- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Menunggu ‘Ijtihad Politik’ Poros Tengah

Ilustrasi (rep)

Oleh : Gugus Elmo Rais

Hajatan politik Pilkada  DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 lalu telah meninggalkan residu politik berupa fragmentasi aliran dan kelompok yang saling berhadap-hadapan yang direpresentasikan dengan kelompok Kampret dan Cebong. Dalam sistem demokrasi fragmentasi kelompok dan aliran yang terkadang menimbulkan friksi itu adalah fenomena yang biasa. Karena dari proses dialektif itulah muncul konklusi sebagai solusi untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara seperti halnya teori propperian (Karl Raymond Propper).

Tetapi secara empirik ada fenomena yang  sangat menyedihkan bahwa proses demokratisasi masih dijalani dengan sikap yang childist (kekanak-kanakan) dan kurang civilize  (kurang beradab). Kebebasan berbicara sebagai qonditio sine qua non (prasyarat utama) demokrasi masih digunakan  secara serampangan dan ugal-ugalan, seakan dalam sistem demokrasi itu tidak ada fatsoen (tata krama politik). Sesuatu yang secara kosmos mencerminkan jika bangsa Nusantara yang semula dikenal sebagai bangsa yang santun dan ramah ini telah menjelma menjadi bangsa yang brangasan.

Fenomena yang terjadi saat ini adalah ejawantah dari politik yang liberal sekaligus barbar. Kritik tidak lagi menggunakan bahasa yang santun dan membahas hal-hal yang substansial. Tetapi justru kritik sering disampaikan  secara kasar dan vulgar. Sikap nyinyir berbalas nyinyir, framing dibalas dengan framing yang lebih keji. Seakan tidak ada lagi kelompok yang mau berpikir jernih. Yang muncul adalah keinginan untuk saling menjatuhkan, tanpa peduli lagi apakah framing itu berbasis data atau tidak. Bila dalam foklor Jawa ada sebuah seloka adi luhung  yang cukup populer, ngalahake tanpo ngasorake (mengalahkan tanpa harus mempermalukan) yang terjadi saat ini justru sebaliknya ngasorake kanggo ngalahake (mempermalukan/memfitnah untuk mengalahkan).

Meskipun sudah  banyak haters dan para penyebar hoaks  serta penabur kebencian telah diproses secara hukum. Artinya proses pemidanaan sebagai upaya ultimum remedium  untuk menimbulkan effek jera (detterent effeck) seperti halnya tesis Jeremy Bentham  tidak bisa memberikan hasil maksimal. Masih saja ada orang-orang yang karena syahwat politiknya secara rajin mengumbar sikap nyiyir terhadap lawan politiknya.

Padahal  secara fakta, lawan politiknya tidak berbuat seperti apa yang dituduhkan, tetapi tetap saja seperti tidak mengenal lelah untuk membully dan menghujat, atas nama demokrasi.  Ironisnya banyak kelompok yang mendeklar sebagai penjaga Negara Kesatuan  Republik Indonesia (NKRI) tetapi dengan cara menghujat kelompok lain, sekaligus mengharap kelompok lain enyah dan pergi dari bumi pertiwi. Kondisi seperti ini bila tidak segera diredam dengan penegakan supremasi hukum (equality before the law), maka ancaman disintegrasi hanya persoalan waktu.

Kita harus belajar dari hancurnya Uni Soviet  menjadi 15 negara, semata karena dampak dari semangat kebebasan (glasnost dan perestroika) yang diusung oleh Mikhael Gorbacev. Rumah kebangsaan bangsa Siberia  yang terdiri dari  sekitar 190 suku itu hancur berkeping-keping menjadi 15 negara setelah terjadi sikap saling serang dan persekusi sehingga suku-suku yang lebih kecil merasa tidak nyaman dan berjuang memisahkan diri pada tahun 1991 lalu.

Sudah saatnya semua elemen bangsa menjaga roh kebangsaan yakni kehendak untuk bersatu “Le désir d’etre ensemble” yang dikutip Soekarno dari filsuf seperti Hans Kohn, Ernest Renan dan Otto Bauer untuk menumbuhkan kesadaran nasional (national guest). Yang pada akhirnya memunculkan kemauan nasional (national will). Atas kesadaran nasional itulah sejumlah ulama yang tergabung ormas Jamiatul Kheir  di Surabaya memunculkan fatwa hubhuul wathan minnal iman (bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman). Fatwa itulah yang menjadi salah satu energi perjuangan Bangsa Indonesia yang luar biasa.

Pondasi kebangsaan itu semakin terbangun dengan munculnya peristiwa Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 yang merupakan perwujudan dari tiga fase perjuangan yakni national guest, national will dan national daad. Terbentuknya bangsa Indonesia telah melalui tahapan dan perjuangan yang sangat panjang. Maka sangatlah ironis jika bangunan  kebangsaan itu  kini terancam ambyar oleh segelintir orang dan kelompok yang rajin menebar hoaks melalui Medsos hanya untuk Pansos dan cari sensasi hanya untuk mengumbar syahwat politiknya, dengan cara memaki-maki kelompok lain.

Soekarno selalu mengajarkan kita untuk tidak melupakan sejarah (Jasmerah) dan sejarah telah mencatat karena ingin bangsanya tidak terpecah-pecah Soekarno sempat menawarkan gagasan sinkretisme ideologi melalui Nasakom, meski telah terbukti  tiga kali komunisme melakukan upaya kudeta dan ingin merubah ideologi Negara. Sangatlah ironis bila ada sekelompok orang yang mengklaim pengikut Soekarno tetapi tetap menggelorakan semangat untuk memusuhi kelompok tertentu.

Sudah saatnya semua elemen bangsa memikirkan  sistem berbangsa dan bernegara yang lebih baik dan menutup ruang terjadinya sikap saling caci dan saling persekusi. Karena terbukti liberalisasi politik sebagai buah dari proses reformasi telah menciptakan kebebasan yang kebablasan, serta melahirkan sistem demokrasi jalanan. Energi bangsa ini sering terkuras untuk meributkan hal-hal yang tidak substansial.

Liberalisasi politik yang merupakan buah dari proses reformasi itu  telah membelah bangsa ini menjadi dua kelompok sekaligus menimbulkan friksi yang tajam antara kelompok kiri dan kelompok kanan. Apalagi dengan  munculnya ketentuan presidential threshold sebesar 20 % akan memunculkan dua kelompok yang saling baku serang. Peluru yang paling efektif untuk menyerang lawan adalah peluru primordialisme  dan rasisme.

Terbukti, kedua kelompok  itu telah memperoleh margin politik yang sangat besar dengan menjual framing berupa politik identitas yakni kelompok kiri selalu memunculkan framing jika kelompok kanan akan mengimpor ideologi ekstrem  yang akan merubah haluan bangsa ini menjadi penganut faham khilafiah. Sebaliknya kelompok kanan juga sering memproduksi framing jika rezim yang sekarang cenderung dekat dengan faham komunisme.

Padahal kalau kita mau membreakdown dan berpikir jernih, kekhawatiran itu sangat berlebihan. Karena meski faktanya kelompok puritan  dan fundamental itu ada tetapi jumlahnya tidak signifikan. Secara mayoritas Islam di Indonesia melalui Ormas besar seperti Nahdlataul Ulama dan Muhammadiyah adalah Islam yang moderat dan selalu berusaha ada di tengah. Perubahan kontitusional dengan merubah undang-undang  untuk merubah Negara ini bercita rasa khilafah nyaris mustahil karena parlemen mayoritas dikuasai oleh partai–partai nasionalis serta kelompok Islam yang moderat.

Karena perolehan suara partai agama  yang berkisar 31% itupun tidak semua partai agama menginginkan konsep khilafah.  Seperti diketahui dalam Pileg 2014 lalu, lima partai berbasis Islam memperoleh suara sekitar 31,2% dengan rincian, PKB (8,9%), PKS (6,9%), PAN (7,7%), PPP (6,3%), PBB (1,4%). Dengan perolehan suara sebesar itu, maka  perubahan secara konstitusional terbilang mustahil. Begitu juga halnya perubahan melalui revolusi juga terbilang muskil, karena pasti akan berhadapan dengan TNI yang saat ini sangat solid dan profesional. Artinya meributkan konsep khilafah hanyalah meributkan pepesan kosong yang menguras energi.

Kalaupun toh ada gerakan radikal dan ekstremis, kita telah memiliki sebuah lembaga yang sangat efektif untuk menangkal  dan menanggulangi radikalisme yakni Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dua lembaga itu terbukti cukup sigap untuk mengendus, menggulung sekaligus menetralisir gerakan-gerakan radikal.  Pencegahan terorisme dengan melibatkan masyarakat  melalui metodologi counterspy  secara teori memang sangat bagus  dan indah tetapi implementasinya justru menciptakan kekacauan, karena sangat tergantung dari daya inteprestasi setiap individu atas sebuah isu,  justru yang terjadi adalah timbulnya  sikap saling mencurigai, menghakimi bahkan saling persekusi.

