Jakarta, Pro Legal News – Komite Aksi Transportasi Online (KATO) menyatakan kecewa dengan keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang menolak melegalkan ojek online sebagai alat transportasi umum. KATO menilai putusan MK tidak memikirkan hak konstitusi ojek online.
Atas putusan itu KATO mendesak DPR untuk membentuk pansus terkait putusan itu. “Keputusan hakim MK tidak menjunjung rasa keadilan. Kenapa rasa keadilan tidak diadopsi oleh MK. Ojek online ada di tengah-tengah masyarakat dan sangat dibutuhkan, tetapi nggak ada perlindungan. Ini negara kekuasaan apa negara hukum,” kata Koordinator KATO Said Iqbal saat konferensi pers di Kantor LBH Jakarta Jalan Dipenogoro, Jakarta Pusat, Minggu (1/7).
KATO mengkritik argumentasi hakim dalam membuat keputusan tersebut. Argumentasi yang digunakan oleh hakim MK seolah-olah dibiarkan apa yang menjadi hak konstitusi para pengemudi ojol menunggu kebaikan hati pemerintah.
Menurut Iqbal pihak dalam dekat akan menggugat Presiden Joko Widodo beserta kabinet kerjanya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla, para pimpinan DPR dan Ketua DPR juga akan digugat.
KATO akan meminta kepada PN Jakarta Pusat ini agar hakim menetapkan pemerintah bersalah. Selain itu, pihaknya juga meminta negara pengemudi ojek online mendapat pengakuan dan perlindungan hukum.
Menurut Iqbal ke depan langkah hukum yang akan ditempuh pihaknya melakukan judicial review ke Mahkamah Agung dan meminta agar angkutan roda dua dinyatakan sebagai angkutan umum.
KATO juga mendesak DPR untuk membentuk panja dan pansus untuk merevisi UU Nomor 22 Tahun 2009. Langkah politik yang ditempuh kata Iqbak ada dua, yaitu mendesak DPR membentuk panja dan pansus ojol dan meminta masuk di Baleg 2019, revisi UU Nomor 22 Tahun 2009,” imbuh dia.
Kalau pemerintah tidak mengabulkan permohonan mereka maka KATO akan mengerahkan pengemudi ojek online untuk melakukan aksi. Meski begitu KATO tetapn berharap dengan melegalkan ojek online sebagai angkutan umum, para aplikator akan berubah menjadi perusahaan transportasi. Ke depan akan ada pengakuan dan perlindungan hukum bagi pengemudi ojek online.
Sebelumnya, MK menolak melegalkan ojek online sebagai alat transportasi umum. Hal itu menjawab gugatan para pengemudi ojek online yang cemburu lantaran tidak dibuatkan payung hukum layaknya taksi online.
Kasus bermula saat pengojek online, Yudi Arianto dan 16 rekannya menggugat UU LLAJ. Mereka merasa haknya tidak dijamin UU. Apalagi, merujuk pada taksi online, pengemudi taksi online dilindungi UU LLAJ.
Karenanya Yudi bersaman teman temannya menggugat petmasalagan ini ke MK. Namun hakim MK nenolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. tim