- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Mencari Jalan Tengah Buat Bangsa Yang Lelah

Ilustrasi (rep)

Oleh : Gugus Elmo Rais

Pendaftaran Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) tinggal menghitung hari. Hingga saat ini secara definitif baru Koalisi Perubahan yang telah menentukan sikap dengan mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).  Pasangan itu didukung oleh kaukus politik yang terdiri dari Partai Nasdem, PKS  serta Partai PKB. Meski mengklaim terus mengalami trend kenaikan, namun pasangan ini dinilai memiliki tingkat elektabilitas yang paling rendah dibandingkan calon lain yakni Prabowo Subianto yang didukung oleh  Koalisi Indonesia Maju (KIM) maupun Ganjar Pranowo yang didukung oleh PDIP serta sejumlah partai.

Kaukus politik pendukung Prabowo yakni Koalisi Indonesia Maju (KIM) atau sebelumnya Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya kini setidaknya  terdiri dari 11 partai  yakni 4 partai parlemen seperti Gerindra, Partai Golkar, PAN dan Demokrat serta partai non parlemen seperti PBB, PSI, Partai Garuda, Partai Gelora, satu partai lokal yakni Partai Aceh  dan dua partai non partisipan seperti Partai Prima dan Partai Berkarya. Sementara  Capres Ganjar Pranowo  didukung oleh 4 partai yakni  PDIP, Perindo, Hanura dan PPP dan mungkin sejumlah partai non parlemen.

Kubu Ganjar boleh saja pede (percaya diri) akan memenangkan pertarungan dalam Pilpres 2024, apalagi hasil jajak pendapat dari sejumlah lembaga survey yang menyatakan jika mantan Gubernur Jawa Tengah itu leading dalam perolehan suara. Tetapi bila melihat konstelasi politik  di parlemen justru berkata sebaliknya,  dukungan terhadap Kubu Prabowo terus  menggelembung. Bahkan akumulasi dukungan terhadap Menhan Prabowo menjadi yang tertinggi di parlemen yang berkisar 46% suara di Senayan. Itupun belum melihat adanya trend ‘migrasi’ dukungan dari sejumlah relawan Jokowi yang dulu notabene berafiliasi dengan PDIP dan bergeser ke kubu Gerindra.

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan dukungan publik  ke PDIP tidak lagi solid, meski die hart (pendukung fanatik) partai berlambang moncong putih ini tidak akan pernah bergeser jauh dari angka (15-20%). Pertama adalah adanya label, ‘Presiden sebagai petugas partai’ diakui atau tidak telah mendegradasi marwah seorang Presiden sebagai pemegang mandat amanat rakyat. Meskipun label itu tidak sepenuhnya salah, karena Presiden yang diusung  oleh partai adalah pelaksana gagasan sesuai dengan plat form partai.  Tetapi yang mesti diingat, presiden itu telah dipilih secara langsung oleh masyarakat dan partai yang tergabung dalam koalisi. Jadi itu tidak bisa dikalim sebagai murni  sepenuhnya andil partai. Setelah proses pendaftaran Capres, hakekatnya partai telah menyerahkan kadernya kepada bangsa dan negara, bukan lagi menjadi milik partai.

Faktor kedua adalah performa calon dari PDIP tidak mengkilap seperti calon dari Gerindra. Ganjar memang sangat populer, tetapi publik juga mencatat belum ada prestasi spektakuler yang diperlihatkanya, seperti halnya prestasi yang dibawa oleh Jokowi ketika maju dalam Pilpres 2014 lalu, Jokowi tercatat sebagai mantan Walikota terbaik dunia dan mengusung program  ‘blusukan’ yang menjadikannya sebagai media darling. Ketiga adalah cara komunikasi politik yang ‘bermasalah’. PDIP sempat terlihat berangkulan dengan Golkar dan ingin rujuk dengan Demokrat tetapi tidak terealisasi, itu membuktikan jika cara komunikasi politiknya kurang elegan.

Dari berbagai faktor itulah, maka saat ini para petinggi partai pengusung Ganjar Pranowo harus berhitung secara cermat. Untuk bisa memenangkan pertarungan dalam Pilpres 2024 atau setidaknya bagaimana caranya agar partai itu tidak kehilangan muka  jika terlempar sebagai partai non pemerintah. Kalkulasi politik terkini bisa menyatakan ‘berat’  jika PDIP  yang pernah menyatakan ingin memperoleh hattrick (menang tiga kali secara berturut-turut) itu akan kembali memenangkan pertarungan dalam Pilpres 2004, meski itu bukan tidak mungkin. Sesuai dengan karakternya politik yang sangat dinamis. Sejumlah menteri  gesturenya juga terkesan lebih cenderung pro ke 08.  Keabraban Prabowo dengan Luhut serta Hendropriyono bisa dibaca kemana  sebenarnya bandul kekuasaan itu akan mengayun, Sementara berharap ada dinamika politik yang akan mendeligitamsi lawan-lawannya, sehingga ada limpahan suara merupakan sesuatu yang kecil kemungkinannya mesti itu bukan sesuatu yang mustahil.

Berangkat dari realitas itu, mau tidak mau para petinggi partai pengusung Ganjar saat ini harus rajin melakukan simulasi. Kira-kira dengan siapakah Ganjar berpasangan agar suaranya terdongkrak secara signifikan, apakah dengan Erick Thohir, Puan, Khofifah atau dengan Yenny Wahid. Popularitas dan elektabilitas mereka terbilang lumayan tinggi tetapi aksesbilitas juga layak untuk dipertanyakan karena tidak memiliki mesin politik berupa partai yang efektif. Kecuali jika Ganjar berpasangan dengan Khofifah Indar Parawansa yang memilki basis massa yang solid yakni Fatayat NU, selain  itu Khofifah memiliki kedekatan dengan sejumlah partai seperti PPP, PKB maupun Demokrat. Sementara jika Ganjar menggandeng Puan maka akan terjadi kristalisasi dukungan karena berasal dari ‘induk semang’ yang sama yakni PDIP. Bahkan bisa menimbulkan friksi di internal koalisi, karena Ganjar memilih Cawapres dari partai yang sama.

Memang PDIP terus melakukan upaya, lobbying, diantaranya adalah bagaimana cara meyakinkan Jokowi agar hatinya tidak mendua antara mendukung Prabowo dan Ganjar, terlihat dari pernyataan sejumlah petinggi PDIP, yang menyatakan jika Jokowi adalah murni kader partai PDIP. Bahkan berkembang bisik-bisik jika, Megawati ingin mewariskan singgasananya sebagai Ketum PDIP bila Jokowi sudah tidak lagi menjadi presiden. Semua upaya itu bisa dibaca sebagai bagian dari strategi PDIP agar Jokowi tidak pindah ‘kelain hati’. Karena publik sudah membaca gesture Jokowi yang lebih cenderung untuk mendukung Prabowo terutama semenjak tragedi pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah  World Cup U 20 yang diakibatkan oleh blunder beberapa kader PDIP.

Tragedi itu justru seperti menjadi blessing in disguise (baca, berkah) tersendiri bagi Erick Tohir karena mendapat panggung, setelah berbagai terobosannya  seperti menggelar matchday  melawan Timnas Argentina menjadikan namanya kian melambung dan menjadi salah satu Cawapres yang sangat diperhitungkan. Kostelasi politik itulah yang memaksa PDIP harus berpikir dengan sangat cermat.

Salah satu opsi yang bisa dipikirkan untuk menyelamatkan marwah partai sekaligus memenuhi keinginannya untuk mencapai hattrick adalah, para petinggi PDIP terutama Ketumnya Megawati Soekarnoputri adalah melakukan reorientasi. Artinya PDIP harus mau legowo untuk merevisi keinginannya untuk menjadikan Ganjar Pranowo   sebagai Calon Presiden RI ke 8. Bagi sebagian  kader partai, opsi ini jelas terkesan melecehkan dan menyakitkan. Tetapi opsi itulah mungkin yang paling realistis. Apalagi kedua kubu ini masih memiliki ikatan batin  yang tersurat dalam  traktat cinta, ‘Perjanjian Batu Tulis’. Pilihan itu pasti akan menyelamatkan bahtera Koalisi Indonesia Maju yang mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 lalu.

Jika PDIP mau memilih opsi itu, maka  banyak persoalan bangsa ini yang akan terjawab. Tidak ada lagi pertarungan ideologi (political battlefield) antara kelompok kanan (kelompok agama) dengan kelompok kiri (sosialis) yang memiliki potensi terjadinya friksi yang hebat. Karena akan tersisa adanya pertempuran gagasan antara gagasan tranformasi (milik Prabowo melalui Prabowonomic) melawan gagasan perubahan milik kubu AMIN (Anies-Muhaimmin). Publik akan mudah melakukan mapping (pemetaan), mana gagasan yang lebih sustainable (berkelanjutan) dan feasible (lebih memungkinkan), dengan meneruskan dan melakukan penyempurnaan atau justru gagasan perubahan yang lebih utopis, karena realitanya kondisi  dunia saat ini yang sedang mengalami turbulensi.

Sikap legowo PDIP, jika mau melakukan reorientasi pasti  secara ekonomi juga bisa memberikan dampak yang signifikan. Karena bila kontestasi Pilpres 2024 nanti diikuti oleh dua pasangan, misalnya Pasangan AMIN (Anies-Muhaimmin) melawan PRANOWO (Prabowo-Ganjar Pranowo), dapat dipastikan pelaksanaan Pilpres 2024 itu akan berlangsung satu putaran. Maka anggaran Pilpres 2024 sebesar Rp 76,6 triliun bisa dipangkas, bahkan bila bisa memangkas anggaran hingga 30%, itu sudah cukup untuk melakukan intervensi ekonomi disaat kondisi perokonomian sedang lesu. Anggaran itu bisa realokasikan kepada program-program pemerintah yang pro sosial seperti pemberian Bansos, disaat harga-harga kebutuhan pokok sedang melambung  seperti saat ini.(***)

  • Penulis adalah Direktur Kajian Poleksosbudkum, Cakra Emas Syndicate.

 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan