JAKARTA, ProLegalNews.
Perekonomian Indonesia secara makro kini berada di ‘zona nyaman’ karena tumbuh secara spartan. Ironisnya, secara mikro kini justru ngos-ngosan karena lesu darah.
Dalam satu dasa warsa terakhir perekonomian Indonesia bangkit setelah mengalami turbulensi hebat saat terjadi krisis moneter tahun 1997 lalu. Pertumbuhan ekonomi selama periode kepemimpinan Presiden SBY tumbuh secara spartan pada kisaran 6-6,3 %/pertahun yang menjadikan Indonesia bersama dengan China dan India sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia. Prestasi mencorong itu terus dilanjutkan oleh pemerintahan Jokowi, meski sempat mengalami stag pada kisaran 5-5,3% pertahun.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencorong itu tak urung membuat sejumlah pemimpin dunia silau. Tak kurang, Direktur Bank Dunia, Jim Yong Kim dalam kunjungannya ke Jakarta, 27 Juli lalu menyatakan kagum dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi diatas 5 % akan membuat iri mayoritas negara di dunia, “ ujarnya. Saat itu Kim menyatakan optimis jika tingkat pertumbuhan ekonomi itu masih bisa digenjot lagi.
Jauh hari sebelumnya, dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Jokowi disela-sela pertemuan KTT G 20, di Hamburg, Jerman (7/7/17), Presiden Amerika Serikat Donald J Trump juga mengaku silau dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Maklum negeri Paman Sam itu hanya mampu menorehkan angka petumbuhan ekonominya pada kisaran 1,4 %. Maka saat itu Trump menawarkan kerjasama ekonomi dengan pemerintah Indonesia. Seusai pertemuan, Menkeu Sri Mulyani mengatakan jika Trump menyebut perekonomian Indonesia masuk kategori, performing well (berkinerja baik) yang membuat mereka envy (iri).
Dalam APBN tahun 2017 yang senilai Rp 2070 triliun, 19 % atau sekitar Rp 380 triliun diantaranya dialokasikan untuk membangun infrastruktur. Nilai itu hanya 1 % dibawah alokasi untuk sektor pendidikan yang mencapai 20% atau sekitar Rp 407 triliun. Alokasi anggaran untuk pembangunan infratruktur itu memang masih terbilang kecil jika melihat skala kebutuhan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJM) selama periode tahun 2015-2019 yang mencapai Rp 4.786 triliun. Maka yang terlihat saat ini pembangunan infrastruktur benar-benar digenjot oleh Pemerintahan Jokowi-JK mulai dari Sabang hingga Merauke. Pembangunan jalan, jembatan hingga pelabuhan benar-benar marak.
Strategi dengan menempatan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas itu memang baik apalagi untuk kepentingan pembangunan jangka panjang. Tetapi persoalannya banyak sektor lain yang menjadi tumbal. Bahkan untuk memenuhi targetnya itu pemerintah melakukan ‘sunatan massal’ (pemotongan anggaran di semua sektor). Kala itu Menkeu Sri Mulyani menyatakan jika setidaknya pemerintah telah melakukan pemotongan anggaran dan direlokasi ke pembangunan infrastruktur. Tidak tanggung-tanggung pemotongan naggaran itu hingga mencapai Rp 136 triliun.
Dampaknya banyak program Kementerian diberbagai sektor mandeg. Terutama anggaran untuk sosialisasi dan perjalanan dinas yang dipangkas. Multiplier effect dari sunatan massal ini ternyata tidak bisa dianggap sepele. Banyak sektor usaha yang gulung tikar karena tidak ada proyek yang bisa dikerjakan. Terutama dari sektor jasa.
Artinya, pertumbuhan ekonomi yang membuat Trump dan Jim Yong Kim silau itu hanya ditopang oleh pembangunan infrastrkutur, dan impact jangka pendek dari proyek itu hanya dinikmati oleh segelintir kalangan kontraktor besar saja. Sementara sektor riiil dari sektor lain semakin megap-=megap kekurangan darah.
Maka kue pembangunan, era pemerintahan Jokowi-dan JK ini dinilai hanya dinikmati kelas atas dan kelas bawah saja. Kelas atas memperoleh porsi dari proyek yang infrastruktur yang besar-besar. Sementara kalangan bawah menikmati berbagai macam subsidi seperti melalui program Indonesia Pintar dan Indonesia Sehat. Sebaliknya kelas menangah saat ini hanya bisa melongo dan harus tirakat (puasa) karena adanya program pemotongan anggaran tersebut. tim