ProLegalNews.com.
Eskalasi konflik dan krisis kemanusiaan yang menimpa suku Rohingya di Rakhine, Myanmar kini semakin meluas dan mendapat sorotan dunia. Saat ini terjadi eksodus besar-besaran dari suku stateless (suku yang tidak memiliki kewarga negaraan) itu ke berbagai negara ketiga seperti Bangladesh, Malaysia hingga Indonesia yang difasilitasi oleh UNHCR. Dunia internasional mengecam aksi barbar yang terjadi di provinsi paling miskin di Myanmar itu.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi secara proaktif terus mendorong agar aksi kekerasan itu dihentikan sekaligus mendesak pemerintah Myanmar membuka akses bantuan kemanusiaan. Langkah Indonesia itu didukung oleh dunia. Indonesia dinilai memiliki kapasitas serta integritas untuk menjadi penengah dalam krisis kemanusiaan itu. Maklum Indonesia adalah negara terbesar di kawasan Asean, sehingga kerap disebut-sebut sebagai pemimpin di kawasan ini.
Indonesia juga dinilai memiliki kapabilitas dan integritas dalam menangani kasus itu karena memiliki pengalaman dalam menangani konflik horisontal seperti dalam kasus, Sambas, Ambon hingga Aceh. Respon pemerintah Aung San Su Kyi ternyata juga cukup baik, sehingga mereka mau membuka akses terhadap bantuan kemanusiaan. Sehingga bantuan seperti bahan makanan serta obat-obatan mulai bisa masuk.
Dari berbagai literasi yang dirangkum oleh prolegalnews.com akar konflik yang terjadi di Rakhine, Myanmar itu ternyata cukup panjang sejak abad ke 18. Kala itu Burma merupakan wilayah yang menjadi jajahan Inggris yang masuk pada tahun 1826. Sebelum dijajah dan dikuasai Inggris, wilayah Rakhine dibagi menjadi dua wilayah yakni kerajaan Arakan serta wilayah Bengal. Wilayah Bengal ini secara geografis di bagian selatan berbatasan dengan Bangladesh sementara wilayah selatan berbatas langsung dengan Myanmar tau Burma
Setelah terjadi perang Anglo-Burmese pemerintah kolonial Inggris melakukan sensus untuk mengetahui struktur sosial masyarakat di Rakhine. Berdasarkan hasil sensus itu belum teridentifikasi adanya suku Rohingnya. Unsur masyarakat Rakhine saat itu hanya terdiri dari suka Myanmar serta warga keturunan India yang teridentifikasi warga kulit hitam. Warga keturunan India ini diidentifikasi berdasarkan keyakinan, yang beragama Hindu disebut Hindus sementara warga keturunan India yang beragama Islam disebut Mohamedans. Sementara yang dari Bengal disebut Chtagonians atau Bengalis.
Semenjak tahun 1947 secara resmi Bengal ini masuk ke wilayah Pakistan. Ironisnya di negara yang merupakan sempalan dari India ini, suku Bengali juga merasakan diskriminasi. Karena Pakistan lebih suka menggunakan bahasa Urdu. Karena faktor itulah selama periode itu kerap terjadi separatisme yang berujung terpisahnya Bengal dari Pakistan dengan berdirinya negara Bangladesh pada tahun 1971.
Selama proses menuju kemerdekaan Bangladesh inilah sebagian dari korban perang itu berusaha kembali ke wilayah Arakan yang telah berubah menjadi Burma atau Myanmar. Tragisnya, sebelumnya sempat terjadi pembasmian separatisme pada tahun 50an justru sebagian suku Bengal di Rakhine itu berusaha untuk masuk ke wilayah Pakistan. Namun oleh pemerintah setempat mereka ditolak dan dikembalikan ke Myanmar.
Semenjak Burma merdeka pada tahun 1948 mulai muncul gerakan separatisme di Bengal yang berusaha memisahkan diri. Mulai saat itulah muncul istilah Rohingnya. Imbas dari aksi separatisme itulah yang mengakibatkan banyak masyarakat sipil yang menjadi korban. Masyarakat Rakhine terutama Rohingnya menjadi terkatung-katung serta tidak jelas kewarganegaraannya. Karena pemerintah Myanmar/ Burma memberlakukan aturan yang sangat ketat dalam menetapkan status kewarga negaraan suku Rohingnya sesuai dengan UU Kewarganegaraan Tahun 1982 yang mereka miliki. tim