak sebagai pembunuhan berencana.

Perhatian masyarakat atas temuan outopsi kedua ini juga menarik dan melibatkan Komnas HAM, LPSK, mengawal transparansi penanganan kasus Alm Brigadir J ini. Terkait dengan hasil outopsi ke dua ini, ada hal yang menimbulkan masalah hukum yang juga harus ditegakkan, bagaimana keberadaan hasil outopsi pertama, apakah dengan sendirinya batal demi hukum hasil outopsi tersebut atau dapat dimintakan pembatalannya. Dalam kasus ini tidak boleh ada pembiaran seolah – olah ada dua hasil otopsi yang berlaku. Hal seperti  ini belum diatur dalam KUHAP. Dan bagaimana konsekwensi hukumnya bagi dokter forensik yang dibawah sumpah membuat VER hasil outopsi pertama tersebut yang berbeda dengan hasil outopsi kedua. Ini menjadi tugas penyidik polri untuk mengungkapnya.

Dengan adanya pengakuan Bharada E yg kemudian disetujui sebagai Justice of Colaborator, membuat makin jelas jenis tindak pidana pembunuhan ini sebagai Pembunuhan Berencana pasal 340 KUHP dgn Ancaman Pidana mati atau 20 tahun penjara.

Yang belum jelas saat ini adalah apa motif pelaku. Sebahagian berpendapat bahwa motif tidak perlu dibuktikan, cukup jika perbuatan/actusrea nya sudah terbukti. Tapi bagi saya motif ini sangat  diperlukan khususnya pada TP Pembunuhan Berencana yang dilakukan degan turut serta. Dimana motif ini berfungsi selain untuk  menguatkan keyakinan dan bukti atas adanya perbuatan dan kesalahan si pelaku, sekaligus untuk membedakan penjatuhan pidana bagi yang memiliki motif dan niat dipidana dengan Turut serta pasal 55 KUHP untuk melakukan pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP dengan pelaku yang tidak punya motif dan niat untuk pembunuhan berencana tersebut maka pelakunya hanya dipidana melakukan pembantuan pasal 56 jo pasal 340 KUHP., bukan sebagai Turut serta pasal 55 KUHP yang ancaman pidananya lebih ringan.

Dalam hal ini harus jelas rangkaian dari motif ( siapa dan apa motifnya sehingga melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan kapan mulai timbul motif tersebut. Motif ini menimbulkan niat/,mensrea, maka untuk pembunuhan berencana diperlukan pembuktian kapan mulai timbul niat melakukan pembunuhan berencana tersebut. Dalam hal Pembunuhan berencana, harus ada tenggang waktu yang cukup antara timbulnya niat dengan terjadinya perbuatan.

Jika A berniat menusukkan pisau yang ada di warung ke dada si B, dan niat tersebut diteruskannya dengan menusuk dada si B, maka dapat dipastikan bahwa yang terjadi adalah pembunuhan biasa/sengaja pasal 338 KUHP. Karena tidak ada motif sebelumnya, maka niat membunuh muncul bersamaan waktunya dengan perbuatan yang dilakukan, dan fakta hukumnya pisau yang digunakan untuk membunuh tidak disiapkan sebelumnya  oleh si A, tapi pisau  yang digunakan adalah pisau yang didapatnya di warung tersebut. Dan hubungan antara si A dengan B tidak saling mengenal, tidak ada dendam, tidak ada persaingan bisnis, tidak ada masalah percintaan, yang disebut sebagai motif, maka dalam contoh pembunuhan A dan B diatas, tidak ditemukan Motif pembunuhan berencana.

Sebaliknya pada pembunuhan berencana sudah ada motif seperti persaingan bisnis, balas dendam, kebencian yang mendalam, untuk menguasai bisnis dan harta korban atau cinta segitiga. Itu sebabnya pada pembunuhan berencana ini cirinya adalah terdapat  hubungan atau saling kenal antara korban dengan si pelaku. Hubungan saling kenal tersebut menunjukkan ada keterdekatan antara pelaku dengan korban yang potensial memunculkan perselisihan diantara motif yang memicu kebencian. Kebencian ini menjadi motif untuk melakukan pembunuhan berencana. Selanjutnya motif ini mendorong timbulnya niat. Maka dipertanyakan, kapankah timbulnya niat untuk membunuh.

Jika yang diniatkan adalah pembunuhan berencana, maka harus ada jarak atau tenggang waktu antara timbulnya niat dengan waktu dilakukannya perbuatan pembunuhan  Dan pada jarak atau tenggang waktu itu, selalu digunakan untuk membuat strategi cara membunuh, alat yang digunakan, alibi yang disiapkan, cara menghilangkan alat bukti dan dimana korban dibunuh, semua sudah diatur dalam tenggang waktu tersebut. Hal diatas tidak diharuskan ada pada pembunuhan biasa pasal 338 KUHP,  karena pada pembunuhan biasa ini, yang terjadi adalah niat membunuh timbul secara spontan, muncul seketika niat bersamaan dengan perbuatan  melakukan pembunuhan. dan ancamannya maksimum 15 tahun penjara. Karena itu  lebih sukar atau sulit  mengungkap kasus pembunuhan biasa pasal 338 KUHP ini dibanding dengan pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan berencana.

Karena pada pasal 338 KUHP atau pembunuhan biasa  tidak  ditemukan hubungan antara korban dengan pelakunya sehingqa tidak ada motif , semua gelap, timbul secara spontan, apalagi jika identitas korban sdh tidak ada atau sengaja dihilangkan oleh pelaku. Titik tolak penyidikan atas suatu pembunuhan adalah diawali dengan mengidentifikasi korban, melalui identitas korban tersebut akan ditelusuri siapa dan dimana lingkungan bermain, apa saja aktifitas nya.  Maka pengungkapan kasusnya lebih mudah.

Dalam kasus ini, pembunuhan berencana dijunctokan dengan pasal 55 KUHP yaitu turut serta melakukan pembunuhan berencana. Konsekwensinya harus dapat dibuktikan siapa yang jadi  uit lokker atau aktor intelektualnya atau pembujuk/penganjur, diluar penganjur ini, terdapat beberapa orang yg menjadi medepleger atau turut serta untuk turut bersama-sama melakukan dan mewujudkan apa kehendak aktor intelektual tersebut. Dalam mede pleger harus terlihat motif dan niat yang sama dengan aktor intelektualnya, sehingga jelas perannya misalnya si A perannya sebagai eksekutor/pleger yang membunuh si korban, atau si B perannya memegangi tubuh korban spy tdk melawan atau si C menganiaya si korban atau turut menembak sikorban, semakin berat peran nya maka pidananya akan semakin lebih berat. Dalam Turut serta ini, harus ada persamaan  antara niat atau kehendak dari aktornya dengan para turut serta sehingga para ahli berpendapat apa yang menjadi motif dan niat si aktor adalah juga merupakan motif dan niat dari peserta turut serta.

Timbulnya motif dan niat dari para turut serta menjadi sama dengan motif dan niat dari aktor intelektualnya, bisa terjadi ada kebencian dan dendam dari aktor intelektualnya pada si korban, secara kebetulan kebencian dan dendam yang sama juga dimiliki dari turut serta ini. Walaupun umumnya terjadi motif dan niat membunuh korban, karena dipengaruhi oleh pemberian sejumlah  uang atau barang dari si aktornya, sehingga hukuman yang dijatuhkan pada para turut serta tidak terlalu jauh bedanya dengan hukuman yang di jatuhkan pada aktor intelektualnya. Tapi hukuman pada aktornya tetap lebih berat dibanding hukuman pada turut serta. Aktor intelektual disebut pembujuk atau uitlokker, membujuk turut serta dengan memberikan hadiah sebagai sarananya, dan orang yang turut serta tidak berada dalam posisi terpaksa tapi bebas menentukan sikapnya apakah bersedia atau menolak bujukan sang aktor utk membunuh si korban. Dalam kasus ini tidak ditemukan siaktor  sebagai  pemberi perintah atau doenpleger sebab pada orang yang diperintah tidak dapat menentukan kehendaknya untuk menolak perintah tersebut tetapi pasti mematuhi perintah tsb, sehingga yang diperintah tidak dipidana, dengan syarat isi perintah tidak melanggar hukum, yang memberi perintah berwenang memberikan perintah tersebut dan si pemberi perintah adalah atasannya langsung dari yang diperintah. Karena itu orang yang berada dalam posisi menjalankan perintah tidak dapat dipidana.

Pertanyaannya apakah ada pelaku yang diperintah dalam kasus ini, sehingga dilepaskan dari tuntutan pidana ?jawab nya tidak ada.. Semua adalah pelaku Turut sera medepleger untuk pasal 340 KUHP. Tapi saya tidak habis pikir,  jika satu tindak pidana dilakukan pada korban yang sama, dengan jenis tindak pidana yang sama, di Tkp yang sama dan dalam waktu yang sama, tapi kok ancaman pidananya bisa berbeda, ada pelaku nya yang diancam dengan pasal 340 KUHP Pembunuhan Berencana dengan pidana mati tapi ada pelaku yang diancam dengan pasal 338 KUHP pembunuhan sengaja, dgn pidana 15 tahun penjara. Semestinya ini tidak boleh terjadi, apalagi hanya dengan alasan supaya pidana pada Bharada E lebih ringan maka digiring pasal 338 KUHP ke yang bersangkutan.

Harusnya tetap didakwa pasal 340 KUHP, apalagi dengan status pelaku sudah sebagai Justice of Colaborator maka pidananya akan diputus oleh hakim jauh lebih ringan dibanding pelaku lainnya. Hakim bebas menjatuhkan pidana dari ancaman pidana maksimum pidana mati atau 20 tahun penjara hingga satu tahun penjara pidana paling terendah, sesuai dengan keyakinan hakim. Jadi bukan pasal yang didakwakan yang dirobah tapi pidana yang di jatuhkan yang direndahkan untuk Bharada E. Sebaliknya untuk ibu PC apakah bisa didakwakan dengan pasal 340 KUHP, saya merasa pesimis, dengan alasan berdasarkan info yang beredar, keterlibatannya adalah hanya pada saat terjadinya atau setelah  eksekusi di rumah misal nya dua hari kemudian setelah eksekusi membuat laporan palsu ke Polres Jaksel, atau ada saksi melihat PC ada di lantai tiga di TKP saat eksekusi, atau ada keterangan saksi yang menyatakan supaya pelaku diam tidak membocorkan rahasia, masing-masing dibayar sekian rupiah, maka perbuatan tersebut bukan pembunuhan berencana, jika hal-hal tersebut dilakukan PC setelah terjadinya pembunuhan, hal itu tidak masuk unsur perencanaan yang merujuk harus ada motif, harus ada niat yang timbul sebelum terjadi pembunuhan bukan pada saat atau setelah terjadi eksekusi. Jika perbuatan PC adalah setelah terjadi eksekusi pada korban, atau pada saat terjadi pembunuhan, maka pasal yang didakwakan adalah pasal  56 Jo pasal 340 KUHP iaitu Pembantuan melakukan Pembunuhan berencana, bukan pasal 55 Jo pasal 340 KUHP yaitu turut serta melakukan pembunuhan berencana yang ancamannya hampir sama beratnya dengan pidana yg di di jatuhkan pada aktor intelektualnya. Sebaliknya pada pasal 56 jo 340 KUHP atau Pembantuan untuk Pembunuhan berencana, ancaman pidananya lebih ringan, karena pada pembantuan atau Medeplegtegheid pidananya di kurangi 1/3 (sepertiga,) dari ancaman pidana pokoknya iaitu maksimum 20 tahun. 1/3 dari 20 tahun sama dengan 13,5 tahun, artinya pidana penjara maksimum utk PC adalah 13,5 tahun. Hakim bebas menjatuhkan pidana dari 13,5 tahun hingga yang terendah satu tahun.

Hal-hal lainnya yang perlu dianalisis adalah adanya beberapa ketentuan yang berlaku pada perbuatan para tersangka iaitu penerapan Concursus idealis misalnya, apakah pembunuhan berencana ini diawali dengan tindakan penganiayaan pada korban,  jika ya, maka ada dua pasal yang di langgar iaitu pasal 355 KUHP yaitu Penganiayaan berat yang direncanakan mengakibatkan kematian dengan pidana 15 tahun penjara dan pasal 340 KUHP dengan pidana mati. Dan jenis perbarengan nya adalah Concursus Idealis pasal 63 KUHP. Maka penerapan pidananya adalah hanya satu iaitu pidana yang paling terberat. Begitu juga dengan pasal 362 KUHP Pencurian dana dalam rek ATM menjadi Concursus Realis pasal ,65 KUHP dengan TPPU dimana penerapan pidananya adalah satu pidana terberat ditambah sepertiga dari pidana terberat.

  • Penulis adalah ahli hukum pidana Universitas Bung Karno Jakarta
prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan