Oleh : Gugus Elmo Rais
Kasus meninggalnya Brigadir Nopriansyah Yoshua Hutabarat (Brigadir J) di rumah dinas mantan Kadiv Propam Irjen (Pol) Ferdy Sambo mulai terang benderang. Hasil penyidikan kasus ini terindikasi akan menampakan hasil surprise ending dengan ditetapkannya sejumlah perwira tinggi Polri menjadi tersangka. Suatu indikasi yang memperlihatkan ternyata hukum di Indonesia masih bisa diterapkan secara egaliter (equality before the law).
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Lae Kamaruddin dan Lae Johnson Panjaitan, apresiasi menurutku sangat layak diberikan kepada Presiden Joko Widodo, karena berdasarkan instruksinya saat berada di Pulau Rinca, NTT, dalam rangkaian mengunjungi Pulau Komodo, penyidikan mulai berjalan sesuai dengan track yang benar. Padahal disaat yang bersamaan para politisi di Senayan justru diam membisu menyikapi aksi pembunuhan itu. Instruksi agar kasus itu diungkap secara tuntas dan apa adanya telah menjadi ‘mantra suci’ yang memutus mata rantai code of silence, (kode untuk diam) antara lembaga yang terkait.
Terbukti berdasarkan titah itulah konstruksi hukum kasus itu berubah seratus delapan puluh derajat. Bila semula meninggalnya Brigadir J karena terlibat baku tembak dengan Bharada E sebagai respon adanya tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J terhadap istri Irjen FS, Putri Candrawathi ternyata hasil penyidikan mengatakan sebaliknya. Instruksi Presiden itulah yang membuat Kapolri harus bekerja keras untuk mengungkap kasus yang melibatkan orang-orang yang berada di dekat kursi kekuasaannya. Hal itu dibuktikan dengan pemeriksaan 56 personil kepolisian dan 31 diantaranya terindikasi menyalahi prosedur pemeriksaan. Sesuatu yang nyaris mustahil tanpa perintah dari orang nomer satu di republik ini.
Tanpa instruksi itu (terlepas apapun pertimbangan para pihak) mustahil semua elemen mau melibatkan diri dalam proses penyidikan itu mulai dari Timsus Polri, Komnas HAM, LPSK, Kompolnas dll. Maka kompilasi informasi dari berbagai instansi itulah yang saling melengkapi, sehingga proses penyidikan kasus itu menjadi tak terbendung. Kondisi itulah yang mengakibatkan skenario awal konstruksi hukum yang dibangun para pelaku menjadi ‘ambyar’. Dengan berbagai perangkat dan teknik yang dimiliki, terungkapnya kasus itu secara gamblang tinggal menunggu waktu. Bahkan melebihi konstruksi hukum yang dibuat oleh tim pengacara korban yang sempat menyatakan jika korban dihabisi di Kota Magelang dan dibawa kembali ke Jakarta.
Banyak dimensi yang menjadi blessing in disguise (baca : hikmah) dibalik kasus tertembaknya Brigadir J. Salah satu diantaranya adalah proses penyidikan perkara di Korp Bhayangkara itu harus segera dibenahi dengan membuat Standar Operation Precedur (SOP) yang benar. Terutama bila pelaku kejahatan itu adalah para elit Polri. Bahkan dalam kasus ini dilakukan oleh orang nomor satu di Divisi Propam yang memiliki Tupoksi untuk mengawasi proses penyidikan yang dilakukan oleh Polisi.
Kedua, kasus ini memperlihatkan jika dalam tubuh Bhayangkara terdapat faksi-faksi, dan ini menjadi tugas Kapolri untuk bisa meleburkan semua faksi-faksi yang ada dalam tubuh Polri sehingga tidak terjadi persaingan terselubung antara perwira tinggi, yang berakibatkan kinerja Polri tidak maksimal. Tak kalah penting adalah meritokrasi di tubuh Polri harus dijalankan secara obyektif dan profesional serta bukan karena faktor like and dislike yang berujung terjadinya rivalitas terselubung. Kasus ini juga mengungkap tabir jika masih ada naughty cop (polisi jelek) maupun clean cop (polisi baik), sehingg harus segera dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas SDM Polri.
Maka terlepas karena pertimbangan mendekati awal Pemilu 2024, instruksi Presiden Jokowi itu harus dijadikan titik tolak bagi Polri untuk membenahi diri. Dengan meningkatkan kualitas teknis maupun non teknis sebagai korp yang berada di garda terdepan proses penegakkan supremasi hukum (law enforcement). Sehingga visi untuk menjadikan Polri sebagai aparat penegak hukum yang profesional dan humanis bukanlah jargon semata.
Pertanyaanya, apakah tindakan Presiden Jokowi memberikan instruksi dalam kasus Brgadir J bisa dikategorikan sebagai tindakan intervensi terhadap proses penegakkan supremasi hukum ?, dan pertanyaan ini kerap muncul dalam kasus-kasus tertentu. Secara definisi, mungkin bisa diaktegorikan sebagai tindakan intervensi dari eksekutif ke yudikatif bila kita menggunakan teori pembagian kekuasaan John Locke, trias politica. Karena berdasarkan teori ini setiap lembaga negara punya hak yang otonom, kecuali hal-hal yang bersifat koordinatif.
Tetapi sesuai dengan Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, Kepala Kepolisian dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. Dan sesuai dengan Pasal 13 UU No 2 tahun 2002, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Maka menurut saya apa yang dilakukan oleh Presiden tidak bisa dikategorikan sebagai intervensi.
Justru dalam sistem kabinet presidensial, Presiden memiliki wewenang penuh untuk mengawasi dan mengingatkan semua lembaga pemerintah bila memang ada hal-hal yang menyimpang secara prosedur dan di luar kepatutan sebagaimana mestinya. Maka alangkah elok, tanpa harus takut dikatakan intervensi bila Presiden menggunakan kewenangannya untuk menegur dan mengingatkan proses hukum dalam kasus-kasus lainnya yang terlihat menyimpang dan tidak sesuai harapan.
Terutama tentang kasus-kasus yang menimbulkan korban secara massif. Seperti misalnya korban kasus-kasus pertanahan yang hingga saat ini terus berjatuhan sebutlah kasus Budi Suyono, kasus Kani Sapeng dll. Karena meskipun Presiden telah mengeluarkan instruksi untuk memberantas mafia tanah, tetapi karena tidak pernah disebut secara spesifik, masih banyak kasus hukum yang tetap terbengkelai tanpa jelas jluntrunganya.
Alangkah manisnya, bila staf presiden mau menginventarisir kasus-kasus yang rumit, dan setiap minggu Presiden merelease sekaligus memberikan atensi agar kasus-kasus tersebut segera dituntaskan. Dapat dipastikan semua instansi terkait akan sigap untuk menuntaskan kasus itu seperti halnya dalam kasus pembunuhan Brigadir J.**