- Advertisement -
Pro Legal News ID
Nasional

MA Dinilai Salah Kaprah soal Restorative Justice

Restoratif justice harus dari sudut pandang korban (rep)

Jakarta, Pro Legal News– Mahkamah Agung (MA)  dinilai salah kaprah mengenai konesp restoratif justice  saat mengabulkan uji materi sejumlah pasal yang mengatur remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.  Hal itu dikemukakan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti.

Seperti diketahui, dalam pertimbangan menjatuhkan putusan, MA memandang rumusan norma yang ada dalam PP 99/2012 semestinya harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yakni memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice.”Salah kaprah yang sepertinya semakin banyak dilakukan,” ujar Bivitri dalam agenda diskusi di kanal Youtube Indonesia Corruption Watch (ICW), Selasa (2/11).

Menurut Bivitri,  konsep restorative justice bukan sekadar memberikan sesuatu yang saling menguntungkan atau win-win solution sebagaimana mediasi. Bivitri menjelaskan jika, konsep tersebut lahir saat mekanisme peradilan tidak bisa memberikan keadilan yang maksimal kepada korban.

Restorative justice, menurutnya  menitikberatkan terhadap kondisi terciptanya keadilan bagi korban.”Dalam korupsi harus diingat korbannya itu bukan koruptor, korbannya itu kita-kita yang kehilangan hak untuk mendapat fasilitas umum yang baik, ketika alat kesehatan dikorupsi kita tidak mendapat pelayanan yang maksimal dari negara, mungkin ada yang meninggal. Korbannya ini kita, bukan koruptor,” jelasnya.

“Saya kira Mahkamah Agung di sini telah salah untuk memahami restorative justice,” sambungnya.

Saat mengabulkan uji materi sejumlah Pasal dalam PP 99/2012, MA juga menilai hak untuk mendapat remisi harus diberikan tanpa terkecuali alias berlaku untuk semua warga binaan termasuk terpidana korupsi.

Bivitri mengkritik pertimbangan tersebut karena tindak pidana korupsi sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.”Kita bicarakan konsep extra ordinary crime, jadi memang berbeda, oleh karena itu diskriminasi dalam hal ini enggak terjadi karena jenis kejahatannya juga berdasarkan peraturan perundang-undangan sudah dibedakan. Jadi, berbeda dengan pemahaman MA nampaknya apa yang dimaknai diskriminatif,” ujarnya.

Selain  itu,  Bivitri juga  menyinggung kondisi sistem penegakan hukum yang sudah rusak dari hulu sampai hilir (pemasyarakatan).”Dengan kondisi itu, apakah kemudian layak bagi kita juga untuk memberikan pengurangan-pengurangan yang murah hati?”  tanyanya.

Sebelumnya MA diketahui mengabulkan uji materi sejumlah pasal yang mengatur remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dalam PP 99/2012.PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan itu diketahui memperketat pemberian remisi kepada narapidana tiga jenis kejahatan luar biasa, yakni korupsi, narkoba, dan terorisme.”Putusan: Kabul HUM (Hak Uji Materiil),” demikian bunyi putusan yang telah dibenarkan oleh Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro.

Seperti diketahui, putusan itu menindaklanjuti uji materi yang dilayangkan oleh Subowo dan empat orang lainnya yang merupakan kepala desa serta warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Sukamiskin, Bandung. Perkara nomor: 28 P/HUM/2021 itu diputus pada 28 Oktober 2021.(Tim)

 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan