Jakarta, Pro Legal News – Persidangan perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Asa Inti Utama pada Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dilakukan Jum’at (20/5) berupa rapat kreditur dengan agenda Rapat Pembahasan Rencana Damai dan Voting Perdamaian. Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Pengawas, Mochammad Djoenadi SH MH itu hadir semua kreditur yakni sebanyak 18 kreditur yang terdiri dari 17 kreditur perorangan dan 1 kreditur badan hukum perseroan dengan total nilai tagihan sebesar Rp 69 M.
Dalam proses voting yang dilakukan secara terbuka itu mayoritas kreditur sebanyak 17 kreditur perorangan itu menyatakan menolak proposal perdamaian yang diajukan oleh pihak PT Asa Inti Utama (AIU). Pasalnya, dalam proposal itu ditawarkan pengembalian dengan tenor 5-10 tahun dengan grass period 1 tahun, sehingga mayoritas kreditur menilai proposal itu sangat tidak logis serta tidak manusiawi. Proposal itu juga tidak memberikan jaminan pembayaran karena tidak ada penjelasan dari mana sumber uang itu akan diperoleh.
Maka ketika dilakukan voting para kreditur dengan serta merta menolak. Dengan penolakan para kreditur itu secara otomatis PT AIU terancam dipailitkan, tinggal menunggu pengesahan dalam sidang majelis hakim yang akan digelar pada hari Rabu (25/5). Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 255 (1) : Penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diakhiri atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau lebih kreditur atau atas prakarsa pengadilan.
Seperti diketahui, gugatan perkara PKPU itu diajukan oleh Yuliana dan Anna Fransiska. Keduanya berinvestasi di PT Asa Inti Utama melalui senlai Rp 2 milyar, dengan iming-iming bunga investasi yang cukup tinggi. Kenyataannya, bunga tidak dibayar dan investasinya amblas. Setelah berkali-kali menagih dan gagal, akhirnya keduanya dengan didampingi Advokat Dr. Ir. Albert Kuhon MS SH, Drs Hasan Basri SH.MH dan Guntur Manumpak Pangaribuan SH mengajukan gugatan PKPU.
Proses persidangan berjalan cukup alot sebelum dilakukan voting. Kuasa hukum pemohon, Hasan Basri dan Guntur Pangaribuan sudah berkali-kali menolak dicantumkannya PT Wahana Bersama Nusantara sebagai kreditur yang mengklaim memiliki tagihan sebesar Rp 40 M. Kekhawatiran tim kuasa hukum ini terbukti dengan tindakan PT WBN yang menjadi satu-satunya kreditur yang menerima proposal perdamaian dari PT AIU.
Sebelumnya, Kuhon juga menyayangkan sikap hakim pengawas yang terkesan ada keberpihakan terhadap PT WBN. Menurut Kuhon, seharusnya Tim Pengurus PKPU PT AIU dan Hakim Pengawas PKPU PT AIU yang sudah berpengalaman menangani kasus-kasus PKPU dengan mudah bisa melihat banyak kejanggalan dalam pengakuan utang-piutang antara PT WBN dengan PT AIU. Utang PT Asa Inti Utama (AIU) kepada PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) menurut perjanjian bawah tangan menyangkut transaksi senilai Rp 50.000.000 (lima puluh milyar rupiah).
Berlaku Mundur?
Perjanjiannya disebut ‘Perjanjian Pinjaman Dengan Opsi Konversi’ tertanggal 18 Februari 2019.Dengan mudah terlibat betapa sejatinya perjanjian itu merupakan dokumen asal-asalan dan akal-akalan murahan. “Secara logika, sangatlah mustahil transaksi yang nilainya puluhan milyar dibuat tanpa diparaf di masing-masing lembar oleh para pihak dan dibuat tanpa akta notaris,”ujar Kuhon, “Sementara kredit sepeda motor atau kontrak rumah yang cuma jutaan rupiah menggunakan dokumen sangat lengkap dengan akta notaris.”
Kejanggalan lainnya tentang realisasi utang-piutang tersebut juga bisa dilihat secara gamblang.Pasal 2 (Pencairan Pinjaman) ‘Perjanjian Pinjaman Dengan Opsi Konversi’ menyebutkan, pinjaman tahap pertama sebesar Rp 10.000.000 (sepuluh milyar rupiah) akan dicairkan pada tanggal 19 Februari 2019. Kenyataannya dalam proses verifikasi terungkap ada transfer dari WBN kepada AIU yang dilakukan sebelum 18 Februari 2019 dan dicatatkan sebagai piutang WBN kepada AIU.“Masak Hakim Pengawas tidak bisa membandingkan antara tanggal transfer uang dari WBN ke rekening AIU dengan isi perjanjian dan tetap ngotot mencatatkannya sebagai piutang WBN?” kata Kuhon.
Periode dan Nilai
Kejanggalan lainnya mudah terlihat dengan membandingkan antara ‘perioda transfer uang dari WBN ke rekening AIU’ dengan perioda dalam isi Pasal 2 (Pencairan Pinjaman) dalam ‘Perjanjian Pinjaman Dengan Opsi Konversi’. Menurut isi perjanjian tersebut, pencairan dilakukan empat tahap dengan nilai seluruhnya sebesar Rp 50.000.000 (lima puluh milyar rupiah) dalam perioda tanggal 19 Februari 2019 sampai dengan tanggal 10 April 2019. Kenyataannya transfer dari WBN kepada AIU berlangsung dalam perioda 18 Februari 2019 sampai 9 Agustus 2019 dan nilainya bukan Rp 50.000.000 seperti yang ada dalam perjanjian.“Tapi semuanya diperhitungkan sebagai piutang WBN kepada AIU,” tutur Kuhon lebih jauh.
Kejanggalan lainnya menyangkut surat kuasa yang dibuat oleh Bhakti Salim sebagai Direktur Utama WBN. Bhakti bertindak untuk dan atas nama PT Wahana Bersama Nusantara, memberi kuasa kepada Hamonangan Utama Manggala Pangaribuan SH.Penandatanganan surat kuasa dilakukan di Jakarta tertanggal 15 Februari 2022.Padahal pada tanggal 15 Februari 2022 Bhakti Salim sedang berada dalam tahanan di Pekanbaru sebagai terdakwa dalam perkara Nomor 1170/Pid.Sus/2021/PN Pbr.
Diduga Ada Tindak Pidana Pemalsuan
Bhakti Salim selaku Direktur Utama PT WBN, dalam perkara Nomor 1170/Pid.Sus/2021/PN Pbr dinyatakan terbukti bersalah dan dipidana penjara selama 14 (empat belas) tahun dan denda sebesar Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). “Artinya, surat kuasa tersebut palsu, atau memuat keterangan yang dipalsukan. Masak Hakim Pengawas tetap saja ngotot mendaftarkan WBN sebagai kreditor?” Kuhon mempertanyakan.(Tim)