Begitu juga sebaliknya kekhawatiran jika Komunisme akan bangkit lagi juga terlalu berlebihan, karena faktanya Komunisme telah bangkrut. Satu-satunya negara yang masih menganut Komunisme yakni Kuba kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Dan keberadaan China sudah tidak lagi merepresentasikan sebagai kekuatan Komunis karena faktanya China telah bermetamorfose menjadi kekuatan neo liberlisme dan neo kolonialisme melalui program belt and road inisiatif  berupa pemberian pinjaman ke sejumlah negara miskin untuk membangun infratruktur. Dalam program ini selain persyaratan penggunaan SDM dari China ada sejumlah konsekuensi jika Negara kreditur tidak mampu membayar hutang secara otomatis akan dilakukan debt to swabt dan debt to equaity, hutang itu akan dikonversikan menjadi saham alias adanya upaya penjajahan secara halus.

Deskripsi di atas memperlihatkan jika dengan kondisi saat ini  sesungguhnya kita telah terjebak  dalam proxy war antara sesama elemen  bangsa. Suatu kondisi yang tercipta karena adanya propaganda asing yang sesungguhnya tidak menginginkan kita hidup  berdampingan secara damai dengan menggunakan isu-isu primordial. Bahkan kita secara tidak sadar terseret oleh pemikiran Samuel Hutington melalui  bukunya, The Clash of Sivilization and The Remarking of World Order (1996).

Dalam buku itu Hutington mendeskripsikan jika pasca berakhirnya perang dingin terjadi benturan peradaban yang berlandaskan pada nilai-nilai agama, suku maupun ras (SARA). Sekilas hipotesa itu seakan benar berdasarkan bukti empirik  dengan munculnya kasus-kasus ujaran kebencian (hate speech) yang menguat secara signifikan dalam beberapa waktu terakhir.

Padahal  kalau kita kaji dan telaah lebih jauh tesis Hutington itu sangat konyol dan gegabah. Pada tataran nilai, semua keyakinan atau agama mengajarkan kedamaian. Dan terbukti hingga saat ini dialog antar agama berjalan secara intens untuk mencarikan persamaan persepsi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Islam sebagai sebuah agama yang sering digambarkan oleh Hutington sebagai aggression and hostility (agresi dan ancaman),  terutama bagi peradaban Barat pada faktanya kini justru sangat diterima di negara-negara Eropa dan Amerika Latin.

Secara empirik krisis yang berlabelkan agama yang terjadi di berbagai belahan dunia seperti Iraq versus Sekutu, Israel-Palestina, ISIS di Iraq dan Syiria, Rohingnya dll adalah krisis yang berhulu dari persoalan politik yang kemudian dilabeli agama. Bahkan bila  kita khawatir Indonesia bisa terjangkit Arab Spring seperti yang terjadi di Suriah, itu juga sangat berlebihan karena kita memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan Bangsa Suriah.

Sehingga menurut saya, sudah saatnya kita akhiri pertikaian pada hal-hal yang tidak substansial  dan hal-hal yang bersifat khilafiah (antar mahzab) serta konsep khilafah. Sudah saatnya bangsa ini menyatukan langkah untuk menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks. Saya cenderung sepakat dengan dengan cara Joseph Nye dan RL Armitage dalam memerangi proxy war  seperti dalam bukunya Soft Power Foreign Policy (1990)  yakni dengan menggunakan pendekatan smart power (kekuatan cerdas) yakni menghindarkan diri dari jebakan perang verbal menggunakan hoaks di Medsos. Karena faktanya masih banyak kalangan cerdik pandai di republik ini yang terjebak ‘pertempuran’ konyol di media sosial.

Melihat konfigurasi politik seperti itu, maka sangat menarik  bila kita melihat  manuver tiga partai yang tergabung dalam koalisi Indonesia Bersatu yang terdiri dari Partai Golkar, PAN dan PKB. Dengan perolehan suara pada Pileg 2019 lalu, Partai Golkar, (12.31%),  PAN (6,84%), PPP (4,52%),  atau total 23,67 % maka kaukus politik itu telah memenuhi syarat  untuk menyorongkan Capres dan Cawapres sendiri karena telah memenuhi ketentuan presidential threshold. Manuver  partai  (poros) tengah  (dalam pengertian ideologi dan perolehan suara)  itu terbilang sebagai manuver yang cerdas. Ditengah–tengah friksi yang tajam antara kelompok kiri dan kelompok kanan. Sehingga kaukus  politik ini akan memiliki bargain yang sangat kuat, dalam menghadapi rayuan partai lain.

Seperti yang beberapa kali  saya tulis,  saat ini ‘poros  tengah’ inilah yang harus proaktiv untuk bermanuver sekaligus melakukan ‘ijtihad politik’ untuk menyelamatkan NKRI dengan rajin merayu kelompok kiri dan kanan. Karena selama ini Golkar dinilai sebagai ‘partai flamboyan’ yang bisa diterima oleh semua partai. Apalagi Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto memiliki pola pendekatan yang  smooth. Personal image, Airlangga sebagai politisi yang santun sangat melekat kuat. Mantan Menteri Perindustrian ini nyaris tidak pernah terlibat perseteruan dengan politisi lain. Airlangga dikenal memiliki pola pendekatan yang elegan terhadap lawan-lawan politiknya. Sehingga pendekatan yang akan dilakukan oleh koalisi Indonesia Bersatu akan sangat efektif.

Tetapi pertanyaanya,  siapakah calon yang akan diusung oleh kaukus politik Indonesia Bersatu itu ?. Kader  dari ketiga partai itu belum ada yang memiliki nilai jual  yang memadai.Tingkat elektabilitas Ketua Umum Golkar sebagai ‘komandan’ koalisi juga relatif masih rendah. Berdasarkan hasil survey dari berbagai lembaga survey, tingkat elektabilitas Airlangga juga masih sangat kecil hanya berada pada kisaran 1%. Meski Pilpres 2024 masih 2 tahun lagi, sangat berat untuk mengendors tingkat elektabilitas Airlangga kecuali ada event yang luar biasa. Partai Golkar terkesan ‘adem ayem’ menikmati posisi seperti saat ini. Apalagi dua partai lainnya yakni PAN dan PPP, kondisinya  juga sarwa kene.

Dalam bursa Capres 2024  sesuai hasil survey beberapa lembaga survey hanya beberapa nama yang tampil dominan seperti  Gubernur Jawa  Tengah, Ganjar Pranowo, Menhan Prabowo Soebianto  hingga Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Dari ketiga nama itu hanya Prabowo Soebianto  yang kemungkinan besar fix diusung oleh partainya Gerinda untuk maju dalam Pilpres 2024. Kemungkinan besar Prabowo akan berpasangan dengan Puan Maharani sebagai kelanjutan dari serial  ‘ Surat Cinta Dari Batu Tulis’.  Sementara dua nama lainnya, Ganjar dan Anies masih ‘terkatung-katung’ menunggu pinangan dari  sejumlah partai hingga terpenuhinya ketentuan presidential threshold.

Jika tingkat elektabilitas calon dan mesin politik menjadi variable yang sangat menentukan kemenangan calon dalam palagan Pilpres 2024, dapat dipastikan kontestasi dalam menentukan Capres dan Cawapres  menjadi fase yang sangat seru dan krusial. Ganjar Pranowo sebagai kandidat yang memiliki tingkat elektabilitas paling tinggi hingga saat ini posisinya masih terkatung-katung, karena ‘induk semangnya’ Ketua Umum PDIP belum memberikan sinyal untuk merestui. Padahal dengan menganak tirikan Ganjar justru akan merugikan partai berlambang banteng  itu sendiri, mengingat grass root PDIP secara de facto adalah pendukung fanatik Ganjar. Ada kemungkinan jika PDIP meninggalkan Ganjar akan memperoleh karma ditinggalkan oleh konstituennya.

Tak berbeda jauh dengan Ganjar posisi Anies Baswedan juga masih terkatung-katung setelah ‘putus cinta’ dengan Partai Gerindra yang lebih mengusung Prabowo sebagai jagoannya dalam Pilpres 2024 mendatang. Tingkat elektabilitas Anies  juga terus melambung meski terus dihujani cacian dan bullyan. Pemberian Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI) berbagai agama serta terpenuhinya sejumlah janji kampanye termasuk kelarnya pembangunan Jakarta Internasional Stadium (JIS)  telah melambungkan popularitas Anies mendekati angka yang telah diperoleh Ganjar. Sekaligus mulai tereliminirnya tuduhan,  jika Anies  adalah trigger kelompok kanan. Satu-satunya partai yang sudah terlihat PDKT dengan dengan Anies adalah Nasdem.

Melihat posisi Ganjar yang dianak tirikan oleh PDIP serta Anies yang telah ‘dilepeh’  oleh Gerindra, maka saat inilah momentum   yang pas buat kaukus politik Indonesia Bersatu untuk  melakukan ‘ijtihad politik’  untuk menyatukan dua anak bangsa yang memiliki massa yang riil sekaligus merepresentasikan kekuatan politik yang ada di Indonesia yakni kelompok kiri dan kelompok kanan. Ganjar merepresantasikan kelompok nasionalis sementara Anies adalah merepresentasikan kelompok  kanan. Jika keduanya bisa disatukan  secara otomatis akan terjadi islah seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Jokowi dengan merangkul Prabowo. Bahkan bila itu dilakukan akan mewujudkan mimpi Soekarno untuk melakukan sikretisme ideologi antara ideologi kanan dan idelologi kiri. Sehingga bangsa ini bisa fokus melanjutkan pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintahan sekarang dan bukan saling meniadakan dan meributkan pepesan kosong seperti yang terjadi saat ini.***

 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan