- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Menghapus Garis Demarkasi Imaginer Di Gaza

Ilustrasi (rep)

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Semua umat  beragama Samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam), pasti menganggap   jika  bangsa  maupun agama Yahudi  itu sebagai ‘saudara tua’  yang berasal dari garis keturunan Nabi Ibrahim (Abraham) yang dikenal sebagai Abul Anbiya (bapak para Nabi). Dan bagi kaum Muslim,  semua meyakini jika Yahudi sebagai suku dan agama mayoritas di Negara Israel  itu memang diberkahi dengan sejumlah keistimewaan. Sama halnya umat Islampun juga meyakini sejumlah keistimewaan atau mu’jizat yang dimiliki oleh Nabi Isa A.S sebagai pembawa agama Nasrani diantaranya adalah mampu menghidupkan orang mati, Nabi Isa A.S ini bagi kaum Nasrani lebih dikenal dengan nama Yesus Kristus.

Seperti yang temakthub dalam QS Surat Almaidah Ayat 110 yang menyatakan  “Wahai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan Ruhulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia pada waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. (Ingatlah) ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu, (juga) hikmah, Taurat, dan Injil. (Ingatlah) ketika engkau membentuk dari tanah (sesuatu) seperti bentuk burung dengan seizin-Ku, kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. (Ingatlah) ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. (Ingatlah) ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur menjadi hidup) dengan seizin-Ku. (Ingatlah) ketika Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuhmu) pada waktu engkau mengemukakan kepada mereka tentang keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata,”Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata,”

Dalam Al Qur’an juga banyak ayat yang telah mendiskripsikan, tentang kecerdasaan  dan keistimewaan Bangsa Yahudi, sebutlah dalam QS : 2 : 40, 47, 50, 52, 53, 56, 57, 58, 60, 61, 64.  Secara spesifik dalam Surat Al Baqoroh  ayat 122, Al Qur’an telah menyebutkan, “Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Ku-anugerahkan kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu atas segala umat,”. Bahkan Tuhan secara simbolik pernah memperlihatkan kemampuan istimewa Bangsa Yahudi dalam bentuk pemberian mu’jizat yang tidak bisa diterima secara nalar manusia biasa berupa kemampuan Nabi Musa membelah lautan,  ketika dikejar oleh Fir’aun sekaligus menenggelamkan penguasa lalim itu.

Begitu juga halnya bagi penganut agama lain selain Islam seperti halnya Nasrani dan tentu saja Yahudi, pengikut Nabi Musa itu sering disebut-sebut sebagai bangsa yang diberkati Tuhan. Dalam skala tertentu klaim itu sah-sah saja dan tidak perlu kita bantah. Tetapi yang sangat ironis  dan layak untuk dicermati adalah bagaimana sikap bangsa dan umat Yahudi  sendiri terhadap ‘adik-adiknya’ yakni umat Nasrani yang setiap tahun datang dan berziarah ke Israel serta Umat Islam yang sering datang ke Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsho. Dalam beberapa waktu terakhir terungkap fakta yang menyedihkan (sempat viral) jika banyak Umat Nasrani yang diludahi oleh kaum Yahudi (anak-anak dan orang dewasa) ketika berziarah ke Bethlehem. Sementara Masjidil Aqsho juga tidak pernah sepi dari gangguan tentara Israel. Sehingga menimbulkan pertanyaan besar,  begitukah cara yang layak bagi Yahudi untuk menyambut kedatangan ‘adik-adiknya’ ?

Kemudian muncul persoalan  yang  sangat pelik,  yakni ketika sesama keturunan dari Abul Anbiya (Bapak para nabi) Ibrahim AS itu kini terlibat konflik, untuk memperebutkan lahan. Karena ada realitas yang tak terbantahkan di wilayah yang kini dikuasai dan diperebutkan oleh Bangsa Yahudi  dan Bangsa Palestina yakni Yerusalem Timur terdapat tiga tempat suci, yakni tembok ratapan di Bait Suci (Temple Mount), Bethlehem tempat kelahiran Nabi Isa (Yesus) serta Al Aqsho tempat transit bagi Nabi Muhammad SAW yang merupakan salah satu keturunan dari Nabi Ibrahim melalui Ismail, sebelum menuju sidhrotul muntaha  (langit ke 7) untuk memperoleh perintah sholat dari Allah SWT. Sehingga ketika muncul krisis di Yerusalem Timur secara otomatis melibatkan emosi masing-masing umat.

Ketika krisis Gaza semakin membesar pasca penyerangan serentak yang dilakukan oleh Hamas, 7 Oktober  2023 lalu, seketika muncul ‘garis demarkasi imaginer’ antara umat beragama. Semua umat Muslim secara otomatis berdiri di belakang Palestina.  Dengan argumentasi selain kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa sesuai dengan preambule UUD 1945  dan tentu saja adalah sebagai bentuk ukhuwah Islamiyah, karena di tempat itu ada  tempat suci yakni Al Quds atau Masjidil Aqsa serta alasan tambahan yakni  perasaan hutang budi, karena salah satu tokoh yang pertama kali mendukung kemerdekaan Indonesia adalah mufti asal Palestina yakni Mufti Syek Muhammad Amin Al Husaini yang pada 6 September 1944 secara de facto mengakui kemerdekaan Indonesia.

Tetapi banyak juga pihak yang secara terang-terangan atau diam-diam mendukung setiap langkah Israel untuk menggempur Hamas dan melanjutkan langkah pendudukan terhadap Gaza maupun daerah lain di Palestina. Padahal selain ada fakta banyak umat Nasrani yang diludahi, serangan Israel yang diklaim sebagai respon atas serangan dari Hamas itu ternyata ada yang menyasar gereja dan banyak umat Nasrani yang turut menjadi korban. Seperti serangan bom yang menimpa Gereja Santo Porphyrius, 26 Oktober lalu.

Dalam serangan itu setidaknya 17 jamaah gereja meninggal dunia. Hingga saat ini tercatat setidaknya 3 gereja dan 47 masjid hancur total. Sebagai catatan meski di Palestina itu mayoritas Muslim tetapi setidaknya ada 50 ribu umat Nasrani yang selama ini hidup berdampingan secara damai  dan rukun dengan kaum Muslim di Palestina. Bahkan Yassir Arafat, Pemimpin PLO maupun Palestina memiliki istri bernama Souha Tawil yang dikenal sebagai penganut Kristen yang taat, dan saat itu tidak ada elemen masyarakat Palestina yang memprotes sikap Yassir Arafat sekaligus menjadi bukti kuatnya toleransi di Palestina.

Artinya dalam konflik perebutan lahan  antara  Israel dan Palestina itu umat Muslim dan Nasrani  adalah sama-sama korban dari keganasan pemerintah Zionis Israel, tetapi sikapnya justru sangat memprihatinkan karena terjadi sikap saling sindir terutama di Medsos. Maka sudah saatnya semua  pihak bisa menyatukan sikap dalam persepektif yang sama yakni dalam persepektif kemanusiaan dan kesetaraan, jika kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Kita tetap menganggap jika Bangsa Yahudi itu bangsa yang diberi keiistimewaan dan kemuliaan oleh Tuhan. Tetapi mari kita dorong bagaimana mereka bisa menjaga dan menunjukkan kemuliaanya dengan cara memperlakukan ‘adik-adiknya’ secara civilize (beradab) atau setidaknya mereka menghormati hukum-hukum internasional. Bukan justru seenak udele dhewe dalam menginterprestasi norma-norma  hukum yang universal itu.

Maka disinilah pentingnya kita  sebagai penganut  salah satu dari ketiga keyakinan itu untuk berpikir jernih dan bersikap obyektif. Kita tidak perlu mengkultuskan suatu bangsa secara berlebihan agar tidak menimbulkan sikap chauvinis terhadap para pihak. Bagi Muslim, meski kita meyakini jika Islam lahir di Kota Suci, Mekah, Arab Saudi, kita juga tidak perlu menganggap jika apa yang dilakukan oleh Bangsa Arab itu selalu benar terutama dalam menyikapi krisis Gaza. Karena faktanya, bangsa itu pernah mengalami jaman jahiliah  yang tidak memiliki norma-norma kesusilaan. Ketika Islam lahir dan besar seperti saat ini, budaya Arab tidak secara otomatis bisa kita jadikan sebagai role model dalam menentukan standar nilai. Secara empirik saat ini budaya borju dan mengabaikan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan masih banyak terjadi di Jazirah Arab.

Begitu juga halnya terhadap orang-orang yang menyakini jika Yahudi adalah bangsa yang diberkati. Sebagaimana lazimnya orang-orang yang diberi keistimewaan oleh Tuhan, cenderung bersikap jumawa (takabur) dan menganggap dirinya yang paling benar. Dan sikap jumawa itulah yang kini diperlihatkan oleh Israel dengan meluluh lantakkan  Bangsa Palestina dengan kekuatan militer penuh. Seperti tidak ada cara lain yang lebih civilize. Seakan Israel hanya ingin mempertontonkan kecanggihan dan kekuatan militernya. Meski lawan yang dihadapi hanya sebesar gurem.

Padahal dunia telah mengecamnya, karena korban yang banyak berjatuhan adalah masyarakat sipil yang terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu. Entah apa yang ada dalam benak para petinggi Israel, sehingga  tidak segera menghentikan pertempuran antara gajah dan semut atau antara David dan Goliath itu. Apakah sikap Israel itu mencerminkan sikap sebagai bangsa yang diberkati Tuhan ?. Sekalipun dasar mereka melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Palestina itu berdasarkan klaim sejarah yang masih perlu diperdebatkan. Apakah dengan keistimewaan sebagai bangsa yang diberkati itu mereka bisa seenaknya merampas hak dan membunuh orang lain ?. Hingga opini ini saya tulis jumlah korban keganasan Israel  berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Gaza mencapai 10.568 jiwa tewas serta 4.324 luka-luka.

Bila kita meminjam analisa dari Noam Chomsky, seorang Laureate Professor of Linguistics di University of Arizona dan Professor Emeritus di MIT, melalui  tulisannya, The Fateful Alliance: The United States, Israel and Palestinians; Gaza in Crisis: Reflections on Israel’s War Against the Palestinians, Israel memang dengan segala cara akan melakukan penggusuran dan pengusiran terhadap Bangsa Palestina untuk diganti dengan pemukiman Yahudi. Dan menurut Chomsky, semua serangan itu tidak terlepas dari dampak dukungan Amerika terhadap rencana pemindahan Ibu Kota Israel dari Tel Aviv menuju ke Yerusalem Timur beberapa waktu lalu.

Maka, kita harus menempatkan krisis Gaza sebagai krisis politik, krisis hukum dan krisis kemanusiaan, meski krisis itu terjadi dan menyangkut pengelolaan tiga tempat suci bagi umat agama Samawi. Sebagai bangsa  yang berdasarkan Pancasila  dan UUD 1945, kita harus mempelihatkan solidaritas kita sesuai dengan bunyi Pembukaan UUD 1945 alinea pertama: “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.

Dalam konteks ini sikap pemerintah melalui Presiden Jokowi, maupun Menlu Retno Marsudi layak untuk diapresiasi. Meski kecaman dan kutukan itu terasa kurang sebelum ada implementasi lebih lanjut. Karena komunike bersama pasti tidak akan efektif kecuali ada langkah-langkah yang bersifat afirmatif. Karena Israel telah jelas-jelas melanggar norma-norma hukum internasional (Jus Cogen) hingga Konvensi Jenewa.  Apalagi posisi Indonesia yang semakin diperhitungkan dunia terutama  di forum Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun Non Blok.

Karena alasan kemanusiaan itulah kita tidak bisa melakukan dekontruksi, bahwa krisis itu hanyalah krisis antara Hamas dan Israel. Apa yang dilakukan oleh Hamas merupakan sebuah konsekuensi logis, sebagai sebuah kelompok dan kekuatan politik yang dominan di wilayah itu. Organisasi dibawah pimpinan Ismail Haniyeh (Perdana Menteri Palestina) ini memang besar di Gaza, sehingga ketika Gaza mendapat serangan secara otomatis Hamas akan memberikan perlawanan. Karena Palestina tidak memiliki kekuatan militer yang memadai.

Kita tidak perlu terbawa oleh labeling maupun framing yang disematkan  oleh Israel maupun sekutunya yang menganggap jika Hamas adalah organisasi teroris. Setiap negara penjajah selalu menganggap jika organisasi perlawanan adalah organisasi teroris. Ingat dulu pada era penjajahan Belanda di Indonesia setiap gerakan perlawanan  yang dilakukan oleh para pahlawan kita seperti Pangeran Diponegoro adalah gerakan inlander yang kurang lebih bermakna sebagai teroris dan pengacau. Dan istilah itu merupakan istilah ejekan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap gerakan pembebasan yang dilakukan oleh para pahlawan nasional.

Krisis Gaza ini tak ubahnya sebagai panggung hipokrisme (kemunafikan) bagi barat yang mengklaim sebagai pelopor demokrasi dan kesetaraan. Solusi yang paling relaistis untuk menujukan semangat demokrasi dan kesetaraan adalah  opsi  two state solution. Cara win-win solution itu adalah dua komunitas membentuk negara masing-masing sehingga ada kesetaraan diantara keduanya. Opsi  inilah yang paling elegan dan realistis untuk mengakhiri konflik itu. Tetapi faktanya justru Israel dan Amerika yang paling ogah untuk mengambil opsi itu dan kekeuh mau mengusir Bangsa Palestina dari tanah kelahirannya.

Sikap tengil Israel yang tetap keukeuh dengan sikapnya itu tidak terlepas dari dukungan Amerika dan Inggris yang notabene berada di belakang berdirinya Negara Israel. Kekuatan militer Amerika dan Inggris itulah yang membuat Israel terus bersikap kemlinthi maupun songong  bahkan pongah dalam mengadapi komunitas internasional. Sebagai ‘orang tua asuh’ Israel, Amerika maupun Inggris memang memiliki kekuatan militer yang mumpuni. Dengan kekuatan  1,39 juta personel aktif serta 442.000 personel cadangan serta didukung  dengan alutsista  yang canggih berupa  5.500 tank, 303.553 kendaraan lapis baja, 1.000  artileri self-propelled, 1.339 towed artillery, serta 1.716 proyektor roket seluler. Apalagi dengan berbagai persenjataan canggih dari berbagai matra, maka tak mengherankan bila  Global Fire Power menempatkan Amerika pada posisi pertama sebagai kekuatan militer terbesar di dunia.

Pertanyaannya dengan dukungan tanpa reserve dari Amerika Serikat maupun Inggris serta dukungan anggaran militer Israel yang mencapai US $ 23, 4 M, apakah militer Israel akan bisa melumat Hamas sekaligus merampas Gaza dan Palestina untuk menjadi koloninya ?, jawabnya bila  di atas kertas, pasti dengan mudah Bangsa Yahudi itu akan merebut tanah adik-adiknya. Lalu pertanyaan selanjutnya apakah Tuhan akan merelakan, tanah itu akan dikuasai  ‘si sulung’ secara sewenang-wenang, sementara dua adiknya dikenal cukup penurut dan rajin beribadah akan hidup terlunta-lunta. Padahal semua agama pasti meyakini jika Tuhan itu maha adil dan maha bijaksana.

Lalu dimanakah peluang bagi kedua  adik-adiknya untuk memperjuangkan haknya itu ?. Secara kalkulasi, pasti kedua adiknya itu tidak akan mampu melawan kekuatan si sulung yang begitu hegemonik dan dominan. Tetapi sejarah selalu jujur, bila kekuatan militer yang begitu superior itu tidak akan pernah memberikan jaminan kepada mereka untuk memenangkan pertarungan secara mudah. Bahkan catatan sejarah sangat sering menempatkan kekuatan militer Amerika maupun sekutu sebagai kekuatan pecundang.

Salah satu  catatan buruk yang bisa dibuka kembali adalah sejarah pertempuran Amerika melawan Mujahidin Afganistan. Dengan alokasi anggaran sekitar US $ 2,2 T atau ada yang menyebut angka Rp 31.600 triliun, serta dukungan persenjataan yang super canggih,  Amerika Serikat yang sering mengklaim sebagai global corp (polisi dunia) ternyata berakhir  tengsin, karena gagal untuk menata Afghanistan, sekaligus ingin menjadikan sebagai sekutunya.

Padahal,  saat itu Amerika begitu yakin karena merasa pernah menanam jasa dalam mengusir Uni Soviet.  Selain gagal menata Afghanistan, Amerika maupun NATO harus kehilangan setidaknya 3,586 prajuritnya, bahkan ada yang menyebut lebih banyak dari itu. Amerika ternyata harus angkat kaki, dan meninggalkan Afghanistan dan menyerahkannya kepada Taliban. Negeri  yang dihuni beberapa suku seperti Pasthun, Tajik, Hazara, Aimak, Uzbek,  dan Turkmen itu kini terancam perang saudara.

Kegagalan Amerika untuk menata sekaligus menjadikan Afghanistan sebagai sekutu itu sebenarnya mengulangi kegagalan serupa yang dialami Uni Soviet  yang juga ingin menjadikan Afghanistan sebagai bonekanya. Selama era pemerintahan Perdana Menteri Daoud pada dekade 70an, Muhamad Taraki, Hafizullah Amin hingga Babrak Karmal, Afghanistan memang memiliki kedekatan ideologis dengan  Uni Soviet, tetapi karena kegigihan Mujahidin yang kini menjelma menjadi Taliban, Uni Soviet yang melakukan aneksasi dibawah komando Marsekal Sergei Kolokov justru berujung kekalahan yang memalukan.

Jumlah kerugian yang diderita oleh  Uni Soviet menurut artikel The Soviet-Afghan War : Breaking The Hammer & Sickle serta  Grau and Gress, 2002 juga sangat mencengangkan. Padahal ada beberapa sumber yang mengatakan jika jumlahnya lebih besar dari artikel itu. Sesuai artikel itu jumlah korban di pihak Soviet diantaranya, 14.453  tentara terbunuh (total) atau 9.500 tewas dalam pertempuran, 4.000 meninggal karena luka,  1.000 meninggal karena penyakit dan kecelakaan,  53.753 terluka serta 264 hilang.

Jauh sebelumnya, sejarah juga telah mencatat jika kekuatan Amerika tak lebih dari sekedar kekuatan pecundang. Ketika terjadi perang Vietnam, kekuatan militer Amerika yang begitu dominan juga harus mengaku kalah melawan Vietkong yang notabene mengandalkan perang gerilya dengan pola yang nyaris sama dengan Hamas yakni menggunakan  jaringan bawah tanah. Bahkan bunker Vietkong itu jauh lebih kecil ketimbang bunker atau terowongan bawah tanah milik Hamas di Gaza. Berdasarkan data dari Divisi Analisis Informasi Statistik Departemen Pertahanan (SIAD), Pusat Data Tenaga Kerja Pertahanan, serta dari lembar fakta Departemen Veteran bertanggal bulan Mei 2010 terungkap jika korban dari Amerika mencapai 58.220 korban tewas serta 303.644 korban luka dengan rincian 153.303 korban luka (WIA), dan tidak termasuk 150.332 orang yang tidak memerlukan perawatan rumah sakit.

Bahkan ketika menghadapi segerembolan pengacau di Somalia  dalam peristiwa yang dikenal dengan nama The Black Hawk  Down saja  tentara Amerika juga ‘ngacir’. Dalam pertempuran di Mogadhisu itu militer Amerika dibawah komando William F Garrison  yang dibekali dengan persenjataan canggih seharusnya mengaku kalah dengan tentara Somalia. Pasalnya saat itu 18 tentara Amerika tewas dan 73 luka-luka serta dua pesawat helikopter hancur, sementara pihak lawan  di bawah  komando Sharif Hassan Guamele yang memilki senjata ala kadarnya korban tewas mencapai 133. Jadi rasio jumlah korbannya nyaris seimbang meski perbedaan kualitas persenjataannya begitu jomplang.

Salah satu hasil peperangan yang masih bisa dibanggakan oleh Amerika hanyalah invasi melawan Iraq. Itupun dengan catatan Amerika main ‘keroyokan’ dengan gang multinasional. Meski argumentasi  dan dalih invasi Amerika itu terbilang konyol yakni untuk mencari senjata kimia pemusnah massal yang hingga saat ini tidak pernah diketemukan. Padahal aksi barbar itu telah mengakibatkan puluhan ribu rakyat Iraq yang tak berdosa menjadi korban. Bahkan seperti yang pernah dituturkan oleh Duta Besar Iraq untuk Indonesia, saat itu Prof Zadoon  al Zubaidy  dalam dua kali pertemuan denganku di Jalan Teuku Umar, dan Kawasan Widya Candra, serangan  barbar gang multinasional itu telah mengakibatkan puluhan ribu anak-anak Iraq yang tak berdosa turut menjadi korban.

Jadi keberadaan Paman Sam yang digendong oleh anak kecil bernama Israel itu apakah akan menjadi jaminan mereka bisa memenangkan peperangan dengan mudah, maka jawabannya adalah  menjadi belum tentu. Karena serangan Hamas 7 Oktober 2023 telah mengungkap  sejumlah fakta. Pertama, kekuatan militer Israel  terutama dengan sitem pertahanan utama Iron Dome (payung baja) ternyata tidak sehebat  seperti yang dibayangkan atau digembar-gemborkan.  Sehingga menimbulkan sindiran jika kekatan militer Israel dan Amerika tidak ubahnya seperti sarang laba-laba. Sistem pertahanan itu koyak hanya berdasarkan cara yang tradisional dan senjata produksi rumahan, meski tidak menutup mata ada sejumlah senjata yang canggih produksi Iran dan Korut termasuk dari Amerika sendiri.

Kedua serangan Hamas itu telah  menimbulkan keberanian kolektif  dari paramiliter di kawasan itu sebutlah, Hamas, Hizbullah hingga tentara Houthi. Bahkan beberapa negara Arab yang selama ini imbas imbis (gamang) dalam menghadapi Israel mulai berani menentukan sikap seperti Arab Saudi  dan Qatar yang mulai berani menentukan sikap dengan menangguhkan upaya normalisasi hubungan dengan Israel. Bahkan karena serangan Hamas itu sejumlah poros kekuatan dunia mulai merapat dan siap membantu Hamas sebutlah  seperti Iran, Turki, Korea Utara hingga Rusia. Bahkan yang mengejutkan China yang semula diyakini akan bersikap netral juga mulai gerah dengan sikap tengil Israel.

Bagi negara rival-rival Amerika justru saat inilah kesempatan untuk menenggelamkan hegemoni Amerika. Tentu dengan berbagai kalkulasi diantaranya adalah pengaruh Amerika di dunia saat ini tidak begitu dominan seperti beberapa dekade lalu. Kondisi perekonomian Amerika saat ini juga lagi dalam kondisi ‘bengek’. Saat ini Amerika mengalami defisit anggaran  yang mencapai  23% di tahun 2023, atau  mencapai USD 1,69 T, atau sekitar Rp 26.840 T. Bahkan karena doktrin monisme,  Amerika sebelumnya sempat membantu Ukraina sebesar US $ 40 M, dan ternyata belum ada tanda-tanda krisis Rusia dan Ukraina akan segera berakhir.

Maka konsentrasi Amerika saat ini benar-benar terbelah  antara Israel dan Ukraina yang berpotensi akan menguras cadangan devisa yang dimilki oleh Amerika. Indikasinya, kini Amerika mulai merayu Ukraina untuk berdamai dengan Rusia. Sebagai upaya Amerika untuk menutup rasa malu sekaligus mulai mengalihkan prioritasnya untuk membentu Israel.  Padahal kedua krisis itu diyakini akan masih panjang, apalagi bila Rusia maupun Iran melibatkan diri dalam krisis di Gaza, maka apakah Amerika masih bisa yakin memenangkan kedua pertempuran itu ?.(***)

  • Penulis Direktur Kajian Poleksosbudkum Cakra Emas Syndicate
prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan