Oleh : Gugus Elmo Ra’is
Pemerintahan Prabowo-Gibran telah memasuki usia catur wulan atau berkisar 4 bulan. First impression (kesan pertama) publik terhadap performa pemerintahan Prabowo selama tri wulan pertama (100 hari) berdasarkan hasil survey beberapa lembaga survey cukup menjanjikan dengan berkisar 80% atau yang terbesar dalam sejarah awal pemerintahan sebuah rezim di Indonesia. Maka sangat menarik ditelisik, apakah visi Prabowo menuju Indonesia Emas 2045 akan terwujud ?.
Banyak indikator dari berbagai aspek yang harus dikaji, apakah berbagai great leap forward (lompatan besar) Prabowo untuk mewujudkan impiannya menjadikan Indonesia sebagai super power baru itu bisa berjalan dengan mulus. Sesuai dengan visi misinya dalam buku ”Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045” untuk segera membangunkan raksasa tidur.
Salah satu sektor yang menjadi energi utama untuk menjalankan lompatan besar itu adalah sektor fiskal dengan melakukan upaya peningkatan tax ratio baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak. Seperti diketahui bahwa tax ratio Indonesia yang berkisar 9, 8 % merupakan tax ratio terendah di kawasan ASEAN bahkan bila dibandingkan dengan Kamboja yang berada pada kisaran 15,6 %. Sektor ini memiliki potensi ini sangat besar mengingat PDB kita telah mencapai USD 1 triliun. Jika tax ratio itu bisa didongkrak hingga dua digit maka pemasukan keuangan negara sangatlah besar dan menjadi energi yang besar untuk menggerakkan roda pemerintahan serta mendukung berbagai progam pemerintah. Argumentasi itulah yang melandasi niatan pemerintah untuk membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN).
Maka ‘pagi-pagi’ sekali pemerintah langsung mewacanakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% sekaligus sebagai test the water (test ombak). Publikpun langsung jenggirat (bangun karena kaget) menyikapi gagasan yang dianggap tidak realistis mengingat perkonomian Indonesia masih masuk dalam fase bleeding (berdarah-darah) karena adanya turbulensi dan bearish yang hebat pasca pandemi Covid-19. Beruntunglah pemerintahan ini segera sadar dan bersikap realistis jika perekonomian nasional masih dalam kondisi ‘semaput’ sehingga tidak bisa memaksakan beleid itu.
Pendekatan yang elegan untuk mendongkrak pendapatan itu adalah ‘melokalisir’ sektor apa saja yang akan dikenakan PPN 12%. Prabowo secara sigap menyatakan jika kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah, yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah yang dikonsumsi oleh golongan masyakat berada. Bahkan Prabowo juga menjanjikan 15 paket stimulus ekonomi senilai Rp 38,6 triliun.
Salah satu program yang memperlihatkan keseriusan Prabowo untuk menyiapkan human resource atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul guna mewujudkan visinya menuju Era Indonesia Emas 2045 adalah program makan siang gratis melalui Badan Gizi Nasional (BGN). Sebelum pasangan Prabowo-Gibran dilantik melalui opini berjudul ‘Makan Siang Gratis Yang Traumatis’ yang terbit pada tanggal 7 Maret 2024, saya adalah salah satu orang yang mengkritik keras program makan siang gratis berdasarkan pengalaman pada era Orde Baru. Namun, secara obyektif saya harus memberikan apresiasi terhadap pemerintahan Prabowo, yang membuat program jauh lebih terkonsep dan lebih efisien dibanding dengan program makan siang gratis yang pernah dilakukan oleh Mensos Sri Hardianti Rukmana (Mbak Tutut) ketika akhir pemerintahan Soeharto yang meninggalkan banyak hutang di Warung Tegal (Warteg).
Rencana pemotongan anggaran di 10 Kementerian sebesar Rp 256,1 triliun pada tahun 2025 juga layak untuk dikaji. Jenderal yang loyal ini (Prabowo) juga harus menghitung multiplier effeck dan contagion effeck (efek karambol) yang ditimbulkan seperti yang pernah dilakukan oleh ‘sang mentor’ Jokowi. Ketika Jokowi didaulat sebagai Presiden RI menggantikan SBY, beleid pertama yang dilakukan adalah pemotongan anggaran besar besaran sekitar Rp 136 trilun. Salah satu pos anggaran yang dipotong itu adalah anggaran sosialisasi program. Kebijakan itu dibungkus dengan retorika yang manis, tidak perlu sosialisasi yang penting kerja. Karena sosialisasi cenderung hanya pencitraan, padahal kerja nyata itu jauh lebih penting. Sekaligus sebagai upaya penghematan anggaran. Sementara postur kabinet kita telalu gemuk, yang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Multipllier efeck dari kebijakan itu adalah terjadinya kiamat kecil dari sektor pers maupun sektor perhotelan serta berbagai sektor lainnya. Karena anggaran untuk sosialisasi melalui media menjadi zonk dan nihil. Berdasarkan penelitian saya jumlah perusahaan pers menyusut drastis, ketika era SBY masih berkisar diatas 1000 perusahaan namun pasca kebijakan itu banyak media yang gulung tikar karena tidak mendapat asupan dana iklan sehingga tersisa hanya 141 perusahaan, berdasarkan data perusahaan pers yang terverifikasi per Desember 2018. Itu manjadi salah satu alasan kian meraja lelanya Medsos. Maka saran saya, pemerintah harus benar-benar menghitung dan mengkaji ulang sektor apa saja yang layak untuk dipotong anggarannya.
Sektor ekonomi memang menjadi sektor yang harus dikelola dengan sangat prudent mengingat kondisi perekonomian dunia sedang loyo karena berbagai faktor seperti dampak pandemi yang belum benar-benar pulih serta kondisi geo politik yang masih panas karena adanya beberapa konflik kawasan maupun perang antara negara. Sehingga kondisi pasar memang sedang ngedrop, apalagi dengan terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika.
Berbekal doktrin ‘American First’ si Jambul ini telah mengancam akan menaikan tarif terhadap beberapa komoditi impor dari berbagai negara termasuk Indonesia. Sehingga berpotensi mengurangi surplus perdagangan antara Indo-USA yang mencapai US D 31,04 milliar dan itu dinikmati oleh Indonesia. Maka komunikasi politik elegan yang dilakukan Prabowo ketika menelepon Trump saat pengumuman kemenangan mantan suami artis Marla Maples itu memiliki makna strategis untuk mengurangi ‘kebuasan’ Trump.
Apalagi sebelumnya Indonesia telah mendeklar bergabung dengan blok ekonomi yakni Brazil, Russia, India, China, and South Africa (BRICS). Meski langkah ini memberikan banyak keuntungan dan menciptakan kemandirian secara ekonomi tetapi langkah ini bisa mengundang Amerika untuk melakukan ‘talak 1’ terkait hubungan ekonomi dan perdagangan dengan Indonesia. Karena sebelumnya mantan suami Ivana itu telah beberapa kali mengancam akan melakukan serangan balik terhadap anggota BRICS. Maka momentum ini bisa menjadi ajang ‘uji nyali’ bagi Prabowo untuk menentukan langkah diplomasinya. Bisa nggak Prabowo menjinakkan si Jambul seperti halnya ketika Bung Karno bisa menaklukan D Eisenhower dan John F Kennedy melalui manuver dengan Presiden Uni Soviet, Nikita Kruschev.
Sektor yang tak kalah penting dan memiliki potensi terjadinya delegitimasi adalah sektor penegakkan supremasi hukum (law enforcement). Karena sektor ini memiliki tingkat kepuasan publik yang relatif lebih rendah ketimbang sektor lain, hanya berkisar 72,1 %. Putusan ringan kasus Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah sekitar Rp 300 triliun yang divonis hakim 6,5 tahun telah menimbulkan benchmark yang buruk terhadap pemerintahan Prabowo yang dianggap tidak beda dengan pemerintahan sebelum-sebelumnya. Yang dianggap hanya bisa speak-speak belaka, sekaligus menegaskan pomeo, ‘hukum tajam kebawah dan tumpul ke atas’ terutama untuk kasus korupsi yang memiliki nilai kerugian Negara yang fantastis.
Publik tidak mau tahu jika putusan hakim itu menjadi domain yudikatif berdasarkan kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak bisa diintervensi. Maka disinilah perlunya komunikasi dan sosialiasi yang cerdas. Karena statement Prabowo yang menginginkan Harvey dihukum 50 tahun terbukti tidak efektif dan dianggap hanya sebagai excuse belaka. Masih perlu tindakan konkrit yang lebih ekstrim agar para hamba wet itu menjalankan tugasnya secara baik dan benar.
Kasus kedua yang bisa dijadikan parameter komitment pemerintahan Prabowo dalam peneggakan supremasi hukum adalah kasus pagar laut. Jika treatment pemerintahan ini tidak benar serta tidak holistik akan berpotensi menimbulkan proses deligitimasi yang hebat terhadap pemerintahan Prabowo. Sekaligus akan menjadi sebuah konfirmasi seakan-akan pemerintahan ini dibawah kendali dan berada di ketiak oligarki.
Proses pencabutan bambu yang dilakukan oleh berbagai instansi terkait tidak akan menyelesaikan persoalan sekaligus tidak menimbulkan efek jera. Apalagi secara lugas Menteri ATR BPN, Nusron Wahid telah menyebutkan jika ada 234 SHGB. Sehingga ada indikasi kuat terjadinya penyerobotan dan perampasan lahan negara atau setidak-tidaknya ada tindak pidana pemalsuan. Dalam sudut padang hukum pidana, setiap tindak pidana itu berpotensi ada pelaku perbuatan yang tidak tunggal.
Apalagi untuk kejahatan yang tidak masuk kategori sebagai pelaku kriminal biasa seperti yang didefinisikan oleh Robert M. Bohm dan Keith N. Haley maupun Cesare Lombroso dalam bukunya Atrhropologi Crimina, timbulnya SHGB ini tidak termasuk dalamkejahatan jalanan. Dalam kasus ini memiliki potensi adanya banyak pelaku baik yang masuk kategori orang suruhan (medepelger) atau orang yang menyuruh atau otak pelaku (doenpleger). Semua bisa dijerat dengan delik deelneming (penyertaan) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 KUHP. Maka untuk menindaklanjuti pernyataan Nusron perlu special treatment (perlakuan khusus) sehingga kasus ini bisa diusut tuntas siapa pelaku dan siapa yang menyuruh sekaligus membiayai. Perlakuan khusus itu untuk menjawab kerinduan masyarakat, hukum bisa ditegakkan secara equal (equality before the law).
Sementara dalam bidang politik, Prabowo harus tetap menjaga iklim demokrasi yang sehat, serta memberikan jaminan kebebasan berpendapat, tentu dalam batas-batas tertentu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Rencana pertemuan Prabowo dengan Mega, harus segera direalisasikan. Untuk menentukan tensi politik yang masih memanas sekaligus memperlihatkan kedewasaan berpolitik. Tentu Prabowo juga punya keinginan untuk menciptakan stabilitas sekaligus kontiyuitas program yang telah disusunya tanpa harus memasukan semua elemen politik dalam tubuh pemerintahannya untuk tetap menyisakan ruang bagi kekuatan kekuatan penyeimbang yang berfungsi sebagai watch dog (anjing penjaga).(***)
· Penulis adalah praktisi hukum dan Direktur Eksekutif Kajian Poleksosbudkum, Cakra Emas Syndicate.