- Advertisement -
Pro Legal News ID
Hukum

Menag : Tidak Ada Pemidanaan Pesantren

Jakarta, Prolegalnews – Saat ini yang masih digembor-gemborkan oleh kalangan masyarakat ialah terkait Omnibus Law, gencarnya isu yang beredar di media sosial dengan narasi yang menerangkan bahwa RUU CIKA berpotensi mengancam eksistensi pesantren dan membuka kemungkinan pemidanaan ulama atau kiai pengasuh pondok tradisional. Fahrul Razi akhirnya angkat bicara mengenai isu tersebut.

Hal ini didasarkan pada rencana perubahan pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mencabut kewenangan perizinan dari Pemerintah Daerah. Adapun bahasan mengenai perizinan penyelenggaraan satuan pendidikan itu tertuang dalam Pasal 62 RUU Cipta Kerja. Seperti berikut isi dari pasalnya : Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Sedangkan Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Fahrul Razi (Menag) akhirnya memberikan penjelasan yang jelas terkait isu ini. Ia memastikan penyelenggaraan pesantren telah diatur oleh UU Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren dan tidak ada aturan sanksi pidana di dalamnya secara tertulis.”Pemerintah punya UU tersendiri yang mengatur pesantren. Sehingga, penyelenggaraan pesantren merujuk pada UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Tidak ada sanksi pidana, ” ujar Fachrul menurut keterangan tertulis di situs resmi Kemenag, Senin (31/8/2020).

“UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren adalah UU lex specialis. Sehingga berlaku kaidah Lex specialis derogat legi generali, yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum,” ujarnya.

Terkait pendirian pesantren, sudah diatur dalam Pasal 6 UU 18 Tahun 2019. Pendirian pesantren wajib berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika.

Penjelasan lainnya juga jelas bahwa pesantren harus memenuhi unsur-unsur yaitu kiai, santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau mushala, dan kajian kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin. “Jika persyaratan itu sudah terpenuhi, maka pesantren memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili Pesantren. Selanjutnya, penyelenggara mendaftarkan keberadaan pesantren kepada Menteri,” ujar Fahrul.

“Jika semua syarat terpenuhi, Menteri Agama memberikan izin terdaftar dalam bentuk Surat Keterangan Terdaftar atau SKT,” ujar Fahrul.

Ia menjelaskan bahwa proses untuk mengajukan pendaftaran pesantren tidak harus langsung ke Kemenag di Jakarta. Pihaknya yang mau mengajukan bisa menyampaikan permohonan tersebut melalui Kanwal Kemenag Provinsi.

“Proses pengajuan izin pesantren melalui Kanwil Kemenag akan diatur dalam Peraturan Menteri Agama yang saat ini tengah difinalisasi,” sambungnya.

“Dan yang terpenting, RPMA tidak mengatur sanksi pidana. Hanya, bagi pesantren yang menyalahi komitmen pendiriannya, sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU Pesantren, akan dicabut SKT nya,” sambung Fahrul.

Pendirian pesantren sesuai dengan pendirian yayasan yang berbadan hukum, jadi tidak akan ada unsur pemidanaan. Keterangan dari dasar hukumnya pun akan dijelaskan sesuai dengan dasar hukum yang berlaku.Tim

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan