- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Menanti Ultra Petita Dari Hakim

Ilustrasi (rep)

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Saya tidak ingin memulai hipotesa dengan tuduhan jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua telah ‘masuk angin’, karena memang saya tidak memiliki kemampuan untuk ‘mendiagnosa’ faktor-faktor non hukum itu. Tetapi keputusan JPU untuk menuntut terdakwa, Ferdy Sambo (FS) sebagai otak pelaku (doenpleger) dengan hukuman penjara seumur hidup, terdakwa Putri Candrawati (PC), 8 tahun penjara, terdakwa Kuat Ma’ruf (KM) 8 tahun penjara, Ricky Rizal (RR) 8 tahun penjara serta terdakwa Richard Eliezer (RE) yang telah mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) dengan hukuman 12 tahun penjara, tetap saja seperti ‘meledek’ nalar publik, karena putusan itu jauh dari ekspektasi masyarakat. Maka mungkinkah asas keadilan dan persamaan hukum (equality before the law) dapat dilaksanakan sekaligus menegakan hukum (law enforcement) di republik ini.

Parameter terciptanya  keadilan dalam sistem hukum kita itu sebenarnya sederhana yakni sistem hukum yang mampu memberikan penghukuman yang setimpal dengan kejahatan yang telah dilakukan oleh para pelanggar hukum, culpue poena par esto (jatuhkanlah hukuman yang setimpal dengan perbuatan). Namun  tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), setelah proses persidangan yang panjang dan penuh melodrama dimana keterangan para saksi saling bersesuaian sehingga secara materiil  terpenuhi delik pembunuhan berancana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 340 KUHP jo pasal 55 KUHP, itu tetap saja menimbulkan pertanyaan besar.

Apa legal reasoning (argumentasi hukum) sekaligus konstruksi hukum yang dibangun Jaksa Penuntut Umum (JPU) sehingga mereka menuntut hukuman ringan kepada para terdakwa. Ironisnya JPU justru menuntut hukuman lebih tinggi terhadap terdakwa Richard Eliezer yang telah mengajukan diri sebagai justice collaborator  dengan hukuman 12 tahun penjara. Apalagi posisi RE hanya sebatas pesuruh (medepleger). Seakan JPU ‘merenggut’ upah kesediaan RE sebagai JC yang seharusnya memperoleh kompensasi berupa keringanan hukuman. Tuntutan itu bisa menjadi preseden buruk, sekaligus  membuat banyak tersangka dan terdakwa ogah menjadi justice collaborator.

Setidaknya ada tiga regulasi yang mengatur  soal JC di Indonesia yakni UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama dan Peraturan  Bersama KPK, Kejaksaan, Kepolisian, LPSK serta Menteri Hukum HAM tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi pelaku yang bekerja sama tahun 2011.

Dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua, terdakwa Richard Eliezer terlihat dari awal cukup proaktif bekerjasama dengan penyidik sehingga kasus  itu terus bergulir dan terungkap secara gamblang. Kontribusi RE inilah yang seharusnya diapresiasi dengan memberikan hukuman maksimal separuh dari hukuman paling ringan  para terdakwa atau setidak-tidaknya dituntut dengan hukuman 4 tahun penjara. Alih-alih memperoleh apresisai dan upah, RE justru dituntut lebih tinggi dari 3 terdakwa lainnya yakni Putri Candrawati, Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal yang masing-masing dituntut 8 tahun penjara.

Tantangan selanjutnya, terpenuhinya asas keadilan dan persamaan di depan hukum itu saat ini sangat tergantung dari majelis hakim sesuai dengan premis judex set lex laguens (sang hakim adalah hukum yang berbicara). Maka terpenuhinya dictum keadilan dan persamaan  di depan hukum  dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua itu kini sangat tergantung kepada otonomi dan independensi hakim sekaligus integritas hakim itu sendiri agar terpenuhi rasa keadilan di masyarakat terutama bagi keluarga korban sesuai dengan irah-irah keadilan yang berkeTuhanan yang Maha Esa. Kasus yang mirip, pembunuhan yang diintrodusir kasus perselingkuhan (sesuai kosntruksi hukum JPU)  dan bisa jadi pembanding tanpa harus jadi yurisprudensi adalah kasus pembunuhan hakim di Medan. Dalam perkara nomor 285 K/Pid/2021 itu dua pelaku utama yakni Zuraida dan Reza telah divonis hukuman mati.

Pertanyaanya adalah, mampu dan beranikah majelis hakim dalam perkara pembunuhan Brigadir Joshua itu mengelaborasi sekaligus mengkonstatir semua fakta-fakta persidangan sekaligus melakukan terobosan hukum (rechvinding) untuk menentukan vonis yang bisa menghadirkan rasa keadilan sekalipun berbeda (kurang atau melebihi) dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau ultra petita. Menurut IPM Ranuhandoko, putusan ultra petita adalah suatu putusan atas perkara melebihi dari yang dituntut atau diminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau melebihi dari yang diminta.

Meski sebagian ahli hukum menganggap ultra petita adalah hal yang ‘haram’ dan tabu, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 182 KUHAP dan Pasal 193 KUHAP, majelis hakim dalam bermusyawarah untuk mengambil putusan (vonis) harus mengacu dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU)  yang berhulu dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Penyidik, sehingga tidak boleh terlalu melebar.

Tetapi ultra petita juga memiliki ruang  sesuai,  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 24 ayat (1)  yang menyatakan jika kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapaun. Sehingga hakim memiliki kemandirian dan kebebasan dalam menjatuhkan putusan yang hanya bisa dibatasi oleh undang-undang. Maka harapan publik kini tertumpu pada kemandirian hakim dalam menentukan putusan untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat. (***)

 

 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan