Jakarta, Pro Legal News – Industri pengolahan masih memberikan kontribusi terbesar kepada struktur produk domestik bruto (PDB) nasional hingga 20,07 persen pada triwulan I tahun 2019. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah tersebut naik dibanding capaian sepanjang tahun 2018 sebesar 19,86 persen. “Dari capaian 20 persen tersebut, laporan World Bank juga menunjukkan, Indonesia menempati peringkat kelima di antara negara G20,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (7/5).
Menurut Menperin, Indonesia hampir sejajar dengan Jerman, yang kontribusi sektor manufakturnya berada di angka 20,6 persen. Sementara itu, posisi teratas ditempati China (28,8%), disusul Korea Selatan (27%) dan Jepang (21%).
Saat ini, negara-negara industri di dunia, kontribusi sektor manufakturnya terhadap perekonomian rata-rata sekitar 17 persen. Mereka itu antara lain Meksiko, India, Italia, Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Brasil, Perancis, Kanada dan Inggris. “Artinya, sekarang tidak ada negara di dunia yang bisa mencapai di atas 30 persen,” ujarnya.
Maka itu, melalui sumbangsih sektor manufaktur yang cukup besar, tidak tepat kalau Indonesia dikatakan sebagai negara yang mengalami deindustrialisasi. “Apalagi, saat ini Indonesia masuk dalam 16 besar negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia,” imbuhnya. Bahkan, melalui Making Indonesia 4.0, aspirasi besarnya adalah mewujudkan Indonesia masuk jajaran 10 negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030. “Kalau hasil studi PwC dan McKinsey, kita bisa masuk 7 besar ekonomi dunia di 2045, sementara pada 100 tahun Indonesia merdeka nanti, kita menjadi ekonomi ke-4 terbesar di dunia,” tutur Airlangga.
Lebih lanjut, merujuk data BPS, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas mencapai 4,80 persen pada triwulan I-2019. Jumlah tersebut meningkat dibanding perolehan sepanjang tahun 2018 yang berada di angka 4,77 persen.
Sektor manufaktur yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah industri tekstil dan pakaian jadi sebesar 18,98 persen. Disusul industri pengolahan tembakau yang tumbuh hingga 16,10 persen, kemudian industri furnitur tumbuh 12,89 persen serta industri kimia, farmasi dan obat tradisional yang tumbuh 11,53 persen.
Kinerja positif juga diikuti oleh industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman yang mengalami pertumbuhan 9,22 persen, industri logam dasar tumbuh 8,59 persen, serta industri makanan dan minuman tumbuh 6,77 persen. Sektor-sektor manufaktur ini yang mampu melampaui pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan I-2019 sebesar 5,07 persen. “Sebagian besar industri-industri tersebut adalah yang sedang mendapat prioritas pengembangan sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0. Sektor ini yang memiliki dampak ekonomi besar dan kriteria kelayakan implementasi industri 4.0, serta dilihat dari kontribusi terhadap PDB, perdagangan, potensi dampak terhadap industri lain, besaran investasi dan kecepatan penetrasi pasar,” paparnya.
Di sisi lain, geliat industri manufaktur Indonesia juga terlihat dari capaian purchasing manager index (PMI) yang dirilis oleh Nikkei. “Kalau kita lihat kondisi industri saat ini berdasarkan PMI, tingkat kepercayaan dari pelaku industri cukup tinggi. PMI indeks kita selalu di atas 50, kecuali bulan Januari. Karena saat Januari kontrak baru dikasih,” terangnya.
PMI manufaktur Indonesia pada April 2019 berada di angka 50,4. Peringkat di atas 50 menandakan sektor manufaktur tengah ekspansif. “Ini juga menandakan, bahwa mereka melihat iklim usaha di Indonesia tetap kondusif dan telah mampu mengelola ekonomi melalui norma baru,” ujarnya.
Kemenperin optimistis memasang target pertumbuhan industri nonmigas sebesar 5,4 persen pada tahun 2019. Adapun sektor-sektor yang diproyeksikan tumbuh tinggi, di antaranya industri makanan dan minuman, industri permesinan, industri tekstil dan pakaian jadi, serta industri kulit barang dari kulit dan alas kaki. “Industri manufaktur merupakan tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu menjadi sektor andalan dalam memacu pemerataan terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang inklusif,” tutur Menperin.
Menurutnya, pengembangan SDM industri kompeten adalah kunci untuk mencapai kesuksesan pelaksanaan Making Indonesia 4.0. Inipun menjadi momentum Indonesia untuk mengambil peluang dengan adanya bonus demografi hingga tahun 2030. “Maka itu, Bapak Presiden Joko Widodo menginstruksikan mulai tahun ini fokus pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas SDM. Ini menjadi potensi besar bagi Indonesia ke depan,” tegasnya.
Oleh karena itu, agar pelaku industri dapat terdorong untuk terlibat dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan vokasi serta aktif melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan, pemerintah akan meluncurkan insentif super deductible tax. Fasilitas ini diyakini bakal menciptakan tenaga kerja industri yang kompeten serta menghasilkan inovasi produk. Adv