Oleh : Gugus Elmo Rais
Dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia setidaknya ada tiga madzhab yang sudah dikenal yakni teori hukum pembangunan, yang dibuat oleh ahli hukum sekaligus mantan luar negeri, Mochtar Kusumaatmadja dan teori hukum progersif oleh Satjipto Raharjo, serta teori hukum integratif oleh Romli Atmasasmita. Secara keilmuan ketiga pakar itu sudah tidak diragukan lagi, bahkan ketiganya bisa dikategorikan sebagai Begawan Ilmu Hukum di Indonesia. Ketiganya telah meletakan konsepsi hukum dalam mindset para aparat penegak hukum, praktisi hukum serta masyarakat Indonesia.
Dalam teori hukum pembangunan milik Mochtar Kusumatmadja, konsepsinya tidak terlepas dari dinamika sosial dan politik saat itu, pada era Orde Baru. Karena ketiga disiplin ilmu itu memiliki titik singgung dan saling terkait. Dan seperti permis Latin kuno, ubi societas ibi ius (kondisi masyarakatlah yang membentuk hukum). Mochtar mendiskripsikan hukum dalam sudut pandang negara yang ingin menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sehingga Mochtar menggunakan terminology hukum pembinaan yang diadopsi dari teori Roscoe Pound “Law as a tool of social engineering” (hukum sebagai alat rekayasa social) yang berkembang di Amerika Serikat. Pemikiran Mochtar saat itu juga dipengaruhi oleh cara berpikir Herold D. Laswell dan Myres S. Mc Dougal (policy approach).
Sisi negatif dari teori hukum pembangunan ini, cenderung menempatkan lembaga hukum sebagai sub ordinat kekuasaan. Dan sering dimanipulasi oleh pusat-pusat kekuasaan untuk mendukung kekuasan politiknya. Padahal sesuai konstitusi kita UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Indonesia adalah negara hukum (rechstaats) dan bukan negara berdasarkan kekuasaan (machstaats). Tetapi memang atmosfir saat itu, kekuatan pusat kekuasaan sangat hegemonik. Pemerintahan Orde Baru sangat dipengaruhi oleh pemikiran negarawan Tiongkok kuno Shang Yang atau Wei Yang (390-338 SM) serta Machiavelli, yang menyatakan jika ingin negara kuat, maka rakyat harus dibuat lemah.
Seperti menjadi antitesis teori hukum pembangunan, milik Mochtar Kusumaatmadja yang bernuansa pengekangan, pakar hukum Satjipto Raharjo mengeluarkan teori hukum yang cukup terkenal yakni teori hukum progresif. Satjipto menilai jika teori hukum kontemporer belum berfungsi secara maksimal untuk kemaslahatan rakyat. Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup telah membeku dalam doktrinThe Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku di ladang negara-negara yang tidak memiliki sejarah sama dengan Eropa.
Maka mengutip pemikiran Karl Ranner yang menyatakan hukum itu harus dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, (the development of the law gradually works out what is socially reasonable), Satjipto mengeluarkan teori hukum progresif. Hukum bukan sekedar aturan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi perlu dilakukan terobosan terobosan (rule breaking) untuk mencapai tujuannya yang paling tinggi. Maka aparat hukum harus bersifat proaktif untuk melakukan pencarian hukum (rechvinding), sehingga memungkinkan aparat memahami hukum tidak secara letter leks tetapi secara kontekstual. Seperti misalnya seorang hakim harus berani memutus perkara berbeda dengan tuntutan jaksa, selama ada temuan hukum yang bisa dipertanggung jawabkan (ultra petita).
Menurut Satjipto, hukum progresif maupun intressenjurisprudenz dan legal realism, memiliki semangat dan tujuan yang sama, yaitu semangat menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai tujuan utama dari hukum. Uniknya, karakter hukum progresif yang menghendaki kehadiran hukum dikaitkan dengan pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya, menyebabkan hukum progresif juga dekat dengan social engineering dari Roscoe Pound. Tetapi teori ini menghendaki peran masyarakat secara aktif seperti halnya teori ahli tata negara George Jellinek yang menyatakan jika eksistensi liberalisasi dalam bidang hukum memberi garis penekanan pada platform kebebasan individu atau peran rakyat secara aktif, dengan peran negara yang negatif.
Berangkat dari pemikiran Immanual Kant yang menyatakan bahwa, tidak ada satupun ahli hukum yang dapat membuat suatu defnisi yang tepat tentang hukum (noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht), maka Romli Atmasasmita membuat teori hukum yang diberi nama teori hukum integratif. Karena seperti yang diungkapkan oleh Karl Raymond Popper, seorang pakar filsafat, yang mengemukakan bawah suatu teori harus selalu difalsifikasi. Artinya, suatu teori harus selalu diteliti ulang untuk dicari titik lemahnya, baik oleh penemu teori tersebut ataupun oleh peneliti lain. Pendapat Popper ini, didasarkan bahwa suatu teori selalu berjalan evolusioner. Artinya teori baru lahir bersumber dari teori lama yang ada sebelumnya dengan mempertahankan konsep lama yang masih relevan dan menambahkan gagasan baru untuk menyelesaikan masalah baru yang muncul.
Teori hukum integratif ini, sejatinya adalah rekonstruksi terhadap teori hukum pembangunan yang disampaikan oleh Mochtar Kusumaatmadja dan teori hukum progresif yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo.Teori hukum integratif diklaim sebagai penyempurnaan dari kedua teori yang disampaikan oleh para pemikir hukum besar di Indonesia. Jika Mochtar merupakan sistem norma (system of norm) dan menurut Satjipto, hukum sebagai sistem perilaku (system behavior), maka teori ini melengkapi bahwa hukum dapat diartikan juga sebagai sistem nilai (system of values). Menurut teori hukum integatif, rekayasa hukum, masyarakat, dan penegak hukum yang dilakukan, haruslah dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku, dan sistem nilai yang tidak lain bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Evolusi madzhab ilmu hukum di Indonesia itu ternyata tidak mampu mengubur bahaya laten yang ada dalam sistem hukum kita yakni madzhab hukum ‘transaksional’. Premis hukum tumpul ke atas dan tajam kebawah menjadi sebuah konfirmasi atas penerapan hukum yang ‘transaksional’. Deviasi penerapan hukum ini sudah sangat menggejala, sehingga memunculkan bahasa-bahasa satire dalam masyarakat, seperti Kasih Uang Habis Perkara (KUHP). Proses deviasi itu tidak terlepas dari pandangan jika kaidah-kaidah hukum itu baik hukum formil dan hukum materiil hanyalah sebuah proses yang terukur, sehingga masih bisa diperkirakan tahapan maupun sanksi yang akan diterima. Seperti misalnya seorang koruptor yang masuk kategori mega korupsi masih bisa memperhitungkan antara ancaman hukumanya serta kemungkinan dapat discount hukuman serta sanksi finansial yang harus dibayarnya apabila dia bisa melakukan teori hukum ‘transaksional’.
Ternyata dalam banyak kasus korupsi terutama kasus korupsi besar, sanksi pidananya masih terlalu ringan. Meskipun secara yuridis hukuman maksimal itu masih bisa dilakukan hingga hukuman mati sesuai dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara secara de jure sanksi hukuman finansial serta hukuman pemiskinan hingga saat ini belum diberlakukan secara optimal sebagai bagian dari upaya memberikan efek jera (detterent effeck). Paparan diatas menunjukan jika reformasi hukum kita tidak memberikan impact yang maksimal.
Terus bagaimana cara kita bisa keluar dari kejumudan sistem hukum kita. Mungkin kita harus kembali ke konsep teologis seperti yang pernah dikemukakan oleh Thomas Aquina maupun Immanual Kant. Konsep teologis itu harus disesuaikan dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia, sehingga setiap individu sadar dan tahu hakikat dari tujuan hidup manusia itu. Meskipun Indonesia bukanlah negara agama (teokrasi) tetapi Indonesia adalah negara yang berdiri berdasarkan nilai-nilai agama. Dengan pemahaman tentang hakikat hidup itu, akan meningkatkan standar moral bangsa Indonesia terutama untuk memandang dan memahami hukum itu sendiri. Seperti halnya pepatah Romawi kuno, quid leges sine moribus (apalah arti hukum tanpa moral). Maka teori ‘hukum karma’ juga harus disosialisasikan secara paralel dengan nilai-nilai hukum positif yang berlaku.
Dalam persepektif agama apapun di Indonesia setiap perbuatan pidana dan perbuatan melawan hukum itu ada sanksinya. Dan setiap sanksi itu tidak hanya berhenti ketika setiap individu masih hidup di dunia tetapi saat hidup di alam kehidupan selanjutnya (akhirat). Maka bila adalah ajaran Hindu maupun Budha ada teori hukum karma, baik karma baik maupun karma buruk. Dalam pandangan Budha, Karma merupakan suatu hukum yang tidak bisa ditawar. Karma juga merupakan suatu hasil penitikberatan sebab-akibat sendiri untuk penderitaan dan kebahagiaan.
Sementara hukum karma dalam pandangan Islam bersifat mutlak yang akan dihizab (dihitung) saat hidup setelah menjalani proses kematian di Padang Arafah nanti seperti yang termaktub melalui firman Allah SWT, Surat An-Nahl ayat 61 yang artinya : “Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.”
Sebaliknya karma baik yang mendapat akan ganjaran dalam bentuk pahala itu termakthub dalam Surat An –Nahl ayat 97 yang artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Sebagai sebuah sistem norma (system of norm) dan sistem nilai (system of values) pemahaman masyarakat terhadap hukum karma itu harus ditingkatkan dengan cara membangun wawasan yang kognitif dan holistik sehingga tercapai tahapan peningkatan sistem perilaku (system of behavior). Maka tercapainya standar moralitas yang tinggi (quid leges sin moribus) dengan ukuran masyarakat yang tunduk dan patuh terhadap hukum bukanlah sekedar ilusi dan angan-angan.***